Selasa, 04 Maret 2014

Terbit dan Tenggelam

Aku heran pada kesombongan yang bisa kutinggalkan,
pada keangkuhan yang dapat kutertawakan.
@noffret


Salah satu teman kuliah saya bernama Ummu Salamah. Selama kami berteman di kampus, di mata saya dia tak jauh beda dengan umumnya mahasiswi lain—ramah, bersahaja, dan suka guyon (bercanda). Keramahan dan sikapnya yang bersahaja itu pula yang menjadikan kami mudah akrab. Tidak jarang, sambil menunggu jam kuliah, kami ngobrol di depan kelas sambil cekikikan.

Suatu hari, saya dolan ke rumahnya, untuk mengerjakan suatu tugas kuliah. Itu pertama kalinya saya dolan ke rumah Ummu sejak kami berteman cukup lama. Ketika berada di rumahnya, sambil asyik mengerjakan makalah dan ngobrol-ngobrol, tanpa sengaja saya menengok ke ruang tengah yang terbuka... dan saya tercengang.

Di ruang tengah, di sebuah almari yang cukup besar, terdapat jajaran piala beraneka ukuran. Jumlahnya bukan satu dua, tapi mungkin lebih dari seratus. Karena penasaran, saya pun bertanya nyaris spontan, “Um, kamu jualan piala, atau gimana?”

Dia menjawab sambil tertawa, “Nggak, itu piala hasil lomba.”

“Lomba apa?” tanya saya makin penasaran, mengingat banyaknya piala di sana.

Dengan santai, Ummu menjelaskan, semua piala itu ia dapatkan sebagai hadiah lomba qiro’ah (membaca al-Qur’an dengan kefasihan tajwid) yang pernah diikutinya.

Penjelasan itu membuat saya terbelalak. Oh, well, saya juga punya beberapa piala di rumah hasil menang lomba. Tapi piala yang saya miliki tidak sebanyak itu. Dan tentu saja bukan piala hasil lomba qiro’ah!

Ummu mungkin sudah terbiasa menghadapi sikap teman-temannya yang heran campur takjub saat melihat koleksi piala miliknya. Jadi dia cekikikan saja melihat reaksi saya. Karena penasaran, saya pun minta izin untuk melihat-lihat koleksi piala itu, dan sekali lagi saya tercengang.

Di bagian bawah piala-piala itu tertera keterangan yang menyebutkan tingkat kejuaraan, lomba yang diikuti, serta skala wilayah lomba. Semua piala itu memang hasil lomba qiro’ah. Ada piala Juara I, Juara II, ada pula yang Juara III. Ada yang tingkat Kota, Provinsi, Nasional, hingga Asia. Dari banyaknya piala yang ada di sana, Ummu bisa dibilang telah memenangkan hampir semua lomba qiro’ah yang mungkin pernah diadakan di Indonesia, atau bahkan Asia.

Kenyataan itu benar-benar membuat saya sangat terpesona.

Di kampus, saya memang tahu Ummu aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan. Dia juga punya suara empuk yang enak didengar saat menyanyikan lagu-lagu kasidah. Tapi saya sama sekali tidak tahu kalau perempuan bersahaja dan suka guyon itu ternyata seorang juara dalam bidang qiro’ah, hingga bisa menyabet seratusan piala. Perempuan yang bisa mengoleksi seratus piala di lomba qiro’ah pasti bukan perempuan sembarangan!

Dan itulah yang membuat saya sangat terpesona.

Maksud saya, Ummu sama sekali tidak pernah menunjukkan apalagi memamerkan dan membangga-banggakan prestasinya. Dia sangat bersahaja—kalau kalian paham maksud saya. Selama bergaul dengan teman-teman di kampus, dia benar-benar tidak pernah berusaha menunjukkan dirinya memiliki prestasi sehebat itu. Dia tampil sebagai mahasiswi gaul biasa, yang menyenangkan dijadikan teman, yang asyik diajak ngobrol dan bercanda, dan sama sekali tidak pernah bertingkah sok hebat atau sok alim.

Ketika saya menceritakan pada teman-teman di kampus bahwa Ummu ternyata seorang juara qiro’ah yang hebat, teman-teman di kampus tidak terkejut. Mereka sudah lama tahu prestasi Ummu yang luar biasa, dan mereka juga sama mengaguminya. Dari teman-teman pula saya kemudian semakin mengenal sosok Ummu yang hidupnya sangat agamis, taat beribadah, aktif dalam bidang sosial keagamaan di lingkungannya, serta memiliki latar belakang santri yang sangat kuat.

Saat kami mengobrolkan Ummu yang begitu gaul dan bersahaja, beberapa teman berkomentar, “Itulah yang membedakan seorang maestro dengan medioker. Seorang maestro bersikap wajar dan bersahaja, tapi medioker justru suka bertingkah sok seolah paling hebat!”

