Senin, 10 Oktober 2016

Hegemoni Nasi Goreng, Monopoli Keyakinan, Kepicikan Ideologi, dan Masalah Terbesar Umat Manusia

Memilih berbeda itu mudah. Yang sulit adalah menjalaninya.
@noffret


Judul catatan ini mungkin terdengar seperti judul makalah mahasiswa sok pintar. Padahal catatan ini saya tulis gara-gara pusing mikir penjual nasi goreng. Akar kepusingan saya sederhana. Yaitu, mengapa setiap malam ada banyak penjual nasi goreng lewat di depan rumah saya, tapi tidak ada penjual nasi lain?

Dalam pikiran saya sebagai bocah, mestinya setiap malam ada banyak penjual nasi lain, sehingga setiap orang—termasuk saya—punya pilihan untuk makan malam. Kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang beragam, sehingga setiap orang memiliki alternatif, dan bebas menentukan pilihan. Sebaliknya, kehidupan yang tidak memiliki pilihan adalah hidup yang gelap. Dalam hal ini, nasi goreng membekukan pilihan.

Saban malam, ada puluhan penjual nasi goreng yang lewat di depan rumah. Satu penjual lewat, beberapa menit kemudian ada penjual nasi goreng lain yang lewat, dan begitu seterusnya. Dulu, saya bersyukur dengan keberadaan mereka, sehingga nyaris setiap malam makan nasi goreng. Waktu itu, saya pikir sungguh enak bisa makan malam tanpa harus kelayapan ke mana-mana. Tinggal menunggu di rumah, dan nasi goreng lewat. Saya bisa kenyang tanpa harus terjebak macet di jalanan.

Tetapi, lama-lama, saya jenuh setiap malam makan nasi goreng. Sebulan dua bulan saya masih tahan, dan nasi goreng masih terasa enak. Tapi setelah rutinitas itu berlangsung beberapa tahun, saya pun sampai pada titik kebosanan. Akhirnya, saya bahkan benar-benar bosan makan nasi goreng, bahkan kini sudah masuk tahap tidak doyan.

Ketika sampai pada tahap itu, saya pun berpikir. Lalu pusing.

Keberadaan banyak penjual nasi goreng setiap malam, seperti yang disebut tadi, telah membekukan pilihan. Setiap malam, saat ingin makan, orang tidak punya pilihan lain selain nasi goreng. Itu tidak sehat, pikir saya. Pertama, karena sesuatu yang dibiasakan akan sampai pada titik bosan. Dalam hal ini, kebosanan saya bisa menjadi contoh. Kedua, karena setiap malam yang ada cuma nasi goreng, maka—disadari atau tidak—nasi goreng pun menjadi semacam hegemoni.

Saya kerap bertanya-tanya, kenapa tidak ada orang yang mencoba jualan nasi lain? Misalnya nasi kebuli keliling, atau nasi tomat keliling, atau nasi uduk keliling, dan sebagainya? Kalau penjual aneka macam nasi itu juga berkeliling ke kampung-kampung, maka orang-orang akan memiliki banyak pilihan. Bisa tetap memilih nasi goreng, atau memilih nasi kebuli, nasi tomat, nasi uduk, atau yang lain. Tapi kenapa tidak ada orang yang jualan nasi keliling selain nasi goreng?

Mungkin saja ada orang-orang yang punya ide semacam itu. Mereka punya ide untuk membuat nasi tomat, nasi kebuli, atau nasi lain, dan menjajakannya seperti nasi goreng. Tetapi, mungkin, mereka berpikir bahwa orang-orang telah terbiasa dengan nasi goreng setiap malam, dan mereka pun khawatir dagangan mereka tidak laku jika menjual nasi lain selain nasi goreng.

Di sisi lain, setiap orang yang ingin makan malam tapi malas keluar rumah harus menerima kenyataan bahwa mereka hanya punya satu pilihan, yaitu nasi goreng. Artinya, suka atau tidak, mereka harus makan malam dengan nasi goreng. Padahal, jika mau keluar rumah, mereka akan menemukan makanan apa pun yang jauh lebih enak dan lebih lezat dibanding nasi goreng.

Itulah awal mula hegemoni.

Diakui atau tidak, nasi goreng telah menjadi hegemoni. Penjual nasi goreng keliling selalu ada setiap malam, karena selalu ada yang membeli. Setiap malam selalu ada orang membeli nasi goreng, karena mereka tidak punya pilihan lain selain nasi goreng. Oh, well, itulah hegemoni! Yaitu suatu bentuk pengondisian—secara sadar atau pun tidak—sehingga orang-orang tidak punya pilihan, meski sebenarnya mereka punya pilihan.

Dalam urusan nasi goreng keliling, dua hal terbentuk. Di sisi konsumen, nasi goreng menawarkan satu-satunya pilihan. Sementara di sisi bukan konsumen, nasi goreng seolah menutup kemungkinan alternatif.

Seperti yang disebut tadi, bisa jadi ada orang-orang yang punya ide untuk menjual nasi tomat keliling, nasi uduk keliling, nasi kebuli keliling, dan lain-lain. Tetapi, karena keberadaan nasi goreng keliling telah berlangsung bertahun-tahun (atau bahkan berabad-abad), mereka yang punya ide itu jadi khawatir tidak akan mampu bersaing dengan nasi goreng. Padahal nasi kebuli atau nasi tomat jauh lebih enak dibanding nasi goreng—setidaknya di lidah saya—tapi orang-orang yang ingin bersaing sudah keburu khawatir.

