Rabu, 20 Oktober 2021

Kebetulan dan Keajaiban

Kamu pernah masuk warung yang sepi, dan tak lama kemudian warung itu ramai? Ya, aku juga pernah. Sering, malah.

Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Yang kayak gitu terjadi di mana-mana, pada siapa saja. Tak peduli umpama kita mbah-mbuh sekalipun.

Kamu pernah menghentikan penjual keliling, terus orang-orang ikut beli hingga dagangan orang itu laris? Ya, aku juga pernah. Sering, malah.

Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Kenyataannya kita tidak bisa sengaja mengulanginya semau kita.

Tapi kita pasti senang jika diberitahu, "Kamu punya aura positif, hingga bisa menarik orang-orang ke warung yang semula sepi. Kamu punya vibrasi bagus, hingga bisa meramaikan dagangan penjual keliling, hingga orang-orang mengikutimu membeli dagangannya."

Mungkin ada benarnya.

MUNGKIN ada benarnya, bahwa sebagian orang memang punya aura positif atau semacamnya, hingga warung yang semula sepi bisa ramai ketika orang itu datang... TAPI dengan catatan: JIKA ORANG ITU BISA MENGULANGINYA KAPAN PUN DIA MAU, DI MANA PUN TEMPATNYA. Jika tidak, itu kebetulan.

Kamu pernah mendapati anak kecil yang tidak kenal (masih asing) denganmu, tapi "jinak" dan nempel denganmu? Ya, aku juga pernah. Sering, malah.

Kenapa? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Kebetulan anak kecil itu suka kita, apa pun alasannya, hingga mau dekat dan "jinak".

Dulu aku pernah "pede", gara-gara ada anak orang (yang tidak kenal aku sama sekali), mau kugendong, bahkan sampai tertidur lelap di pangkuanku. 

Aku mikir, waktu itu, "Aku pasti punya aura bagus!"

Aura bagus apaan? Keponakanku sendiri malah sering kabur kalau dekat denganku!

Kamu pernah stres karena butuh uang, dan tiba-tiba menemukan uang entah di saku celana, di bawah tumpukan koran, di selipan buku, atau semacamnya? Ya, aku juga pernah. 

Bagaimana itu bisa terjadi? Menurutku ya kebetulan aja, sih. Kebetulan yang sama sekali tidak bisa diandalkan.

Tapi kita mungkin akan senang jika diberi tahu bahwa "penemuan uang yang tak disengaja di saat kita butuh" itu adalah tanda semesta mendukung kita.

Ya, aku juga pernah (ingin) percaya dengan kemungkinan itu. Sayangnya, semesta sering kali tak muncul saat aku benar-benar butuh!

Zaman aku kecil dulu, di kampungku ada seorang wanita bernama Markonah. Menurut orang-orang, dia tidak waras. Tak ada orang yang mau mendekat apalagi menyapa Markonah, karena dia memang tampak seperti orang gila, dengan tubuh dekil dan kotor karena tak pernah mandi. Yang ajaib...

Yang ajaib, ke mana pun Markonah pergi, ada puluhan kucing kampung (kucing liar yang tidak dimiliki siapa pun) mengikuti Markonah. Jadi, teman Markonah adalah kucing-kucing. Bahkan ketika Markonah tidur, kucing-kucing itu tidur di sekelilingnya.

Apakah Markonah adalah Catwoman?

Dalam novel atau film, Markonah mungkin akan dikisahkan memiliki "kekuatan" yang menjadikan kucing-kucing terus mengikutinya... dan kita pasti akan senang jika hal semacam itu yang terjadi. Sayangnya, hidup kita tak "sehebat" dalam film, dan Markonah—tentu saja—bukan Catwoman.

Yang menjadikan kucing-kucing sangat setia pada Markonah, hingga mengikuti ke mana pun, karena Markonah memberi makan kucing-kucing itu! Dia kerap mengorek-ngorek sampah di mana pun, dan makanan yang ditemukan ia bagi dengan kucing-kucing yang mengikutinya. Ya, sesederhana itu!

