Daripada mencari-cari kesalahan keyakinan orang lain,
aku lebih suka mempelajari dan mendalami keyakinanku sendiri.
—@noffret
aku lebih suka mempelajari dan mendalami keyakinanku sendiri.
—@noffret
Orang bisa membunuh karena ideologi—itu kenyataan. Dari sejarah, kita tahu, orang-orang PKI bisa membunuh orang lain di luar ideologinya, sebagaimana orang-orang nonkomunis bisa membantai orang-orang yang dianggap atau dituduh terlibat PKI. Pembunuhan dan pembantaian itu bahkan kadang dilakukan pada orang-orang yang dikenal—tetangga, teman, atau bahkan saudara—dan alasan yang mendasarinya adalah ideologi.
Berabad-abad lampau, dua pasukan besar berhadapan dan saling bunuh dalam Perang Salib, karena ideologi. Puluhan tahun silam, Adolf Hitler membantai orang-orang Yahudi dalam Holocaust, karena ideologi. Beberapa tahun lalu, bangsa Serbia membunuhi orang-orang Bosnia, karena ideologi. Sesudahnya, orang-orang Yahudi Israel membantai bangsa Palestina, karena ideologi. Baru kemarin, orang-orang Sunni dan Syi’ah berperang di Irak, karena ideologi. Dan hari ini, orang-orang yang menyebut dirinya ISIS membunuh siapa pun yang dikehendaki, karena alasan yang sama—ideologi.
Ideologi, lebih dari apa pun, telah menciptakan wabah kematian umat manusia dalam jumlah luar biasa besar, yang sulit ditandingi wabah apa pun yang pernah terjadi di muka bumi. Yang lebih mengerikan, wabah kematian akibat ideologi tidak menghasilkan apa pun, selain sentimen kebencian yang makin mengental. Sebagai perbandingan, wabah Black Death yang pernah membunuh sepertiga populasi Eropa menghasilkan Renaissance, zaman keemasan bangsa Eropa. Tapi wabah kematian akibat ideologi... nothing!
Apa sebenarnya yang disebut ideologi? Dalam konteks sosial, ideologi sering mewujud sebagai keyakinan yang dibalut fanatisme. Dan apakah fanatisme? Fanatisme berasal dari kata fanatik. Orang yang memiliki paham terhadap sesuatu dengan diikuti sikap fanatik disebut fanatisme. Untuk hal itu, Napoleon Bonaparte punya kalimat lugas yang menggambarkannya, “Tidak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat.”
Napoleon tahu hal itu, karena dia punya banyak fans—orang-orang yang sangat fanatik terhadapnya, hingga rela mati demi dirinya. Kenyataan bahwa dia bisa menguasai seluruh daratan Eropa dengan jelas menunjukkan bagaimana kepiawaian Napoleon dalam mengelola fanatisme pasukannya. Dan Jenderal Besar itu mengatakan, “Tidak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat.”
Itu mengerikan, bahkan jika bukan Napoleon yang mengatakan. Saat orang fanatik terhadap sesuatu, akal pikirannya tertutup untuk menerima penjelasan lain. Dalam hal itu, ideologi adalah hal besar yang selalu mampu membuat orang menjadi fanatik. Meski dibayar uang sebanyak apa pun, orang masih mikir-mikir untuk melakukan bunuh diri dengan bom terlilit di tubuhnya. Tapi dengan alasan ideologi, mereka bisa melakukannya dengan santai—datang ke tempat ramai, kemudian memicu bom yang membunuh banyak orang sekaligus dirinya sendiri.
Ideologi. Fanatisme. Keyakinan.
Orang bisa bermusuhan tanpa sebab apa pun, selain hanya karena perbedaan ideologi. Orang bisa saling bunuh tanpa dasar apa pun, selain hanya karena sentimen ideologi. Ideologi, sebagaimana politik, tidak mengenal kawan dan lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan atau keyakinan abadi. Saya tahu betul hal ini, karena pernah mengalami sendiri.
