Kadang-kadang hatiku bisa diajak untuk jatuh cinta.
Tetapi, setiap kali itu terjadi, pikiranku menertawakannya.
—@noffret
Tetapi, setiap kali itu terjadi, pikiranku menertawakannya.
—@noffret
Ini kisah lama, dan saya baru menuliskannya sekarang, setelah semua pihak yang terlibat dalam cerita ini telah memiliki jalan hidup sendiri-sendiri, yang tampaknya happy ending. Kisah ini melibatkan empat orang, dua lelaki dan dua perempuan, dengan kisah yang nyaris persis, tapi memiliki akhir berbeda.
Stefani (bukan nama sebenarnya) adalah perempuan ramah yang menyenangkan. Karenanya tidak heran banyak orang menyukainya. Saya pun bisa kenal hingga dekat dengannya, karena sikapnya yang ramah dan menyenangkan. Di antara orang yang dekat dengan Stefani adalah lelaki bernama Zahir (juga bukan nama sebenarnya). Zahir dan Stefani telah saling kenal, jauh hari sebelum saya mengenal Stefani.
Saya juga mengenal Zahir. Secara keseluruhan, dia lelaki yang baik, juga ramah dan memiliki pembawaan menyenangkan. Ada cukup banyak kesempatan ketika Stefani, Zahir, dan saya, bersama-sama dan saling mengobrol asyik.
Sampai suatu hari, Zahir menyatakan cinta pada Stefani. Dan kisah yang rumit sekaligus aneh dimulai.
Semula, saya tidak tahu kenyataan itu. Selama bertemu Zahir atau Stefani sebelumnya, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda “keanehan” apa pun. Sesekali, saya bahkan ketemu Zahir di rumah Stefani, dan selama itu segalanya tampak baik-baik saja. Tapi ternyata sesuatu yang bergejolak sedang terjadi.
Suatu malam, saat saya dolan ke rumah Stefani, dia menceritakan hal itu. Bahwa Zahir menyatakan cinta kepadanya, dan dia kebingungan. Saya masih ingat yang dikatakan Stefani malam itu, “Aku terpaksa menceritakannya sekarang, karena aku sudah sangat kebingungan.”
Selama ini, Stefani menceritakan, dia hanya menganggap Zahir sebagai teman, sebagaimana dia menghadapi teman-teman lelaki yang lain. Stefani tidak punya perasaan apa pun terhadap Zahir, dan dia pikir Zahir pun memiliki perasaan serupa; hanya menganggapnya sebagai teman. Bagaimana pun, Stefani mengakui, Zahir lelaki yang baik, dan Stefani senang berteman dengan Zahir. Tapi kenyataan bahwa Zahir kemudian menyatakan cinta, itu sesuatu yang tidak diharapkan Stefani.
Jadi, waktu itu—saat Zahir menyatakan cinta—Stefani hanya menjawab bahwa dia perlu waktu untuk memikirkan, meski juga tak bisa memberi kepastian kapan akan bisa memutuskan. Tetapi, akhirnya, setelah berbulan-bulan, dan Zahir masih setia menunggu, Stefani merasa “tidak tega”. Akhirnya pula, Stefani menerima Zahir sebagai pacarnya... meski dalam hati ia mengakui sama sekali tidak jatuh cinta kepada Zahir.
“Bagaimana pun,” ujar Stefani waktu itu, “aku hanya menganggapnya teman. Sama sekali tidak ada perasaan lain yang kurasakan kepadanya.”
Dari situlah dilema dimulai. Di satu sisi, Stefani telah “terikat” sebagai pacar Zahir, dan dia pun mengakui Zahir sebagai lelaki yang baik. Tetapi, di sisi lain, dia sama sekali tidak pernah jatuh cinta kepada Zahir. Karena perasaan dilema itu pula, Stefani kerap curhat pada teman-teman dekatnya (sesama perempuan), dan berharap mereka bisa memberi solusi atau saran bagaimana menghadapi kenyataan itu.
“Teman-temanku sampai bosan mendengarku,” ujar Stefani. “Hampir setiap kami ketemu, aku selalu menceritakan persoalan ini, dan lama-lama mereka malas mendengarkan.”
