Dari tiga hakim yang ada, dua akan masuk neraka
dan satu masuk surga. Hakim yang tidak tahu kebenaran
dan hakim tahu fakta tapi tidak memutus dengan kebenaran fakta itu,
mereka masuk neraka. Dan hakim yang tahu fakta dengan memutus
perkara atas kebenaran fakta itu, dia masuk surga.
—HR. Bukhari Muslim
dan satu masuk surga. Hakim yang tidak tahu kebenaran
dan hakim tahu fakta tapi tidak memutus dengan kebenaran fakta itu,
mereka masuk neraka. Dan hakim yang tahu fakta dengan memutus
perkara atas kebenaran fakta itu, dia masuk surga.
—HR. Bukhari Muslim
Dalam suatu percakapan berdua, seorang teman berkata, “Aku sangat ingin tahu. Apakah kamu percaya alam akhirat?”
“Kenapa kamu ingin tahu?” saya balik bertanya.
“Yeah... sebenarnya, aku hanya penasaran,” dia menjawab. “Maksudku, mungkin kamu punya pikiran yang agak liar atau... yeah, semacam itulah. Jadi, kamu percaya alam akhirat—atau tidak?”
“Aku memilih untuk percaya.”
Dia menatap saya. “Apa artinya itu?”
Saya menyulut rokok, kemudian berkata perlahan-lahan, “Sebagai bocah, sejujurnya aku sulit membayangkan alam akhirat seperti apa. Tetapi aku juga sulit percaya jika alam akhirat tidak ada. Jadi, meski sulit membayangkannya, aku memilih untuk percaya alam akhirat memang ada. Bahkan, aku berharap, dan berdoa, semoga akhirat benar-benar ada.”
“Tapi kamu percaya teori evolusi...”
“Aku tidak pernah mengatakan aku percaya teori evolusi.”
Dia tampak serba salah. “Uh, kupikir...”
“Kadang kita memang suka berasumsi, dan terlalu cepat menarik kesimpulan. Hanya karena seseorang punya ketertarikan pada teori evolusi, kita menyimpulkan dia mempercayai teori evolusi.”
“Jadi... kamu tidak percaya teori evolusi?”
“Aku juga tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak percaya teori evolusi.”
“Uh... jadi?” Dia menatap dengan bingung. “Biar kubuat sederhana, kamu percaya teori evolusi—atau tidak?”
Saya tersenyum. “Dari tadi kamu menyebut teori evolusi, teori evolusi, teori evolusi. Kenapa kamu tidak menyadari ucapanmu sendiri?”
“Oh, ayolah, tolong jelaskan.”
Saya mengisap rokok sesaat, kemudian menjelaskan, “Teori evolusi hanyalah teori—sesuatu yang (masih) bersifat teoritis dan interpretatif—karena itu pula disebut ‘teori evolusi’. Jangankan aku, bahkan Charles Darwin pun sebenarnya belum yakin dengan teorinya sendiri. Darwin menemukan interpretasinya tentang evolusi yang kemudian ia simpulkan menjadi teori evolusi. Tetapi dia sendiri belum yakin, karena masih ada lubang—missing link—yang belum bisa ia temukan, bahkan sampai hari ini.”
“Tapi kamu mengagumi Darwin?”
“Aku mengagumi Darwin karena kemampuannya berpikir dalam biologi, tak jauh beda dengan kekagumanku pada Richard Dawkins. Atau Karl Marx. Atau Nietzsche. Atau Socrates. Atau Gus Dur. Atau Goenawan Mohamad. Atau Nurcholis Madjid. Oh, well, sebut lainnya. Tetapi mengagumi seseorang bukan berarti kemudian aku mempercayai bulat-bulat apa saja yang mereka ocehkan. Orang-orang itu memiliki pemikiran-pemikiran yang mengagumkan, dan aku mengagumi pikiran mereka. Soal apakah aku setuju atau tidak dengan pemikiran mereka, itu urusan lain.”
Sesaat dia diam. Kemudian bertanya ragu, “Jadi, intinya, kamu percaya teori evolusi—atau tidak?”
“Aku mempercayai teori evolusi—sebatas sebagai teori—sebagaimana Charles Darwin mempercayai teorinya sendiri. Maksudku, sebagai teori dalam bidang biologi, teori evolusi memiliki dasar argumen yang sahih. Jika kemudian kesahihan dasar argumen yang digunakan Darwin terbukti keliru, ya tidak apa-apa, namanya juga teori. Dalam tahun-tahun terakhir, misalnya, ada banyak pihak yang berusaha menunjukkan kekeliruan-kekeliruan teori Darwin. Tidak apa-apa, karena memang begitulah ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan, umpama Darwin saat ini masih hidup, aku membayangkan dia akan berterima kasih pada orang-orang yang telah menunjukkan kekeliruannya—sebagaimana ilmuwan lain. Dan itulah yang menjadikan sains menarik—tidak dogmatis, tapi terbuka pada koreksi.”
“Uh... kalau boleh kusimpulkan, jadi kamu percaya teori evolusi, tapi juga percaya alam akhirat?”
“Seperti yang kubilang tadi, aku percaya teori evolusi sebagai teori. Dengan kata lain, aku tidak menjadikan teori evolusi sebagai iman yang menjadi dasar keyakinan. Memang benar bahwa teori evolusi memiliki beberapa lubang yang bahkan Darwin sendiri tidak mampu menjelaskan. Tetapi bahwa teori evolusi juga punya hal-hal benar, kita harus mengakui. Jika kemudian hal-hal benar dalam teori evolusi di masa depan terbukti keliru, sekali lagi tidak apa-apa, karena memang begitulah teori, seperti itulah sifat ilmu pengetahuan.”
