Senin, 05 Desember 2016

Terpaksa Menjadi Manusia

Hidup akan jauh lebih sederhana, dan lebih mulia, 
kalau saja setiap manusia menyadari dirinya manusia.


Bagi sebagian orang, memasuki Singapura jauh lebih sulit dibanding memasuki negara lain. Bukan urusan izin masuk ke negara tersebut, melainkan karena ketatnya peraturan yang diberlakukan di Singapura. Sebagai negara maju, Singapura terbuka kepada siapa pun yang ingin berkunjung. Tapi mereka menerapkan aturan ketat, yang kira-kira berbunyi, “Patuhi aturan kami, atau silakan pergi ke neraka!”

Sebagian orang mungkin sudah tahu, bahwa Singapura melarang penjualan permen karet. Jadi, orang yang biasa mengunyah permen karet harus menghadapi masalah satu itu, dan tidak bisa bebas menikmati kebiasaannya. Karena, jika ketahuan—dan kemungkinan besar memang akan ketahuan—orang yang mengunyah permen karet di wilayah Singapura akan dihukum denda yang besarnya mencapai 500-1.000 dollar.

Itu denda untuk pelanggaran pertama. Jika orang tersebut kembali ditemukan mengunyah permen karet di wilayah Singapura, denda yang dikenakan naik hingga 2.000 dollar, dan diwajibkan mengikuti Corrective Work Order (CWO).

CWO adalah hukuman membersihkan fasilitas publik, dan mereka yang dihukum CWO diharuskan memakai jaket berwarna terang. Pada saat orang-orang menjalankan hukuman CWO, media-media di Singapura akan berdatangan untuk meliput, sehingga menimbulkan efek malu dan jera. Kalau kau dua kali ketahuan mengunyah permen karet di Singapura, hampir bisa dipastikan kau akan terkenal, karena tampangmu akan muncul di banyak media di sana, dan masyarakat Singapura akan menganggapmu “orang tak beradab”.

Itu baru urusan permen karet.

Selain mengurus permen karet, pemerintah Singapura juga mengurus hal lain, di antaranya meludah dan buang air sembarangan. Orang tidak bisa cah-coh seenaknya di Singapura, sebagaimana orang tidak bisa kencing seenaknya. Jangankan kencing sembarangan, bahkan orang di Singapura tidak bisa seenaknya buang air besar di toilet umum tanpa disiram.

Sebagaimana ketahuan mengunyah permen karet, meludah sembarangan juga akan dikenai denda. Begitu pula kencing sembarangan, atau buang air di toilet tanpa disiram. Semuanya dikenai hukuman denda, yang mencapai 2.000 dollar (kalau belum naik). Buang sampah sembarangan juga diancam hukuman yang sama.

Percaya atau tidak, di toilet-toilet umum Singapura terpasang detektor tinja yang bisa mendeteksi apakah seseorang menyiram toilet dengan benar atau tidak. Kalau kau buang air besar dan tidak disiram, beberapa petugas sudah siap menyambutmu begitu kau keluar dari pintu toilet. Karena, di Singapura, yang kaulakukan adalah kejahatan—perbuatan yang tidak beradab.

Selain masalah permen karet, meludah sembarangan, dan urusan buang air, Singapura juga menerapkan berbagai aturan lain yang mungkin terkesan lebay, jika diukur menggunakan ukuran kita (orang Indonesia). Misalnya, Singapura tidak mengizinkan orang memelihara kucing. Alasannya sederhana, karena kucing suka buang kotoran sembarangan, dan itu bisa merusak kebersihan kota.

Bagaimana dengan anjing? Orang Singapura boleh memelihara anjing, tapi tidak sembarang anjing. Anjing yang diizinkan dipelihara di Singapura adalah anjing kecil, semisal chihuahua. Sementara anjing berukuran besar, semisal golden retriver atau siberian husky, tidak diizinkan. Selain itu, penduduk di sana hanya boleh memelihara satu ekor anjing untuk setiap satu rumah. Kecuali kalau kau punya rumah yang sangat besar, kau boleh memelihara hingga tiga ekor anjing. Tapi tetap anjing kecil.

Bagaimana dengan senjata api? Wong memelihara anjing saja tidak bebas, apalagi memiliki senjata api? Singapura sangat tegas dan tidak main-main dalam urusan kepemilikan senjata api. Pistol dan senapan hanya dimiliki polisi. Orang tidak bebas memiliki senjata api, jika tidak ingin berhadapan dengan hukum Singapura yang tanpa ampun. Karenanya, penjahat di sana—yang jumlahnya segelintir—paling banter membawa pisau sebagai senjata.