Kamu pikir kenapa para mahasiswa segera masuk kelas, begitu dosen A masuk kelas? Ya tentu saja karena dosen A punya aura yang positif—kalau kamu memang ingin berpikir begitu. Tapi ada jawaban yang lebih masuk akal, ya karena itu memang jadwal dosen A mengajar di kelas!

Ya 11/12 dengan orang-orang kawin yang suka ngemeng, "Kalau dipikir-pikir, penghasilanku tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup, biaya sekolah anak-anak, dan aneka keperluan sehari-hari. Tapi ya ada saja rezekinya."

Kedengarannya hebat, seperti mukjizat. Padahal ya tetap pusing!

Sori, kalau telah mengecewakan. Karena kenyataan sering kali (memang) tak seindah bayangan.

Footnote:

Agar ocehan ini gak surem-surem amat, dan tidak terlalu mengecewakan, sepertinya aku perlu nambahin sesuatu, biar—meminjam istilah media—ada cover both side.

Norman Vincent Peale adalah seorang pengkhotbah yang aktif menulis buku-buku rohani untuk umat Kristiani. Meski aku tidak termasuk umat Kristiani, aku termasuk pembaca buku-buku Norman Vincent Peale, bahkan sangat mengagumi pribadi maupun pemikiran-pemikirannya.

Layaknya penulis religi, Norman Vincent Peale selalu memasukkan ayat-ayat Alkitab dalam teori-teorinya. Dialah orang yang mencetuskan teori "berpikir positif"—istilah yang mungkin terdengar cemen bagi anak kekinian, tapi memiliki arti sangat mendalam saat diuraikan olehnya.

Dan Norman Vincent Peale adalah bukti hidup dari teori "berpikir positif". Sebagai manusia, dia mampu "istiqamah" untuk selalu berpikir positif dalam menghadapi apa pun, kapan pun, di mana pun, dalam situasi apa pun, dan hasilnya hampir mirip mukjizat!

Selama membaca buku-bukunya yang luar biasa, aku kadang berpikir, "Orang ini mungkin wali"—meski tentu saja itu cuma pikiran liarku sebagai bocah. 

Di salah satu bukunya, The Power of Positive Living, dia menceritakan kisah saat berada di bus, dalam suatu perjalanan. 

Di bus itu ada pengamen yang sangat kasar meminta uang pada orang-orang, bahkan dengan ancaman. Norman Vincent Peale menghadapi kenyataan itu dengan berpikir positif, dan mendoakan si pengamen yang kasar, "Semoga Tuhan memberikan kelembutan hati untuknya."

Ketika si pengamen sampai di tempat Norman Vincent Peale, dia tidak meminta uang, apalagi dengan memaksa. Sebaliknya, pengamen itu justru tersenyum tulus dan melewati tempat duduk Norman Vincent Peale dengan langkah-langkah ringan. 

Apakah aku percaya kisah itu? Sangat!

Jadi, aku percaya di dunia ini ada orang-orang yang memang memiliki keistimewaan tertentu, hingga bisa melakukan keajaiban-keajaiban kecil—orang-orang yang pikirannya bersih dari prasangka, yang hatinya sebening salju. Tapi yang jelas bukan orang-orang mbah-mbuh seperti kita!

Umpama orang seperti Norman Vincent Peale masuk ke warung yang sepi, lalu warung itu tiba-tiba didatangi banyak orang hingga sangat laris, aku percaya itu keajaiban.

Tapi kalau aku masuk warung yang sepi, lalu warung itu tiba-tiba ramai, ya itu cuma kebetulan! Siapalah aku ini!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Januari 2020.

Awkarin VS Budiman Sudjatmiko

Ribut-ribut soal Awkarin dengan Budiman Sudjatmiko rupanya belum selesai, ya. Malah topik perdebatannya makin merembet ke mana-mana. Dan sekarang aku jadi gatal ingin ikut ngemeng. Mumpung TL-ku lagi sepi.

Sebagai pemuja Awkarin (dan En Sabah Nur, tentu saja), aku ingin tetap berusaha objektif mencerna twit Budiman Sudjatmiko. Dan sepenangkapanku, twit itu sebenarnya netral, dalam arti tidak bermaksud meninggikan yang satu sambil merendahkan yang lain.