Karena itulah, Stefani akhirnya menceritakan hal itu kepada saya, hingga saya menjadi satu-satunya teman lelaki yang mengetahui cerita tersebut. Stefani pun berani menceritakan kisah itu kepada saya, karena... waktu itu saya sedang menghadapi hal serupa!
Sekarang kita beralih ke cerita dan dilema yang saya hadapi.
Salah satu teman perempuan saya adalah Dini (sekali lagi, ini nama samaran). Saya tidak pernah punya perasaan apa pun kepada Dini, dan saya pun berpikir hal sama kepadanya, bahwa dia menganggap saya sebagai teman. Saya memperlakukan Dini, persis seperti saya memperlakukan teman-teman perempuan yang lain. Bahwa dia cantik, ya. Bahwa dia baik, ya. Bahwa dia sangat menarik, ya. Tetapi, sekali lagi, saya tidak punya perasaan apa pun kepadanya.
Di waktu-waktu itu, saya bahkan tahu banyak lelaki kerap mengunjungi Dini—biasanya malam Minggu—dan lelaki-lelaki itu tentu berharap Dini mau jadi pacarnya. Tetapi, melihat itu pun, saya tidak punya perasaan apa-apa. Wong saya hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Sama biasa dengan teman-teman perempuan yang lain.
Tetapi, suatu hari, terjadi sesuatu yang sangat membingungkan.
Hari itu, Dini ulang tahun. Terus terang, saya tidak tahu hari atau tanggal ulang tahun Dini. Karena itu pula, saya tidak punya persiapan apa pun, semisal mengucap selamat ulang tahun atau semacamnya. Saya menjalani hari itu dengan biasa, dengan aktivitas dan kesibukan biasa.
Malam harinya, saya ditemui seorang teman dekat Dini. Sebut saja namanya Nia. Kepada saya, Nia menyatakan bahwa hari itu Dini sangat sedih, karena saya tidak datang ke rumahnya, padahal hari itu Dini ultah, dan dia sangat mengharapkan bisa merayakan hari istimewa itu bersama saya. Setelah panjang lebar, Nia berkata, “Aku terpaksa ngomong ini ke kamu, karena sekarang dia (Dini) lagi nangis sedih di kamarnya.”
Yang membuat saya bingung, waktu itu Nia berbicara seolah-olah saya pacar Dini. Secara jelas, Nia bahkan menyatakan, “Sebagai pacar, mestinya kamu jangan begitu.”
Selama beberapa detik, saya merasa seperti orang tenggelam.
Seharusnya, yang perlu saya lakukan waktu itu adalah menjernihkan hal tersebut, dan mengklarifikasi kepada Nia bahwa saya bukan pacar Dini. Tetapi, logika dan akal waras saya memberitahu, “Nia tidak akan menganggapmu sebagai pacar Dini, jika Dini tidak mengatakan hal itu kepada Nia.”
Jadi, saya pun memutuskan untuk mengambil langkah yang saya pikir lebih bijak. Alih-alih memberitahu Nia bahwa saya bukan pacar Dini, waktu itu saya bermaksud mengklarifikasi langsung kepada Dini. Langkah itu, saya pikir, lebih baik. Tapi ternyata langkah bijak yang tampak sederhana itu sulitnya luar biasa.
Sebelum masuk ke cerita berikutnya, saya perlu menegaskan hal ini terlebih dulu. Selama waktu-waktu itu, saya tidak pernah menyatakan cinta—secara eksplisit maupun implisit—kepada Dini. Seperti yang saya sebut di atas, saya menganggapnya sebagai teman, dan saya memperlakukan Dini persis seperti saya memperlakukan teman-teman perempuan yang lain. Fakta bahwa Dini kemudian menganggap saya sebagai pacarnya, itu sesuatu yang tidak pernah saya sangka.
Besoknya, saya melakukan sesuatu yang saya pikir bijak, tapi ternyata justru menjerumuskan saya ke dalam kebingungan yang mengerikan. Setelah mendengar penuturan Nia, saya pun memutuskan untuk menemui Dini. Saya datang ke rumahnya, dan berkata, “Sori, aku tidak ingat kemarin hari ultahmu.”