“Lalu bagaimana soal akhirat?”
“Berbeda dengan teori evolusi, akhirat adalah soal keyakinan. Seperti yang kunyatakan tadi, aku sulit membayangkan alam akhirat seperti apa. Tetapi aku memilih untuk percaya. Dan, omong-omong, itulah yang disebut iman—segugus kepercayaan yang tidak menuntut bukti. Jika teori evolusi bersifat intelektual, soal akhirat bersifat spiritual. Jika suatu saat teori evolusi terbukti keliru, aku pun akan meralat kepercayaanku. Berbeda dengan iman. Sampai kapan pun kita akan sulit membuktikan apakah akhirat ada atau tidak—karenanya aku lebih memilih untuk percaya.”
“Kenapa kamu memilih untuk percaya akhirat benar-benar ada?”
“Karena aku sulit membayangkan akhirat tidak ada.”
“Kenapa kamu sulit membayangkan akhirat tidak ada?”
“Karena, jika akhirat tidak ada, maka seluruh kehidupan kita benar-benar parodi yang sama sekali tak lucu, dan kehidupan umat manusia adalah ironi paling mengerikan.”
“Tolong jelaskan.”
“Penjelasannya sangat panjang, dan percakapan ini bisa butuh waktu setengah tahun jika aku harus menjelaskannya.”
Dia tertawa. “Oh, ayolah, jelaskan garis besarnya saja.”
Saya terdiam sesaat, mengisap rokok, kemudian berkata perlahan-lahan, “Dunia yang kita tinggali sebenarnya tempat yang adil—kita menanam biji mangga, dan kita mendapat pohon mangga. Adil. Seimbang. Jujur. Tapi manusia sering kali tidak adil. Seseorang menanam biji mangga, tapi berharap mendapat pohon durian. Ketika harapannya tidak tercapai, dia merampas pohon durian orang lain. Begitulah awal kejahatan terjadi—karena manusia tidak adil terhadap dirinya sendiri, dan kepada orang lain. Karena manusia berpotensi tidak adil, dan kejahatan bisa terjadi, maka manusia pun membutuhkan institusi-institusi hukum yang diharapkan bisa memberi keadilan. Tapi institusi-institusi hukum itu pun dijalankan manusia, yang bisa sama tidak adil seperti manusia lain. Maka, ketika seseorang teraniaya dan ia tidak bisa mendapat keadilan dari institusi manusia, ke manakah dia harus mengadu? Pada siapa dia harus meminta keadilan? Di tempat mana keadilan akan benar-benar ditegakkan tanpa intervensi nafsu manusia?”
Dia mengangguk.
Saya melanjutkan, “Karena itulah aku memilih untuk percaya bahwa akhirat benar-benar ada. Aku bahkan berdoa, berharap sepenuh jiwa, bahwa akhirat benar-benar ada. Agar setiap manusia bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, kejahatannya, ketidakadilannya. Terlepas apakah manusia hanyalah produk evolusi atau makhluk yang murni, manusia membutuhkan akhirat—setidaknya, aku berpikir begitu.”
“Sekarang aku mulai paham.”
“Senang mendengarnya.”
“Tapi, jika alam akhirat benar-benar ada, dan kelak di sana kamu ternyata dinilai punya banyak kesalahan, dan divonis masuk neraka, bagaimana?”
Saya tersenyum. “Tidak apa-apa. Karena setiap kita memang harus bertanggung jawab. Jadi, kalau hasil pengadilan di akhirat memutuskan aku masuk neraka, ya tidak apa-apa. Kalau itu memang terjadi, aku percaya pertimbangan yang dilakukan di sana benar-benar adil, dan aku harus menerima. Di akhirat, aku percaya, tidak ada upaya kriminalisasi, tidak ada pengacara yang memanfaatkan kasus, tidak ada hakim yang korup, juga tidak ada jaksa yang minta disuap. Jadi, apa pun keputusannya, aku akan menerima.”
Sekarang dia yang tersenyum. Kemudian, sambil tersenyum pula, dia berkata, “Itu kalau umpama kamu masuk neraka. Nah, kalau umpama kamu ternyata dinilai melakukan banyak kebajikan, dan divonis masuk surga, apa yang akan kamu lakukan?”
“Well... pasti banyak hal menyenangkan yang bisa kulakukan di surga—misalnya membaca buku. Atau ndusel di pangkuan mbakyu. Tapi mungkin aku akan sering jalan-jalan ke pinggir neraka.”
“Untuk apa?”
“Untuk menyaksikan hal-hal yang ingin kita saksikan di dunia, tapi tak bisa kita saksikan karena adanya ketidakadilan. Well, pasti menyenangkan melihat koruptor-koruptor bangsat diguyur aspal panas, hakim-hakim korup dibakar hidup-hidup, dan keparat-keparat pengisap darah rakyat disiksa di dasar neraka.” Sambil mengepulkan asap rokok dari mulut, saya melanjutkan, “Karena itulah aku percaya akhirat benar-benar ada. Tempat kita benar-benar bisa menyaksikan keadilan... sepenuh-penuhnya keadilan.”
Dia mengangguk-angguk. Kemudian mengajukan pertanyaan tak terduga, “Menurutmu, apakah Charles Darwin akan masuk surga?”
Saya tertawa. “Aku tidak tahu.”