Kesalahan twit Budiman Sudjatmiko—kalaupun memang bisa disebut kesalahan—adalah menggunakan kata "sensasi", menggunakan "perempuan" sebagai subjek, dan memunculkan kesan "membandingkan". Kita, khususnya akhir-akhir ini, tampaknya sensitif dengan tiga hal itu.

Istilah "sensasi" sebenarnya netral, tapi sebagian besar kita memahaminya sebagai istilah negatif. Mungkin karena selama ini terlalu sering terpapar hal-hal sensasional yang memang negatif. Akibatnya, istilah yang aslinya netral mengalami distorsi nilai, bahkan berubah makna.

Itu serupa dengan istilah lain—rekayasa. Istilah itu sebenarnya netral. Bahkan, kalau kita membaca buku/artikel teknologi, misalnya, istilah "rekayasa" pasti akan sering ditemukan, dan artinya netral; tidak terpuji juga tidak tercela. Istilah "rekayasa teknologi", misalnya.

Tetapi karena kita sering terpapar istilah "rekayasa" dalam konotasi negatif—misal "rekayasa politik" atau "rekayasa hukum"—kita pun jadi punya persepsi menyimpang; menganggap istilah yang aslinya netral menjadi istilah yang negatif.

Karenanya, ketika Budiman Sudjatmiko menyebut aksi Awkarin sebagai "sensasi", aku percaya dia memaksudkannya sebagai istilah netral, bukan sebagai upaya merendahkan. Kenyataannya Awkarin memang sensasional, kan? Dia terkenal di semua media sosial, dan jutaan orang mengenalnya.

Dengan popularitas sensasional semacam itu—dan aku memaksudkan "sensasional" di sini sebagai istilah netral—mau tak mau Awkarin pasti akan menciptakan sensasi, terlepas apa pun yang ia lakukan. Dan, sekali lagi, aku memaksudkan "sensasi" di sini sebagai istilah netral.

Awkarin, mau tidak mau, pasti akan menciptakan sensasi, terkait hal-hal yang ia lakukan, karena personalitas/popularitasnya memang sudah sensasional. Justru aneh kalau Awkarin tidak sensasional. Wong dia ngetwit sesuatu saja langsung jadi berita di banyak portal dan website!

Jadi, sepenangkapanku, itulah yang dimaksud Budiman Sudjatmiko ketika dia menempelkan istilah "sensasi" pada Awkarin. Dia memaksudkannya sebagai istilah netral, dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan. Sayangnya, sebagian kita mungkin salah paham, atau memaknainya  negatif.

Istilah lain yang disebut Budiman Sudjatmiko dalam twitnya adalah "esensi". Berbeda dengan "sensasi" yang sering berkonotasi negatif, istilah "esensi" justru berkonotasi positif, dan inilah yang kemudian memunculkan kesan membandingkan—meski mungkin tidak dimaksudkan begitu.

Budiman Sudjatmiko menyebut yang dilakukan Tri Mumpuni sebagai "esensial". Mungkin karena dampaknya berkelanjutan, dan, di sisi lain, Tri Mumpuni tidak sesensasional Awkarin. Karena kenyataannya media (dan sebagian besar kita) lebih menyorot Awkarin daripada Tri Mumpuni.

Sekali lagi, aku ingin berusaha adil. Yang dilakukan Awkarin mungkin tidak esensial—sebagaimana "esensial" yang dimaksud Budiman Sudjatmiko—tapi yang Awkarin lakukan, bagaimana pun, memberi pengaruh positif pada lingkungannya, karena dia memiliki popularitas yang sensasional.

Di sisi lain, yang dilakukan Tri Mumpuni memang esensial, karena punya dampak berkelanjutan. Tetapi, bagaimana pun, pengaruh yang ia timbulkan tetap terbatas, karena Tri Mumpuni tidak sepopuler atau sesensasional Awkarin. (Ini dimaksudkan sebagai fakta, bukan perbandingan.)