Dini menyambut saya dengan mata berbinar, dengan senyum kebahagiaan yang membuat saya tidak tega untuk mengatakan kepadanya bahwa saya hanya menganggapnya sebagai teman. Itulah awal mula dilema mengerikan yang kemudian saya jalani dalam hidup, yang bahkan meninggalkan trauma berkepanjangan.
Sejak hari itu, saya mulai menyadari bahwa sikap Dini kepada saya berbeda dibanding sikapnya terhadap lelaki lain. Sebenarnya, sejak sebelumnya, sikapnya kepada saya memang sudah berbeda. Tetapi mungkin saya tidak menyadari, karena selama waktu-waktu itu saya pikir kami cuma berteman. Sejak peristiwa ulang tahun itu pula, Dini pun semakin menunjukkan sikap kalau saya memang pacarnya.
Semula, saya menganggap itu persoalan ringan. Waktu itu, saya sempat berpikir, suatu saat—jika ada kesempatan yang tepat—saya akan berkata terus terang kepada Dini, bahwa saya tidak pernah punya perasaan apa pun kepadanya, bahwa saya hanya menganggapnya sebagai teman, bahwa saya TIDAK PERNAH SEKALI PUN MENYATAKAN CINTA KEPADANYA, dan berharap dia bisa memahami.
Tetapi, ternyata, sesuatu yang tampak ringan itu sungguh sulit dilakukan. Hampir setiap hari, Dini datang ke rumah saya. Dengan sikap yang manis, dengan mata berbinar penuh kebahagiaan, dengan kehalusan dan kelembutan yang membuat saya selalu kebingungan untuk “melukainya” dengan kenyataan.
Selama waktu-waktu itu—meski Dini telah jelas menganggap saya sebagai pacar—saya sangat jarang datang ke rumahnya, meski malam Minggu, sebagai upaya halus untuk menunjukkan kepadanya bahwa saya sebenarnya bukan pacarnya. Tetapi Dini rupanya tidak mau menyadari hal itu. Dia malah menggunakan ketidakhadiran saya sebagai alasan dia rajin mengunjungi saya ke rumah.
Jadi, itulah yang kemudian terjadi, dan terus terjadi. Kadang kami hanya mengobrol di rumah saya, kadang dia mengajak keluar, dan saya selalu, selalu, selalu, tidak tega untuk menolak. Perlahan namun pasti, bahkan kawan-kawan kami pun akhirnya berpikir kalau saya memang telah pacaran dengan Dini. Sejak itu pula, lelaki-lelaki yang biasa datang ke rumah Dini hilang sama sekali.
Dilema itu semakin hari semakin menyakitkan. Di satu sisi, saya benar-benar tidak punya perasaan apa pun kepada Dini. Oh, kita tahu bagaimana perasaan yang kita rasakan kepada seseorang yang membuat jatuh cinta, kan? Selalu ada perbedaan yang jelas di dalam diri kita, saat berhadapan dengan orang yang dicintai, dan saat berhadapan dengan orang yang sebatas kita anggap sebagai teman. Dalam hal ini, saya benar-benar tidak punya perasaan apa pun kepada Dini.
Sementara itu, di sisi lain, saya benar-benar kebingungan bagaimana menjelaskan kenyataan kepada Dini, bahwa saya hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak tega, adalah alasan paling besar yang selama waktu itu menguasai perasaan saya. Setiap kali saya bertekad untuk mengungkapkan kebenaran itu kepada Dini, setiap kali pula saya tidak tega. Dan begitu terus menerus.
Seiring dengan itu, bulan demi bulan terus berjalan, dan perasaan saya terhadap Dini perlahan-lahan menjadi gumpalan rasa kasihan bercampur kejengkelan. Kasihan, karena saya tahu Dini telah benar-benar menganggap saya sebagai pacar. Tapi juga jengkel, karena dia bisa sampai menyimpulkan saya pacarnya, padahal tidak sekali pun saya pernah menyatakan cinta.
