Minggu, 05 April 2015

Berawal dari Miskol, lalu Kirim SMS, Terus Janjian, Berakhir dengan Potong Penis (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Saat mereka sampai di tempat sepi, Otong menghentikan motornya, lalu kembali mengajak Neng “begituan”. Neng ho’oh. Maka mereka pun “begituan”, dan kali ini sampai benar-benar selesai. “Di situ dia melakukannya sampai tuntas,” ujar Neng menjelaskan.

Seusai “begituan”, mungkin keduanya lapar. Otong mengajak makan nasi goreng yang tak jauh dari kampus Universitas Pamulang. Waktu itu sudah pukul 04.00 pagi. Seusai makan, Otong meminta agar Neng pulang dengan naik angkutan umum. “Dia beritahu saya naik angkot apa untuk pulang, dan memberi ongkos juga,” ujar Neng menceritakan.

....
....

Sampai di sini, apakah adegan-adegan dalam kisah ini terdengar masuk akal? Tidak? Well, sekarang, kita akan masuk pada bagian paling tak masuk akal dari rangkaian kisah ini.

....
....

Ketika mereka akan berpisah di warung nasi goreng yang sepi itu, Neng meminta Otong membuka celananya, karena Neng ingin melihat penis Otong. Kelak, di rumah sakit, Otong menceritakan pada polisi yang menemuinya, “Dia (Neng) nggak mau pulang sebelum lihat alat kelamin saya.”

Jadi, Otong pun melepas celananya, dan memperlihatkan penisnya pada Neng. Saat Otong sibuk melepas kancing dan menurunkan celana, diam-diam Neng mengambil pisau cutter dari dalam tas. Lalu disentuhnya penis Otong, dan dipotongnya penis cowok itu dengan pisau tajam yang telah disiapkannya.

Apa reaksi Otong ketika mendapati penisnya putus karena dipotong Neng? Berteriak kesakitan? Marah-marah? Mengutuk dan memaki Neng? Tidak! Berdasarkan penuturan Neng di hadapan polisi, inilah yang dikatakan Otong ketika mendapati penisnya telah hilang, “Kok kamu melakukan hal itu?”

Neng menjawab, “Tapi kamu kan nggak mati.”

Kemudian, masih dengan nada kalem, Otong menyatakan, “Emangnya lo enggak mikir apa, kalau sudah begini siapa yang mau kawin sama gue?”

Dan apa jawab Neng? Ketika ditanya polisi kenapa dia memotong penis Otong, Neng menggumam, “Saya juga enggak tahu kenapa saya melakukan itu.”

Di warung nasi goreng yang sepi dini hari itu, di hadapan Otong yang kini kehilangan penisnya dan bersimbah darah di selangkangan, Neng berkata, “Terus gimana, dong? Kita ke rumah sakit aja, yuk.”

((((((“Terus gimana, dong? Kita ke rumah sakit aja, yuk.”)))))

Kedengarannya seperti ngajak piknik ke Ancol.

Karena merasakan selangkangannya semakin perih dan darah yang keluar semakin banyak, Otong memutuskan untuk pergi ke rumah sakit secepatnya. Dia segera memungut potongan penisnya, mengendarai motor, dan menuju RSUD yang cukup jauh dari lokasi kejadian. Dan, karena khawatir terjadi hal-hal yang lebih mengerikan, Otong tidak mengajak Neng. Jadi, sejak itu, Otong pun praktis berpisah dengan cewek itu.

Sesampai di RSUD Tangerang Selatan, kondisi Otong sudah parah, dan dia segera ditolong para petugas di sana. Karena kasusnya yang mengerikan, polisi pun dipanggil oleh RSUD. Semula—entah dengan motivasi apa—Otong menyatakan bahwa orang yang memotong penisnya adalah waria yang kebetulan bertemu dengannya. Berita mengenai “waria yang memotong penis Otong” bahkan sempat muncul di banyak web.

Namun, penyelidikan polisi di TKP tidak menemukan bukti-bukti sebagaimana yang dituturkan Otong. Tidak ada waria, tidak ada saksi, tidak ada bukti—nothing. Akhirnya, setelah dikonfrontasi, Otong pun mengakui bahwa pelakunya adalah Neng, cewek yang telah “kencan semalam” dengannya.