Karenanya, Budiman Sudjatmiko menggunakan analogi "genangan air" yang melebar ke mana-mana tapi dangkal (sensasi), dan "lubang sumur" yang dalam namun sempit (esensi). Ya benar sih, karena memang begitu yang terjadi. Awkarin maupun Tri Mumpuni punya kelebihan sendiri-sendiri.

Jadi, sepenangkapanku, twit Budiman Sudjatmiko sebenarnya tidak bermasalah—dia hanya bermaksud menyampaikan pikirannya atas dua wanita itu. Tapi kita mungkin terburu-buru menyimpulkannya sebagai perbandingan atau bahkan upaya merendahkan, karena sensitif dengan istilah tertentu.

Akhirnya, terkait Awkarin dan Budiman Sudjatmiko, siapakah yang menang? Yang menang tentu saja En Sabah Nur! Pak edan opo piye?

*Lalu Budiman Sudjatmiko googling En Sabah Nur.*


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Oktober 2019.

Keputusan Paling Penting

Keputusan penting paling penting adalah menentukan pilihan yang penting dan yang tidak penting.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 September 2012.

Corona Muncul, Internet Lemot

Beberapa hari terakhir, sejak munculnya wabah corona di Indonesia, koneksi internet mulai lemot. Semula, kupikir cuma aku yang mengalami. Ternyata ada banyak orang mengeluhkan hal sama di TL. Pakai jaringan mana pun, semuanya lemot!

Ini internet bakal sampai kapan lemot gini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20-21 Maret 2020.

Noffret’s Note: Penghidupan

Pernah dengar dua orang bercakap-cakap soal corona.

A: Kenapa masih ada orang-orang yang ngotot tetap kumpul untuk acara pengajian, ceramah, dan semacamnya?

B: Mungkin karena itu penghidupan mereka. Jadi mereka tak ingin penghidupan mereka hilang.

Dan aku mikir, "Benar juga."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2020.

Minggu, 10 Oktober 2021

Jam Dua Dini Hari, di Rumah Sakit

Senikmat-nikmatnya makan di kantin rumah sakit,
masih lebih nikmat makan di kaki lima.
@noffret


Rumah sakit bukan tempat favorit saya, dan mungkin juga bukan tempat favorit banyak orang. Karena rumah sakit memang bukan tempat refresing—itu tempat merawat orang-orang sakit. Kita masuk rumah sakit karena sakit, atau karena ada anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit. Saya termasuk yang kedua.

Adik saya mengalami kecelakaan, dan harus dirawat di rumah sakit. Karena hal itu, saya pun harus sering ke rumah sakit, menjagai adik saya di sana, bergantian dengan anggota keluarga yang lain. Beberapa hari menjelang dia diizinkan pulang, saya dapat giliran jaga malam hari. Jadi, usai magrib, saya datang ke rumah sakit, dan baru pulang sekitar jam sembilan pagi keesokan harinya.

Tugas saya di rumah sakit tidak berat-berat amat, cuma menemani adik saya di sana, mengambilkan minum kalau dia haus, berkomunikasi dengan dokter atau perawat kalau ada kunjungan khusus, dan semacamnya. Kondisi adik saya terus membaik, sehingga saya juga bisa mengobrol dengannya.

Selama di rumah sakit, yang terasa berat bukan tugas menemani adik saya, tapi tidak bisa merokok! Kita tahu, selalu ada larangan merokok di rumah sakit, dan saya tidak ingin melanggar aturan itu. Karenanya, yang bisa saya lakukan hanya menunggu adik saya tertidur lelap, lalu saya turun ke kantin, dan baru menikmati rokok di sana.

Biasanya, adik saya baru tertidur sekitar pukul 01.00. Saya tunggu sampai satu jam, untuk memastikan dia benar-benar lelap. Pada pukul 02.00, saya mulai keluar ruangan, dan melangkah menuju lift untuk turun. (Di kamar adik saya ada pasien lain, dan ada anggota keluarga yang menjaga 24 jam tanpa henti, jadi saya juga tidak terlalu khawatir).