Dalam dilema dan kekalutan itu, saya kadang curhat ke teman dekat (sesama lelaki), mengenai apa yang harus saya lakukan, bagaimana melakukannya, dan lain-lain. Rata-rata mereka yang mendengar curhat itu, biasanya hanya memberi saran standar yang tidak pernah bisa saya lakukan.
“Katakan saja terus terang kalau kamu tidak mencintainya,” ujar mereka. Saran yang mudah. Tapi melakukan itu, terus terang, bukan sesuatu yang mudah.
Karena tidak bisa mendapat solusi yang baik dari teman-teman lelaki, saya akhirnya memberanikan diri menceritakan dilema tersebut kepada Stefani. Karena dia perempuan, saya pikir Stefani bisa memberi saran atau solusi yang lebih baik, yang lebih layak saya lakukan, tanpa harus terlalu menyakiti perasaan Dini. Di luar dugaan, waktu itu Stefani ternyata juga sedang mengalami dilema yang sama.
Ketika mendengar saya menceritakan semua ini, Stefani pun akhirnya membuka diri, dan menceritakan dilema yang juga sedang dialaminya, menyangkut Zahir yang menyatakan cinta kepadanya, padahal Stefani hanya menganggapnya sebagai teman. Sama seperti saya, Stefani juga akhirnya menjalani hubungan dengan Zahir, meski sebenarnya dia sama sekali tidak pernah jatuh cinta kepada Zahir.
“Orang-orang mungkin menganggap ringan masalah yang kita hadapi,” ujar Stefani waktu itu. “Tapi kita yang menjalani tahu betul, ini bukan masalah ringan. Sebaliknya, ini masalah yang sangat rumit sekaligus berat, dan aku hampir gila menjalaninya.”
Dia benar. Saya pun hampir gila menjalani hubungan dengan Dini—suatu hubungan yang entah akan disebut apa. Dini telah benar-benar menganggap saya sebagai pacar, sementara saya tersiksa dan diam-diam memendam kenyataan yang mengerikan; bahwa saya tidak pernah jatuh cinta kepadanya.
Mengatakan kenyataan pada seseorang bahwa kita tidak mencintainya, memang terdengar mudah. Tetapi, demi Tuhan, itu sesuatu yang sangat... sangat sulit.
Dalam hidup, saya telah melakukan hal-hal yang luar biasa sulit, yang tidak bisa dilakukan kebanyakan orang. Tetapi, mengatakan kebenaran kepada Dini, bahwa saya tidak jatuh cinta kepadanya, jauh lebih sulit dibanding segala hal sulit yang pernah saya lakukan.
Sementara itu, waktu-waktu berlalu. Selama satu setengah tahun saya tenggelam dalam dilema yang tidak pernah bisa saya selesaikan.
Selama satu setengah tahun, saya menjalani hubungan dengan seorang perempuan yang yakin saya pacarnya, padahal saya tidak pernah jatuh cinta kepadanya. Selama itu saya memendam kebingungan, kemarahan, frustrasi, dilema, yang semuanya bercampur dengan rasa kasihan. Sialnya, rasa kasihan itu pula yang terus membungkam mulut saya untuk mengatakan kebenaran sesungguhnya.
Akhirnya, puji Tuhan, suatu hari sesuatu muncul, dan memungkinkan saya “melepaskan” Dini dari kehidupan saya.
Waktu itu, saya harus pergi untuk suatu urusan, dan membutuhkan waktu lama. Saya pun memanfaatkan moment itu untuk mengakhiri dilema yang saya hadapi. Saya berkata kepada Dini, bahwa saya harus pergi jauh untuk waktu yang lama, dan ada kemungkinan saya tidak akan pernah kembali. Untuk itu, saya menyarankan kami memutuskan hubungan, agar dia tidak perlu menunggu saya pulang.
Respons Dini sudah saya duga. Dia menolak! Tetapi, waktu itu, saya telah bersikeras untuk mengakhiri semuanya. Saya tidak bisa terus menerus menjalani hubungan palsu dengannya, dan dilema membingungkan ini harus diakhiri. Waktu itu, jika saya menunggu lebih lama lagi, maka saya akan semakin tenggelam dalam kebodohan dan kebingungan saya sendiri.
