Di sebuah desa yang tenang dan sunyi, seorang filsuf menjalani kehidupan sederhana sebagai petani. Setiap pagi, dia menggiring kerbau ke sawah, membajak tanah dan disengat matahari. Saat siang, bersama teman-temannya sesama petani, dia makan di saung, menikmati makanan sederhana ala petani. Lalu meneruskan kerja sampai sore hari, bersama lelah, keringat, dan hari demi hari.
Selama waktu-waktu itu, orang-orang di sana tidak tahu siapa dia. Mereka hanya tahu lelaki itu seorang petani seperti mereka—sosok sederhana yang menjalani kehidupan sederhana. Tetapi, rupanya, ada seorang bocah di suatu tempat yang diam-diam mengetahui identitas sang filsuf.
“Kenapa dia menyamar jadi petani,” pikir si bocah. Dia tahu, di balik pakaian petani sederhana itu tersembunyi sesosok filsuf. Si bocah pernah mendapati sang filsuf di suatu tempat jauh, dan dia menyaksikan orang-orang sangat menghormati sang filsuf. Kenapa orang terhormat semacam itu menyembunyikan diri di balik kehidupan miskin para petani?
Si bocah merasa dirinya hebat—tipe keparat yang baru merasa pintar—seperti remaja yang baru belajar pencak silat, dan gatal ingin pamer jurus. Ketika tanpa sengaja dia mendapati sang filsuf menyembunyikan identitas di balik kehidupan petani, dia pun menemui sang filsuf. Dengan jumawa, dia berkata, “Tuan Filsuf, aku tahu siapa dirimu.”
Waktu itu sang filsuf baru selesai makan siang, dan saung sudah sepi, karena para petani mulai bekerja kembali. Sang filsuf menatap bocah di hadapannya, dan bergumam, “Kau mengenalku, Nak?”
“Sangat,” jawab sang bocah. “Meski kau menyembunyikan identitasmu dengan rapi di balik baju petani, aku tahu siapa dirimu. Aku pernah melihatmu di tempatku, dan kau menunjukkan dirimu yang asli—sosok filsuf yang dihormati.”
Sang filsuf kembali menggumam, “Jadi?”
“Jadi, aku heran mendapatimu di sini. Bagaimana mungkin seorang filsuf menjalani kehidupan petani sambil menyembunyikan identitas?”
“Menurutmu, Nak, apa yang harus kulakukan?”
“Yang harus kaulakukan, Tuan Filsuf, tentu saja keluar dan menunjukkan jati dirimu pada dunia, berdiskusi dan berdebat dengan orang-orang pintar lain, sebagaimana umumnya para filsuf yang terhormat dan cendekia! Bukan malah menyembunyikan identitas dan menjalani kehidupan petani di desa terbelakang seperti ini!”
“Hidup adalah soal pilihan, Nak.”
Si bocah tersenyum. “Begitu pun aku, Tuan Filsuf.”
“Tentu saja begitu,” sahut sang filsuf.
Si bocah menatap filsuf di hadapannya, kemudian dengan jumawa berkata, “Aku ingin berdebat denganmu.”
“Aku tidak suka berdebat dengan siapa pun, Nak, termasuk denganmu.”
Si bocah kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. “Tapi aku ingin berdebat denganmu, Tuan Filsuf. Ayolah, bersikaplah sebagaimana mestinya seorang filsuf.”
Sang filsuf menatap bocah di hadapannya, dan menyahut, “Kenapa kau ingin berdebat denganku?”
“Aku berpikir, jika seorang filsuf menyembunyikan identitasnya, dia tentu bukan filsuf sejati. Karenanya, aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar seorang filsuf yang menyamar jadi petani, atau hanya petani bodoh yang pernah mengelabui banyak orang dengan pura-pura menjadi filsuf.”
“Jadi, kau ingin berdebat denganku?”
Si bocah menjawab dengan jumawa, “Jadi, aku ingin berdebat denganmu.”
“Aku menghormati keinginanmu, Nak,” ujar sang filsuf. “Tetapi, sebelum kita mulai berdebat, biar kuberitahu sesuatu. Aku lawan debat yang kejam. Begitu kita mulai berdebat, aku tidak hanya akan mengalahkanmu, tapi juga akan menghancurkanmu sampai lebur. Saat kita selesai berdebat, kau tidak hanya akan merasa kalah, tapi juga akan merasa sangat... sangat... sangat hina.”
Setelah terdiam sesaat, sang filsuf melanjutkan, “Aku tidak tahu siapa kau, Nak, tapi aku tahu siapa diriku. Aku menyembunyikan diri bukan karena lemah, tapi sebaliknya—karena aku tak pernah kalah.”