Minggu, 05 April 2015

Berawal dari Miskol, lalu Kirim SMS, Terus Janjian, Berakhir dengan Potong Penis (1)

Kita menjalani hidup yang lebih absurd dari para kartun.
Mereka hidup dengan skenario jelas,
semustahil apa pun ceritanya. Kita tidak.
@noffret


Apa perbedaan fiksi dan nonfiksi? Fiksi adalah kisah rekaan atau khayalan, sementara nonfiksi adalah kisah nyata berdasar kenyataan sesungguhnya. Dalam beberapa hal, menulis fiksi jauh lebih sulit dibanding menulis nonfiksi.

Meski berdasar rekaan atau khayalan, fiksi harus masuk akal, logis, dan bisa dicerna akal sehat. Penulis kisah fiksi harus berusaha membuat pembacanya percaya pada kisah yang ia tuturkan. Karenanya, kisah yang dibangun dalam fiksi harus masuk akal, memiliki latar kisah yang jelas, bahkan kadang harus bisa dibayangkan dengan mudah. Itu bukan pekerjaan ringan—sering kali, menulis fiksi membutuhkan pemikiran yang lebih berat dibanding menulis nonfiksi.

Ketika menulis nonfiksi, yang merupakan fakta sesungguhnya, kita tinggal “memindahkan” realitas ke dalam tulisan. Tak peduli seaneh atau semustahil apa pun, orang tetap akan percaya, karena itu memang kisah nyata. Contoh mudah dalam hal ini adalah artikel-artikel berita yang biasa kita baca di koran, majalah, atau di web-web berita. Semua berita itu berdasar kenyataan. Karenanya, meski kisah di dalamnya sangat absurd dan tidak logis, kita percaya.

Kenyataannya, kisah dari dunia nyata memang kadang—bahkan sering—tidak logis, aneh, absurd, dan tak masuk akal. Termasuk kisah yang akan saya ceritakan berikut ini.

Kisah aneh dan absurd ini sudah cukup lama terjadi. Saya menuliskannya di blog ini berdasarkan puluhan artikel berita yang saya baca di banyak situs, khususnya Kompas.Com dan Tempo.Co. Di situs-situs tersebut, nama-nama pelakunya ditulis lengkap. Namun, dalam catatan ini saya akan menyamarkan nama-nama mereka.

Yang jelas, kisah ini benar-benar nyata, benar-benar terjadi, dan kita akan melihat absurditas yang luar biasa. Tidak hanya dalam kisahnya, tapi juga dalam dialog-dialognya, bahkan karakteristik para pelakunya. Kisah ini akan memperlihatkan kepada kita, betapa aneh dan tak masuk akal kisah di dunia nyata. (Nama-nama tempat, dan semua dialog atau ucapan para pelaku yang saya kutip dalam catatan ini, ditranskrip sesuai aslinya).

....
....

Neng adalah cewek berumur 22 tahun. Setiap hari, dia biasa mengenakan baju panjang dan kerudung. Seperti umumnya cewek lain di abad ke-21, Neng juga punya ponsel. Suatu hari, ponselnya berdering, dan sederet nomor asing muncul di layar. Ketika Neng menerima telepon itu, si penelepon menutup panggilannya. Rupanya cuma miskol (missed call).

Beberapa waktu kemudian, nomor tak dikenal itu kembali mengirim panggilan ke ponsel Neng. Tetapi, lagi-lagi, si penelepon menutup panggilan ketika Neng menerimanya. Dan begitulah kisah ini dimulai.

Sebagai cewek gahol, Neng tentu saja menganggap miskol semacam itu hal biasa, karena miskol—konon—salah satu ciri anak muda gahol. Dan si tukang miskol tidak jelas itu kemudian mengirim SMS. Dari SMS-nya, Neng memperkirakan kalau dia (yang suka miskol itu) mungkin mengira Neng adalah temannya. Ketika Neng bertanya dia siapa, si tukang miskol menyebutkan nama. Sebut saja namanya Otong. Umurnya 21 tahun.

Neng tidak kenal siapa Otong.

Lalu Otong menelepon Neng. Ketika bercakap-cakap, Otong berkali-kali memanggil Neng dengan sebutan Umay. Neng juga tidak tahu siapa Umay. Kelak, di hadapan polisi yang memeriksanya, Neng menyatakan, “Saya tidak tahu Umay itu siapa, tapi karena dia terus panggil saya dengan nama itu, ya saya iyakan saja.”

Karena sebelumnya sudah SMS-an, mereka pun mengobrol cukup lancar, meski Neng tetap tidak tahu siapa Otong. Singkat cerita, Otong mengajak ketemuan. Semula, Neng menyetujui. Tapi kemudian Neng sok jaim dengan membatalkan rencana ketemuan, dan menjanjikan lain kali saja. Jadi, mereka pun batal ketemu, tapi tetap SMS-an. Dan sesekali mengobrol via ponsel.

Di lain waktu, Otong kembali mengajak ketemuan. Kali ini, Neng benar-benar menyetujui. Maka, dua bocah yang dipertemukan oleh miskol itu pun janjian untuk ketemu di depan kampus Universitas Pamulang, Tangerang Selatan. Peristiwa itu terjadi pada 13 Mei 2014, pukul 19.00.

Karena menganggap cowok yang akan ditemuinya adalah orang asing, dan Neng sama sekali tidak tahu siapa dia, maka Neng pun merasa perlu berjaga-jaga. Jadi, dia mempersiapkan sebuah pisau cutter, yang ia masukkan ke dalam tas. Kelak, kepada polisi yang memeriksanya, Neng menyatakan, “Saya siapkan (pisau itu) karena orang yang mau saya temui (Otong) belum kenal, dan jaga-jaga kalau dia ngapa-ngapain saya.”

Cuaca Tangerang cukup cerah malam itu, ketika Neng dan Otong akhirnya bertemu. Neng naik angkot untuk datang ke tempat janjian mereka, sementara Otong mengendarai sepeda motor. Setelah ketemu, Otong mengajak Neng jalan-jalan. Neng setuju. Maka mereka pun jalan-jalan berboncengan ke sejumlah lokasi, seperti layaknya anak muda gahol yang sedang menikmati kencan. Kelak, Neng menceritakan, “Ia selalu mengajak saya ke tempat yang sepi, dan mengajak begituan (berhubungan intim).”

Sampai kemudian, mereka tiba di sebuah masjid. Ironisnya, mereka lalu benar-benar “begituan” di toilet masjid. Inilah yang dikatakan Neng di hadapan polisi yang memeriksanya, “Di dalam toilet, dia menyingkapkan rok saya, dan memasukkan alat kelaminnya hingga beberapa kali. Tapi belum tuntas, keburu ada orang datang.”

Orang yang memergoki aksi mereka segera mengusir keduanya. “Cepat pergi dari sini! Kalau tidak, kami panggilkan Ketua RT,” ujar Neng menirukan warga yang memergoki mereka “begituan” di area masjid tersebut.

Neng dan Otong pun segera kabur dari sana. Tapi hasrat tadi rupanya belum selesai. Maka, sambil masih berboncengan, Otong membawa motornya berputar-putar, mencari tempat yang strategis dan kondusif, sementara malam semakin larut. “Perjalanan kami cukup jauh,” Neng menceritakan, “saya dibawa ke Sawangan, Pondok Cabe, dan Cirendeu.”

Lanjut ke sini.

 
;