Dia berkata kepadaku, “Seseorang berharap aku mau menemuinya. Aku bersedia, tapi dengan syarat—kami telah bercakap-cakap. Kupikir itu cukup adil. Kau tentu akan mikir-mikir jika harus pergi jauh untuk menemui seseorang yang bahkan tidak pernah bercakap denganmu. Agar kau yakin, kalian tentu harus saling kenal. Untuk saling kenal, percakapan menjadi salah satu sarana. Fair enough, eh?”
Aku mengangguk.
Dia meneruskan, “Jadi, aku bersedia menemuinya, tapi kami harus berkomunikasi terlebih dulu.”
“Dan dia mau berkomunikasi denganmu?”
“Aku menghubunginya lewat Twitter, berharap bisa terjadi komunikasi,” dia menceritakan. “Tapi dia selalu menghapus berkas percakapan kami, sehingga aku merasa kalau kami tidak pernah bercakap-cakap. Bahkan berkas di DM pun dihapus, padahal itu bukti bahwa kami pernah bercakap.”
Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Aku beralih ke e-mail. Berharap percakapan yang lebih private bisa membuat nyaman, sehingga tidak ada lagi berkas percakapan yang dihapus. Tetapi, di e-mail, dia menanggapi percakapan dengan sangat kaku, sehingga aku kehilangan minat untuk meneruskan. Padahal, aku berharap kami bisa bercakap dengan santai layaknya teman, agar bisa menjadi pendahuluan yang baik sebelum pertemuan langsung.”
Aku masih diam, mendengarkan.
“Aku masih bersabar,” lanjutnya. “Kali ini, aku mencoba menghubungi ponselnya, berharap komunikasi langsung via ponsel bisa lebih cair. Tetapi, saat ditelepon, dia tidak menerima teleponku. Cukup lama aku menunggu dering panggilan di ponsel, tapi dia tetap tidak menerima.”
Aku tetap diam, mendengarkan.
“Jadi, apa lagi yang bisa kulakukan?” ujarnya dengan frustrasi. “Di Twitter, percakapan tidak nyambung. Di e-mail, percakapan sangat kaku. Ditelepon, dia tidak menerima panggilan. Apa lagi yang bisa kulakukan?”
Aku mengusulkan, “Bagaimana dengan Facebook?”
“Aku memang punya akun di Facebook, tapi sudah lama sekali tidak kuurusi dan tidak pernah kubuka,” jawabnya. “Omong-omong, aku bahkan sudah lupa password yang kupakai di Facebook. Jadi kami tidak mungkin berkomunikasi lewat Facebook.”
Aku mengusulkan lagi, “Bagaimana dengan Path?”
“Aku tidak punya akun Path.”
“Instagram?”
“Sama saja, aku tidak punya!”
“Pinterest?”
“Ya ampun, apa itu?”
“SMS?”
“Aku memang pernah menyinggung sekilas soal SMS, tapi dia meminta agar kami berkomunikasi lewat WhatsApp. Aku berterus terang kepadanya, bahwa aku gaptek, dan tak pernah kenal aplikasi semacam WhatsApp. Sejak punya ponsel bertahun-tahun lalu, aku belum pernah sekali pun menggunakan WhatsApp, dan sejujurnya aku tak pernah tertarik dengan macam-macam aplikasi semacam itu.”
Aku kembali terdiam. Kali ini karena bingung.
“Jadi, apa lagi yang bisa kulakukan?” dia bertanya.
Aku masih diam. Kemudian, setelah memikirkan sesaat, aku berkata, “Kenapa tidak kaulupakan saja?”