Dalam perjalanan hidup, saya pernah bergabung dengan sebuah organisasi ideologi. Sebut saja namanya Organisasi X. Setelah saya jelas tercatat sebagai anggota Organisasi X, sejak itu pula langsung terlihat mana teman dan mana lawan. Sebelumnya, saya berteman dengan banyak orang, dari berbagai latar belakang. Tetapi sejak saya masuk organisasi itu, sebagian teman berubah menjadi lawan, karena kebetulan mereka anggota organisasi lain yang berseberangan ideologi dengan organisasi saya.
Pada waktu itu, Organisasi X berseteru dengan organisasi lain—sebut saja Organisasi Z. Sebelumnya, saya berteman dengan cukup banyak orang yang merupakan anggota Organisasi Z. Tetapi, setelah saya jelas bergabung dengan Organisasi X, mereka langsung berubah. Tidak ada lagi keakraban antarteman seperti sebelumnya—yang ada hanya tatapan curiga, bahkan kebencian.
Hal semacam itu berlangsung sampai beberapa tahun. Orang-orang yang semula saya anggap teman berubah posisi menjadi lawan, dan alasan atau dasarnya hanya karena perbedaan ideologi. Kebencian mereka makin tampak ketika kiprah dan aktivitas saya dalam Organisasi X semakin nyata, hingga saya menduduki posisi penting dalam organisasi. Mereka tahu, saya telah menjadi salah satu otak di balik Organisasi X, dan sejak itu mereka menganggap saya sebagai ancaman.
Terdengar absurd? Itu belum seberapa.
Suatu hari, seorang anggota Organisasi Z membelot, karena konflik internal. Singkat cerita, dia menawarkan diri untuk bergabung dengan Organisasi X. Setelah kami yakin dia benar-benar “bersih”, dia pun diterima dalam Organisasi X. Dari dia, saya kemudian tahu bagaimana mengerikannya kebencian orang-orang Organisasi Z kepada kami di Organisasi X. Mereka, orang-orang yang semula saya kenal sebagai teman, kini telah berubah menjadi musuh yang mungkin tidak akan pikir-pikir jika harus menghabisi kami.
Dan alasannya karena ideologi. Sebagaimana politik, dalam ideologi tidak ada kawan dan lawan—yang ada hanya kepentingan. Atau, dalam konteks ini, keyakinan. Orang yang semula temanmu bisa berubah menjadi musuhmu hanya karena kau dinilai berbeda keyakinan dengannya. Sementara orang yang semula ingin membunuhmu bisa berubah menjadi temanmu hanya karena kau dianggap satu keyakinan dengannya. Mengerikan? Mungkin ya. Ironisnya, saya benar-benar mengalami.
Suatu waktu, terjadi perbedaan prinsip antara saya pribadi dengan organisasi X. Saya menawarkan opsi—ide saya disetujui dan saya akan tetap bergabung dengan organisasi, atau ide saya ditolak dan saya akan keluar dari organisasi. Semula, mereka menjanjikan akan memenuhi saran saya. Tapi janji itu tidak juga dilaksanakan. Ketika mulai dilaksanakan, pelaksanaannya melenceng dari yang saya minta. Singkat cerita, saya kecewa. Lalu keluar dari Organisasi X.
Keluarnya saya dari Organisasi X telah berusaha diredam kuat, agar beritanya tidak sampai bocor. Semua orang berusaha tutup mulut, dan bersikap seolah tidak ada masalah. Saya bukan orang yang suka koar-koar, jadi saya juga tutup mulut, dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Tetapi, ajaibnya, berita itu tetap bocor, bahkan dalam waktu singkat, dan orang-orang dari Organisasi Z mengetahuinya.