Berdasarkan hal itu, polisi berusaha mencari Neng. Melalui pelacakan nomor ponselnya, posisi atau tempat tinggal Neng diketahui, dan dia pun ditangkap. Di hadapan polisi yang memeriksanya, Neng mengakui perbuatannya. Ia menuturkan kronologi kejadian itu secara runtut dan sistematis, sejak miskol yang diterimanya, kirim-kiriman SMS antara dia dan Otong, sampai janjian via ponsel untuk ketemuan, yang berakhir dengan pemotongan penis Otong.

Apakah Neng menyesali perbuatannya? Entahlah. Yang jelas, dia menceritakan rangkaian kisah itu dengan lancar, seperti mengisahkan kencan yang mengasyikkan. Bahkan, dia tertawa cekikikan ketika menceritakan adegan-adegan “panas” yang dilakukannya bersama Otong. Mungkin dia tidak menyadari bahwa perbuatannya akan segera menyeretnya ke penjara, dengan ancaman vonis mengerikan.

Lalu bagaimana dengan Otong? Menurut dokter yang dihubungi wartawan, penis Otong sulit disambung kembali, karena jangka waktunya (sejak terpotong) sudah cukup lama. Dokter Gideon Tampubolon dari RS Premier Bintaro, Tangerang, menjelaskan kepada wartawan Kompas.Com, “Syarat untuk operasi penyambungan adalah organ (penis) harus dalam kondisi bersih, dan langsung disimpan dalam cairan es atau larutan garam fisiologis yang dingin, supaya steril. Karena itu, pasien harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.”

Operasi penyambungan organ (penis) yang putus, menurut Dokter Tampubolon, termasuk operasi mikro yang membutuhkan mikroskop dan melibatkan beberapa dokter spesialis, termasuk dokter urologi dan ahli bedah vaskuler. “Operasinya sangat rumit karena menyambung uretra, pembuluh darah, serta saraf,” ujarnya.

....
....

Seperti yang kita lihat, kisah ini mengerikan. Dan rangkaian kisahnya sangat absurd, bahkan tak masuk akal. Umpama ini cerpen fiksi, editor atau redaktur yang membacanya pasti akan tersenyum kecut. Karakteristik para tokohnya tidak “match” dengan penampilan, lokasi kejadiannya sangat aneh, dialog-dialognya tak masuk akal, sementara rangkaian kisahnya sangat absurd dan mengerikan.

Tetapi, well, kisah nyata memang sering tak masuk akal. Dan seabsurd apa pun, kita tetap percaya—atau dipaksa percaya—karena kenyataannya memang nyata. Bahwa dua orang yang semula tak saling kenal rupanya bisa bertemu dan “begituan” setelah diawali miskol, rangkaian SMS, dan janji ketemuan. Bahwa cewek yang mau “begituan” denganmu bisa jadi menyiapkan pisau untuk memotong penismu satu-satunya. Dan, bisa jadi pula, kau akan kehilangan penis selamanya karena alasan-alasan medis yang tralala.

....
....

Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini?

Tidak ada pelajaran apa pun. Itulah pelajarannya.

Kalau saja Otong mau menggunakan waktunya untuk belajar, dan bukannya sibuk miskol cewek tak dikenal, mungkin peristiwa mengerikan itu tak terjadi. Kalau saja Neng lebih sibuk belajar, dan bukannya mengurusi miskol cowok tak dikenal, mungkin dia tidak ditangkap polisi.

Kalau saja Otong mau memanfaatkan waktunya untuk belajar, bekerja, dan melakukan hal-hal produktif, mungkin dia tidak kehilangan penisnya. Kalau saja Neng mau memanfaatkan waktunya untuk belajar, bekerja, dan mengerjakan hal-hal positif, mungkin dia tidak masuk penjara.

Tetapi, sayangnya, mereka tidak sibuk belajar. Kenyataannya mereka masih punya waktu untuk mengurusi miskol, kirim-kiriman SMS, tilpon-tilponan, janjian ketemuan, lalu kelayapan semalaman. Mereka tidak belajar—oh, well, mereka tidak menggunakan waktunya untuk belajar.

Jadi, kisah ini tidak punya pelajaran sama sekali. Dan itulah pelajarannya.

 
;