Akhirnya, meski berat hati, Dini menerima keputusan itu.
Dia berpikir kami putus.
Saya berpikir telah melepaskan beban.
Jujur saja, waktu itu, saat Dini akhirnya menerima untuk berpisah, saya merasa telah melepaskan beban yang luar biasa berat dari hidup saya. Lalu saya pun pergi untuk urusan yang harus saya hadapi... dan sejak itu kami tidak pernah bertemu lagi.
Berbulan-bulan kemudian, saat akhirnya saya pulang, saya pun berusaha agar tidak pernah lagi bertemu Dini. Saya takut pertemuan yang terjadi bisa melahirkan masalah lain, dilema lain, dan sejujurnya saya sudah sangat trauma.
Dan trauma itu kemudian sangat mempengaruhi psikis saya. Bertahun-tahun sejak itu, setiap kali teringat kisah tersebut, saya benar-benar membenci Dini dan membenci diri saya sendiri. Kami telah membuang waktu satu setengah tahun untuk sesuatu yang benar-benar bodoh dan sia-sia!
Sejak itu pulalah, saya jadi sangat berhati-hati, bahkan waspada, setiap kali berinteraksi dengan lawan jenis. Saya benar-benar trauma dan ketakutan, kalau sampai mengalami masalah serupa. Trauma yang saya alami gara-gara itu, bahkan tak pernah hilang sampai sekarang.
Sering kali saya introspeksi, kesalahan sikap apa yang mungkin telah saya lakukan, hingga Dini sampai berkesimpulan bahwa saya menganggapnya pacar? Tetapi, meski telah sangat lama introspeksi, saya tetap tidak menemukan perbedaan sikap yang mungkin telah saya lakukan. Saya benar-benar menghadapi Dini sebagaimana saya menghadapi teman-teman perempuan yang lain.
Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya pun akhirnya lebih berhati-hati dan waspada setiap kali berinteraksi dengan lawan jenis. Bisa jadi, sikap yang bagi saya—dan bagi perempuan lain—dianggap biasa, tapi ternyata dianggap istimewa oleh seseorang, lalu dia salah sangka. Jika memang seperti itu, saya pikir, jauh lebih baik saya menjaga jarak dengan lawan jenis, daripada mengulangi masalah serupa.
Kalau boleh ngomong blak-blakan, saya lebih memilih ditolak perempuan, meski itu menyakitkan, daripada harus menjalani hubungan dengan perempuan yang tidak saya cintai.
Kini, saat saya menulis catatan ini, Dini telah menikah dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Kabarnya mereka juga telah punya anak. Saya tidak pernah bertemu lagi dengannya, bahkan saat hari perkawinannya. Bagaimana pun, saya berharap dia menjalani kehidupan yang bahagia.
Lalu bagaimana dengan Stefani? Well, Stefani juga telah menikah dengan Zahir!
Beberapa bulan sebelum menikah, Stefani berkata kepada saya, “Meski aku menyadari tidak jatuh cinta kepadanya, tapi akhirnya aku berpikir... apa salahnya aku belajar mencintainya? Bagaimana pun, dia lelaki yang baik—kamu pun mengakui hal itu. Mungkin aku bisa menemukan lelaki lain yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Tapi mungkin pula belum tentu sebaik dirinya. Jadi, aku sekarang bersedia menikah dengannya, sambil berharap bisa belajar jatuh cinta kepadanya.”
Saat ini, Stefani dan Zahir telah dikaruniai seorang anak. Kadang-kadang, saya bertemu Zahir, Stefani, dan anak mereka, saat berbelanja di swalayan, dan saya melihat sorot kebahagiaan di masing-masing mata mereka. Saya yakin, Stefani telah belajar jatuh cinta, dan kini telah benar-benar mencintai lelaki yang menjadi suaminya.
Dan saya...? Oh, well, masih ada beberapa hal yang harus saya lakukan.