Hanya berselang satu bulan setelah saya keluar dari Organisasi X, beberapa orang yang menduduki posisi puncak di Organisasi Z menemui saya secara pribadi, dan menawari saya masuk organisasi mereka. Sikap mereka sangat ramah, dengan tutur kata yang sangat sopan dan halus. Sebagai iming-iming, mereka menawarkan proyek besar yang kebetulan sedang mereka tangani. Saya masih ingat yang mereka katakan waktu itu, “Kalau kau setuju masuk organisasi kami, proyek ini milikmu.”
Coba lihat. Orang-orang ini semula musuh-musuh saya, yang menunjukkan kebenciannya dengan sangat jelas dan terang-terangan—orang-orang yang ingin menghabisi saya kalau saja bisa. Tapi sekarang, karena saya telah keluar dari organisasi yang menjadi musuh mereka, orang-orang ini datang dengan sikap seperti sahabat, menawarkan sesuatu yang diharapkan bisa menyenangkan saya.
Mengimbangi sikap mereka, saya pun menyambut dengan sopan, dan menyatakan perlu memikirkannya. Tetapi, bagaimana pun, saya bukan pengkhianat. Meski telah keluar dari Organisasi X, bukan berarti saya bisa masuk Organisasi Z atau lainnya. Orang-orang dari Organisasi Z memahami sikap saya. Sejak itu, mereka tidak lagi mendekati, namun juga tidak membenci.
Seperti politik, ideologi tidak mengenal kawan dan lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan serta keyakinan. Dan ideologi tak pernah mati. Selalu ada orang-orang yang menghidupkannya, mengipasinya agar terus menyala, dan selalu ada orang yang tahu bagaimana cara memanipulasinya.
Kini, ketika internet telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, ideologi juga “hijrah” ke dunia maya, dan kita bisa menemukannya di mana-mana—di blog, di berbagai web, di Facebook, di Twitter, sebut lainnya. Mereka mengusung benderanya sendiri-sendiri, dengan keyakinannya sendiri-sendiri, dengan ideologinya sendiri-sendiri, dengan fanatismenya sendiri-sendiri. Dan, seperti yang dinyatakan Napoleon, “Tidak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat.”
Sebagaimana di dunia nyata, di dunia maya pun ideologi hanya mengenal kepentingan abadi, yakni keyakinannya sendiri. Mereka tidak butuh penjelasan, bahkan tidak ingin didebat atau digugat. Ketika seseorang telah menenggelamkan dirinya ke dalam fanatisme ideologi, saat itu pula mereka telah menutup pikirannya sendiri. Mereka tidak lagi butuh penjelasan lain, karena telah memiliki penjelasannya sendiri. Bahkan, mereka tidak butuh kebenaran lain, karena telah memiliki kebenarannya sendiri.
Latar belakang semacam itulah yang menjadikan saya selama ini lebih suka tutup mulut, dan tidak mau terlibat perseteruan atau bahkan peperangan ideologi, khususnya di dunia maya. Daripada sibuk mencari-cari kesalahan keyakinan orang lain, saya lebih memilih sibuk mempelajari dan mendalami keyakinan saya sendiri.
Kadang ada yang menuduh saya menulis dan mengomentari banyak hal, tapi bungkam untuk isu-isu ideologi. Oh, well, saya memang sengaja diam, karena menakar manfaat serta mudarat, dan melihat lebih banyak mudaratnya.
Mereka yang saling serang karena perbedaan ideologi tidak akan pernah selesai, selama masing-masing orang masih menutup pikirannya sendiri. Mereka tidak saling memberi penjelasan, karena sebenarnya mereka sedang beradu pembenaran. Yang jadi masalah, ideologi menjadikan masing-masing merasa benar. Ketika orang-orang bising bersuara dan semua saling merasa benar, penyelesaian hanya ada dalam diam.
Ideologi dibangun di atas fanatisme. Fanatisme berdiri dengan landasan keyakinan. Dan keyakinan, kata Goenawan Mohamad, “bisa jadi semacam iman yang terlampau besar buat hal ihwal dunia yang fana.”