Komentar itu mungkin terdengar tajam. Tetapi, kalau saya perhatikan, kenyataannya memang seperti itu. Selain Ummu, saya mengenal teman-teman lain yang memiliki prestasi yang sama hebat—dalam berbagai bidang—dengan koleksi piala yang jumlahnya menyaingi toko piala, dan pernah menjuarai lomba tingkat Kota, Provinsi, Nasional, sampai Internasional. Tetapi mereka yang berprestasi hebat itu rata-rata juga memiliki sikap sama—bersahaja, tidak bertingkah sok atau suka membangga-banggakan dirinya.

Ironisnya, hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang justru tak sehebat mereka. Paling juara satu kali saja, tingkahnya sudah kayak paling hebat di dunia. Paling punya beberapa piala saja, pamernya sudah kemana-mana. Paling muncul di koran sekali saja, gegernya sudah mirip Perang Dunia. Prestasi yang dicapainya mungkin membuat kita kagum. Tapi sikap mereka dalam memperlakukan prestasinya membuat kita kehilangan kekaguman.

Dunia adalah satu hal. Cara kita memperlakukan dunia adalah hal lain.

Semua orang mengagumi sosok hebat dan berprestasi, tapi semua orang lebih mengagumi sosok hebat dan berprestasi yang tetap rendah hati. Maksud saya benar-benar rendah hati, bukan sekadar sok bertingkah rendah hati atau pura-pura rendah hati. Sok rendah hati itu sama buruknya dengan sikap congkak—sama-sama menjijikkan.

Sekitar setahun lalu, ada suatu lomba seputar blog di internet, yang hasil finalnya ditentukan oleh voting. Siapa saja bisa ikut memberikan voting di laman yang telah ditentukan. Saya tidak mengikuti lomba itu, tetapi saya tertarik mengikuti beritanya. Di tahap akhir, pada saat voting, saya terang-terangan memilih seorang blogger perempuan, yang saya harapkan menjadi pemenangnya.

Saya sadar, komentar saya di laman lomba itu akan dibaca banyak orang, dan tidak menutup kemungkinan akan ada sekian banyak orang yang mengikuti saya—memberikan voting untuk blogger yang saya dukung. Kenyataannya, blogger perempuan itu berhasil menang!

Saya tidak mengenal blogger perempuan itu. Saya juga tidak pernah berkomunikasi dengannya—saya bahkan tidak tahu siapa dia. Tetapi, berdasarkan tulisan-tulisan di blognya, juga dari beberapa komentarnya di blog lain yang sempat saya baca, saya tahu dia perempuan bersahaja—sosok yang tidak akan menjadi pongah hanya karena suatu kemenangan yang diraihnya. Jadi, ketika dia akhirnya menang, saya ikut senang—meski saya tidak mengenalnya.

Manusia adalah satu hal. Cara kita menilai manusia adalah hal lain.

Jika kita mempelajari psikologi, kita akan dikenalkan pada berbagai teori tentang cara menciptakan citra diri—dari yang sangat mudah, sampai yang paling rumit. Dan dari semua upaya citra diri yang diajarkan psikologi, saya bisa merangkum satu hal yang paling penting, “Jadilah dirimu sendiri, tetapi dirimu yang rendah hati.”

Sekali lagi, maksud saya adalah benar-benar rendah hati—bukan sekadar sok bersikap rendah hati atau pura-pura rendah hati. Orang selalu tahu apakah kita jujur atau munafik, apakah kita tulus atau pura-pura. Orang selalu tahu apakah kita benar-benar pintar atau hanya sekadar sok pintar. Orang selalu tahu apakah kita benar-benar alim atau hanya sekadar sok alim. Orang selalu tahu apakah kita benar-benar hebat atau hanya sekadar sok hebat.

Pada akhirnya, sampah tidak akan menjadi mutiara meski diletakkan di atas nampan emas, dan mutiara tetap akan memancarkan kilaunya meski dilemparkan ke tempat sampah. Kalau kita memang benar-benar hebat, dunia pasti akan melihat—bahkan umpama kita telah berupaya agar tidak terlihat. Itu hukum alam—dibelokkan dengan cara apa pun, hasilnya akan tetap sama. Alam senantiasa mendukung yang tumbuh, dan membuang yang busuk.

Seperti mentari yang terbit di ufuk timur, tidak ada kekuatan apa pun yang sanggup menahan cahayanya untuk memancar keluar. Dan sebagaimana ia akan tenggelam di ufuk barat, tidak ada kekuatan apa pun yang mampu menahannya untuk tidak menghilang. Terbit dan tenggelamnya mentari hanya dalam hitungan sehari, terbit dan tenggelamnya manusia berlangsung sampai mati. Pada waktu-waktu di antaranya, manusia membangun jiwanya sendiri.

 
;