Dan, sekali lagi, itulah hegemoni! Yang menyedihkan, hegemoni tidak hanya dibentuk oleh penjual nasi goreng keliling.

Dalam hidup, orang-orang juga menghadapi banyak hal, dan mereka terjebak dalam hegemoni yang sama. Merasa dan menganggap tidak punya pilihan, padahal bentangan pilihan begitu luas tersedia. Mereka telah terperangkap dalam monopoli pikiran yang dikondisikan oleh lingkungan, dan mereka tidak memiliki keberanian untuk keluar dari kungkungan itu. Konsekuensinya, mereka menghadapi satu-satunya hal yang harus dipilih, padahal di luar sana ada banyak pilihan lain yang bisa jadi lebih baik.

Kita mengahadapi nasi goreng sebagai satu-satunya pilihan untuk makan malam, kenapa? Karena kita tidak mau keluar rumah! Sesederhana itu masalahnya!

Karena kita tidak mau keluar rumah, kita pun terpaksa memilih nasi goreng. Karena kita terus memilih nasi goreng, penjual nasi goreng pun terus ada. Karena penjual nasi goreng keliling terus ada, maka timbul keyakinan bahwa nasi yang bisa dijual hanya nasi goreng. Akibatnya, orang-orang yang ingin mencoba berjualan nasi lain jadi khawatir tidak laku. Sudah melihat lingkaran setan di sini?

Nasi goreng muncul sebagai satu-satunya pilihan, bukan karena menjadi yang terbaik, melainkan karena datang di waktu yang tepat, dalam kondisi yang tepat, dan berhadapan dengan orang-orang yang tepat. Mereka datang di waktu malam, saat orang-orang lapar dan ingin makan, tapi tidak mau repot-repot keluar. Kondisi itu sempurna bagi penjual nasi goreng keliling, dan mereka pun menjelma hegemoni.

Tetapi, persoalan besar umat manusia bukan penjual nasi goreng. Karena penjual nasi goreng—sebagaimana yang saya ocehkan di sini—hanyalah secuil ilustrasi dari hegemoni yang lebih besar, yang kita hadapi setiap hari. Kita, disadari atau tidak, menghadapi hegemoni yang lebih luas, lebih besar, yang sama-sama menjebak dan memerangkap kita untuk tidak punya pilihan, padahal di luar sana ada begitu banyak pilihan.

Seperti ideologi, misalnya. Atau keyakinan. Atau perspektif. Atau cara kita dalam memandang kehidupan. Semuanya bisa membentuk hegemoni, tanpa kita sadari, lalu kita berpikir seolah tak punya pilihan, tanpa mau menyadari dan melihat bahwa sebenarnya kita punya banyak pilihan.

Mari kita ambil contoh yang mudah. Perkawinan.

Saat ini, perkawinan telah menjelma sebagai hegemoni, sebagai satu-satunya pilihan, padahal setiap orang memiliki pilihan lain selain menikah. Kenapa? Karena kita dikondisikan untuk percaya dan yakin begitu.

Tetangga kita menikah, famili kita menikah, saudara kita menikah, teman-teman kita menikah, lingkungan kita menikah, dan masyarakat kita menikah. Itu pun masih ditambah dengan banyaknya keparat kurang kerjaan yang terus dan terus dan terus memprovokasi kita untuk menikah. Akibatnya, kita menganggap—bahkan meyakini—pernikahan sebagai satu-satunya pilihan, padahal sebenarnya ada pilihan lain.

Dalam konteks kehidupan kita, perkawinan tidak jauh beda dengan penjual nasi goreng keliling. Selalu ada, sejak zaman dahulu kala, dan kita terbiasa dengannya, hingga menganggap ia satu-satunya pilihan.

Akibatnya, orang-orang menganggap bahwa satu-satunya pilihan hidup adalah perkawinan, dan mereka pun ngebet kawin, meski telah diberitahu dan diingatkan bahwa perkawinan belum tentu seindah yang mereka bayangkan.

Meyakini nasi goreng sebagai satu-satunya pilihan tentu saja keliru, karena di luar sana ada banyak pilihan lain. Meyakini bahwa hidup hanya untuk kawin juga keliru, karena di luar perkawinan ada pilihan lain. Tetapi, sekali lagi, kita telah dikondisikan untuk percaya begitu, karena perkawinan—sebagaimana nasi goreng keliling—telah menjadi hegemoni.

Itulah masalah terbesar umat manusia. Kebiasaan yang menjadi hegemoni. Hegemoni yang menjelma monopoli. Lalu monopoli menyempitkan cara kita berpikir. Ideologi yang sempit dan keyakinan picik lahir dari kondisi semacam itu.

Kini, setiap malam, setiap kali mendengar suara penjual nasi goreng menabuh wajan, saya berpikir, “Apakah hidup memang harus dihabiskan dengan memakan nasi goreng setiap malam?”

Dan saya tahu jawabannya, “Tidak!”

Kemudian, saya juga berpikir, “Apakah setiap manusia dilahirkan hanya untuk tumbuh besar, lalu kawin, beranak pinak, mewariskan keyakinan yang sama pada keturunannya, lalu mati?”

Oh, well, sebagaimana tadi, saya pun tahu jawabannya, “Tidak!”

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan menikmati sesuatu yang monoton bahkan membosankan, sama singkatnya jika dihabiskan hanya untuk kawin dan beranak pinak. Kawin atau tidak kawin adalah soal pilihan, dan—sebagai manusia—saya menyadari punya pilihan selain perkawinan.

 
;