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, kenapa pemerintah Singapura sampai segitunya dalam mengatur warga? Kenapa urusan permen karet saja sampai diatur? Kenapa meludah saja sampai dihukum? Kenapa buang air tidak disiram saja sampai didenda? Kenapa memelihara kucing saja tidak boleh?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita harus flashback ke masa lalu, untuk melihat asal usul semua itu.

Di masa kini, Singapura adalah negara yang maju, bersih, modern, dan beradab. Tapi semua kualitas itu tidak datang seketika. Pada era 1970-an, Singapura adalah negara yang sangat kotor, dan warga di sana menjalani gaya hidup yang sangat jorok. Di masa itu, orang seenaknya meludah di mana-mana, termasuk di lantai bersih, di karpet, di elevator, dan lain-lain.

Begitu pula soal buang air. Mereka juga melakukan hal itu seenaknya, sehingga taman-taman di pinggir jalan berbau busuk, sementara toilet-toilet umum menjadi tempat yang menjijikkan. Di masa itu, karena sebegitu jorok, orang-orang di Singapura kadang sampai buang air kecil di lift! Karenanya, pada saat ini, semua lift di Singapura dipasangi detektor urin.

Aturan mengenai meludah dan buang air mulai ditetapkan sejak tahun 1980-an. Sejak itu, orang yang meludah atau buang air sembarangan, atau buang air besar di toilet dan tidak disiram, akan dikenai hukuman denda. Aturan itu benar-benar dipatuhi masyarakat, karena pemerintah Singapura sangat tegas dan tidak pandang bulu. Aturannya sederhana: Kau melanggar, kau harus dihukum, dan persetan denganmu!

Lalu soal permen karet. Sebenarnya, di masa lalu, Singapura membebaskan warganya menikmati permen karet. Tapi mereka yang suka mengunyah permen karet kadang memperlakukan sisa permennya dengan tidak beradab. Bukannya dibuang di tempat sampah, sisa permen yang lengket ditempelkan ke kotak surat, lubang kunci, tombol lift, lantai, tembok, tangga, kursi, meja, trotoar, dan lain-lain.

Hal itu pun menyebabkan biaya perawatan kebersihan membengkak, sementara peralatan yang ditempeli sisa permen karet sering kali rusak. Sampai di situ, pemerintah Singapura masih mencoba bersabar.

Pada 1987, MRT (Mass Rapid Transit; Angkutan Cepat Terpadu) mulai beroperasi di Singapura. Para pengunyah permen karet yang tidak bertanggung jawab menempelkan sisa permen mereka seenaknya ke kursi-kursi, juga ke sensor pintu MRT. Akibatnya, pintu tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Selain mengganggu layanan publik, hal itu tentu saja mengakibatkan kerusakan yang biaya perbaikannya tidak sedikit. Kenyataan itulah yang lalu membuat pemerintah Singapura habis kesabaran, dan mereka benar-benar murka.

Akhirnya, pada Januari 1992, pemerintah Singapura mengeluarkan larangan mengunyah permen karet di seluruh wilayah Singapura. Larangan itu juga mencakup kegiatan mengimpor, menjual, dan memproduksi permen karet. Impor dalam peraturan itu didefinisikan sebagai kegiatan membawa produk ke Singapura lewat darat, air, atau udara, oleh siapa pun, berapa pun jumlahnya, dan apa pun tujuannya.

Sejak itu, Singapura pun bersih dari masalah permen karet! Tidak ada lagi yang berani mengunyah permen karet di sana, karena pemerintah Singapura benar-benar tegas dalam menjalankan aturan. Tak peduli kau anak pejabat atau anak konglomerat, kau tidak berbeda di mata hukum Singapura. Sekali lagi, aturannya sederhana: Kau melanggar aturan, kau harus mendapat hukuman, dan persetan denganmu!

Setelah urusan permen karet bisa dibereskan, pemerintah Singapura pun merambah ke hal-hal lain, dan kembali menerapkan aturan ketat yang sama. Seperti urusan buang sampah, pemeliharaan hewan, masalah SARA, senjata api, peredaran majalah, dan lain-lain. Omong-omong, Singapura melarang peredaran majalah Playboy. Alasannya bukan agama, melainkan karena moral. Bagi Singapura, majalah Playboy “mempromosikan nilai-nilai promiskuitas kalangan perempuan”.

Singapura juga menutup akses situs kencan Ashley Madison. Situs itu mempromosikan freelife atau gaya hidup bebas, dan Singapura memblokir situs tersebut. Alasannya, lagi-lagi, bukan agama. Melainkan karena menganggap situs itu “menyerang nilai-nilai keluarga dan moralitas publik”.

