Kenapa istilah "ngewe" sekarang disebut "mantap-mantap"? Asli, aku penasaran dan ingin tahu. Jika ada yang bisa memberi tahu, aku akan sangat berterima kasih.
....
....
Habis cuci muka, nyeruput cokelat hangat, udud, dan kepikiran untuk menindaklanjuti tweet tadi siang.
Berbeda dengan banyak aktivitas lain, seks memang memiliki aneka sebutan atau istilah, yang terus berevolusi seiring perjalanan waktu. Tapi intinya tetap sama.
Mengapa seks memiliki banyak sebutan, sementara berbagai aktivitas lain—dari makan, minum, tidur, dan semacamnya—hanya memiliki istilah terbatas dan hampir tak pernah berubah? Padahal makan, minum, dan tidur, juga kebutuhan manusia. Kenapa seks lebih istimewa?
Kita tahu jawabannya. Karena, berbeda dengan aktivitas lain, seks termasuk aktivitas privat. Di negara semacam Indonesia, seks—dalam konteks ini; hubungan seks—bahkan dianggap sesuatu “yang mestinya tidak dibicarakan secara terbuka”. Dari situlah muncul aneka istilah dan sebutan.
Orang Indonesia tidak bisa berbicara tentang seks secara jujur, terbuka, dan nyaman. Karenanya, orang-orang pun menciptakan aneka istilah untuk menyebut “seks”, demi tidak langsung menyebut “seks”. Ngewe, em-el, dan sekarang mantap-mantap, hanya segelintir contoh.
Sebagai bangsa yang “memiliki nilai-nilai luhur dan memegang teguh adat ketimuran”—kalau memang harus disebut begitu—penabuan seks (menganggap seks sebagai hal tabu) memang baik. Tapi penabuan terhadap seks bukan berarti tanpa risiko, bahkan bisa jadi malah berisiko.
Bagaimana pun, seks adalah kebutuhan dasariah manusia, sama seperti kebutuhan makan, minum, dan tidur. Yang jadi masalah, kita—dengan dalih adat ketimuran dan nilai-nilai budaya luhur—tidak pernah diajari soal seks, meski kita diajari cara makan, minum, dan tidur yang baik.
Sedari kecil, orang tua mengajari cara makan dan minum yang baik dan benar. Besar sedikit, kita diajari mengatur waktu tidur yang baik. Tapi sampai dewasa, tidak ada orang yang pernah mengajari kita tentang hal-hal terkait seks yang baik—dan bertanggung jawab, tentu saja.
Kita ditabukan membicarakan seks, dijauhkan dari pengetahuan terkait seks, bahkan dilarang mengakses hal-hal yang berhubungan dengan seks. Padahal kita manusia yang membutuhkan seks, sama seperti kita membutuhkan makan, minum dan tidur. Tidakkah kita melihat ini sangat berbahaya?
Karena orang tua, guru, dan masyarakat menghalang-halangi kita dari mendapat pengetahuan seks (yang benar dan bertanggung jawab), kita pun—secara naluri—berusaha mencari sendiri pengetahuan terkait seks. Ke mana? Stensil, internet, bokep, ocehan ngawur, sebut lainnya.
Akibatnya, sejak dini kita terpapar aneka hal terkait seks, tapi tidak terjamin benar, apalagi bertanggung jawab. Karena kita mendapatkannya dari stensilan, dari bokep, dari internet, atau dari ocehan orang ngawur yang mengglorifikasi seks untuk mengiming-imingi anak baru puber.
Dan begitulah kita tumbuh, omong-omong. Tumbuh dewasa dengan anggapan telah mengetahui aneka hal tentang seks, padahal tidak ada jaminan pengetahuan kita memang benar atau sesuai kenyataan. Kita adalah korban keterbelakangan masyarakat yang tidak memahami esensi pendidikan.
Ocehan ini, kalau kulanjutkan, bisa panjang sekali, dan mungkin baru akan selesai tahun 2045. Tapi karena cokelat hangat dan ududku sudah habis, cukup sampai di sini.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Februari 2020.