Banyak orang sok mengatakan, "Aku ingin anak-anakku tidak mengalami kesusahan seperti aku."
Mereka perlu menanyakan pada diri sendiri, "Apakah keinginan itu benar-benar terwujud... atau mereka cuma membayangkannya, sementara anak-anaknya sengsara seperti dirinya?
Ironisnya, orang-orang yang sok pede mengatakan "tidak ingin anak-anaknya sengsara seperti dirinya" justru memiliki anak-anak yang tertekan dan sengsara. Sementara orang yang anak-anaknya bahagia justru tidak pernah mengatakan omong kosong semacam itu.
Di sisi lain, ada anak-anak yang punya keinginan membahagiakan orang tuanya. Itu keinginan mulia, tentu saja. Tapi, sebagai anak, pernahkah kita bertanya-tanya, "Mengapa orang tua kita tidak bahagia, hingga kita merasa wajib membahagiakan mereka?"
Selama ini kita didoktrin bahwa menikah akan membuat orang bahagia, dan punya anak-anak akan melancarkan rezeki. Orang tua kita menikah, dan punya anak-anak, yang salah satunya kita. Kenapa mereka tidak bahagia... hingga kita seperti didoktrin untuk membahagiakan mereka?
Jangan-jangan, orang tua kita dulu menikah karena mengira akan bahagia setelah menikah dan punya anak-anak. Setelah menikah, mereka sadar bahwa pernikahan tidak membuat bahagia. Karenanya, mereka lalu mendoktrin anak-anak untuk membahagiakan mereka.
Lalu kita meniru mereka...
Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Seperti apa orang tuanya, seperti itulah anaknya. Meski, dalam beberapa kasus, ada buah jatuh dari pohon, lalu angin menerbangkannya sampai jauh... dan memulai kehidupan yang jauh berbeda dari induknya.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Februari 2020.