Omong-omong soal agama, Singapura bisa dibilang negara sekuler. Meski begitu, mereka sangat menghormati agama-agama yang ada di sana. Kasus SARA bisa dibilang sangat langka di Singapura, dan orang harus berpikir sejuta kali sebelum mencoba melakukan keributan menyangkut SARA.

Sekadar ilustrasi, pada 2011 ada pendeta yang menyinggung agama Buddha, dalam suatu ceramahnya. Hanya dalam hitungan jam, ceramah si pendeta sudah tersebar di YouTube, dan menjadi pembicaraan publik di sana. Semua media massa di Singapura juga membahasnya, hingga seolah semua jari tertuding ke arah si pendeta. Tidak lama setelah itu, si pendeta meminta maaf ke petinggi komunitas Buddha.

Di luar yang telah saya sebutkan di atas, pemerintah Singapura juga mengatur berbagai hal lain, yang mungkin terkesan sepele dan tidak penting di negara lain, namun benar-benar diperhatikan di sana. Dan masyarakat Singapura benar-benar mematuhi berbagai aturan itu, hingga mau tak mau mereka mulai mendisiplinkan diri jika tidak ingin terkena hukuman dan denda. Karena hal itu pula, Singapura dijuluki “fine city” yang berarti “kota berbudaya”.

Yang menakjubkan, meski memiliki setumpuk aturan ketat—dari soal-soal besar sampai hal-hal kecil—di Singapura sangat jarang terlihat polisi. Tidak ada polisi yang berpatroli di jalanan Singapura. Hal itu didasari dua hal. Pertama, kamera pemantau tersebar di seluruh penjuru jalan dan tempat. Kedua, penegakan hukum di Singapura sangat tegas dan keras. Karenanya, meski tidak ada polisi atau petugas yang mengawasi, orang akan berpikir panjang sebelum nekat melakukan pelanggaran.

Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat sekarang, Singapura benar-benar menjadi tempat yang bersih, tertib, modern, sekaligus beradab. Pemerintah Singapura menyadari, hal-hal kecil memiliki peran penting dalam membentuk hal-hal besar. Karenanya, sambil menjalankan hal-hal besar, mereka tidak melupakan hal-hal kecil. Seperti soal kebersihan, ketertiban, kedispilinan, keteraturan, dan hukum yang benar-benar dijalankan dengan tegas.

Menyaksikan Singapura adalah menyaksikan kebenaran lama tentang manusia. Bahwa manusia bisa menjadi makhluk yang baik, bermoral sekaligus beradab, jika mereka “dipaksa” menjadi manusia. Karena Singapura adalah sebuah negara, maka sistem yang bisa digunakan untuk “memaksa” adalah hukum dan kekuasaan pemerintah.

Dalam hal itu, pemerintah Singapura memberlakukan hukum yang tegas, keras, sekaligus tak pandang bulu. Saat rakyat yang bersalah, mereka dihukum. Saat pejabat yang bersalah, mereka pun dihukum. Saat si miskin melanggar aturan, mereka dihukum. Saat si kaya yang melanggar, mereka juga dihadapkan hukum yang sama. Saat manusia setara di hadapan hukum, keadilan tercapai. Saat keadilan tercapai, manusia akan berusaha menjadi manusia.

Terbiasa mengunyah permen karet, lalu diminta meninggalkan kebiasaan itu, jelas bukan tugas mudah. Begitu pula kebiasaan meludah dan buang sampah sembarangan, atau kebiasaan buruk lain. Ketika orang sudah terbiasa melakukan kebiasaan buruk, lama-lama mereka tidak lagi menyadari hal itu buruk. Karena sudah menganggap sebagai hal biasa. Mereka baru akan menyadari itu buruk, jika dihadapkan pada konsekuensi, hukuman, atau denda.

Tetapi, seberat apa pun, kenyataannya masyarakat Singapura berhasil meninggalkan kebiasaan-kebiasaan itu. Yang semula mengunyah permen karet, berhenti. Yang suka meludah dan buang sampah sembarangan, berhenti. Yang semula suka melakukan hal-hal tak beradab, berhenti. Bagaimana mereka bisa melakukannya? Karena mereka memaksa diri untuk melakukannya!

Adanya hukuman tegas dan adil menjadikan setiap orang belajar mendisiplinkan diri sendiri. Ketika orang bisa mendisiplinkan diri agar lebih beradab, mereka pun menjadi beradab. Ketika orang bisa mendisiplinkan diri agar lebih tertib, mereka pun lebih tertib. Ketika orang bisa mendisiplinkan diri agat menjalani hidup lebih baik, mereka pun hidup lebih baik.

Jika manusia dipaksa menjadi manusia, mereka benar-benar akan menjadi manusia.

 
;