Kantin (pujasera) ada di lingkungan rumah sakit. Tapi jaraknya sekitar 100 meter. Saya pun melangkah santai ke sana, sambil menikmati suasana dini hari yang sunyi. Di tengah antara rumah sakit dan kantin, ada musala dengan halaman cukup luas. Di halaman itu kadang ada dua atau tiga orang menggelar karpet, lalu duduk-duduk sambil menikmati kopi dan udud. Sepertinya mereka juga orang-orang yang menunggui keluarganya yang tengah dirawat di rumah sakit.

Di kantin ada cukup banyak warung yang berjajar melingkar. Kalau siang, semua warung itu buka, dan menyediakan aneka makanan, minuman, jajan, juga barang-barang kebutuhan semisal tisu, pasta gigi, sampai sedotan. Tetapi, menjelang tengah malam, warung-warung itu tutup, dan hanya ada satu warung yang tetap buka—itu satu-satunya warung yang buka 24 jam di sana.

Saya pun menuju warung itu, dan memesan teh hangat. Kadang di sana ada orang lain, tapi sering kali saya sendirian. Saya menyeruput teh, dan menikmati udud. Kalau pas ada jajan enak, saya juga ngemil. Rasanya nikmat sekali—maksudnya udud dan teh hangat yang dinikmati sendirian di dini hari.

Setiap malam saya melakukan kegiatan itu—turun pukul 02.00 dini hari, lalu menyusuri koridor-koridor rumah sakit yang sepi, menuju kantin untuk menikmati teh hangat dan merokok.

Saat siang, hampir semua bagian rumah sakit penuh orang—mereka yang datang untuk berobat, untuk mengecek kesehatan, untuk perawatan rutin, dan lain-lain. Tapi ketika malam, khususnya dini hari, semua keramaian itu lenyap. Kemana pun saya melangkah, yang ada hanya sunyi. Koridor-koridor rumah sakit lengang, bunyi langkah kaki saya menggema. Di depan kamar-kamar perawatan kadang ada beberapa orang, tapi mereka tampak tertidur. Mungkin kelelahan menunggui anggota keluarganya yang sakit.

Rumah sakit bukan tempat favorit saya—sejujurnya, saya lebih suka menginap di hotel! Tetapi, di rumah sakit, saya menyaksikan realitas kemanusiaan yang paling dasar. Tentang orang-orang yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan energi, dan pikiran, dan lainnya, untuk saudara atau anggota keluarga yang sedang sakit.

Seperti yang saya alami. Karena adik saya harus dirawat di rumah sakit, saya pun merelakan waktu, energi, dan pikiran saya untuknya. Tumpukan pekerjaan dan semua urusan lain terpaksa berhenti sementara, sampai adik saya benar-benar pulih. Uang yang hilang bisa dicari kembali, pekerjaan yang terputus bisa disambung lagi, tapi kita tidak bisa menggantikan saudara kita dengan apa pun.

Suatu malam, seperti biasa, saya keluar dari kamar adik saya, pukul 02.00 dini hari. Seperti biasa pula, koridor rumah sakit sunyi tanpa seorang pun. Saya melangkah perlahan-lahan menuju lift untuk turun—jadwal yang biasa, kesunyian yang sama, menuju kantin untuk minum teh dan merokok.

Ketika saya mulai mendekat ke arah lift, seorang wanita berkerudung tiba-tiba muncul, dan tampak mempercepat langkah menuju ke arah saya. Usianya mungkin 50-an, dan saya melihat wajahnya sembab—mungkin dia baru menangis.

Dia mengikuti saya ke arah lift. Ketika pintu lift terbuka, dan saya melangkah masuk, wanita itu ikut masuk. Lalu pintu lift menutup.

Sambil bersiap memencet tombol lift, saya bertanya, “Ke lantai berapa, Bu?”

Dia tampak bingung, dan menjawab seperti orang linglung. “Saya diminta ke basement, itu di lantai berapa?”

Rumah sakit tempat kami berada memiliki lima lantai dengan satu basement. Waktu itu kami ada di lantai dua. Ketika saya pertama kali masuk ke rumah sakit, dan membaca denah yang tertempel di pintu masuk, memori saya telah merekam semua yang ada di rumah sakit itu. Saya tahu apa yang ada di lantai satu, di lantai dua, lantai tiga, empat, dan saya pun tahu apa yang ada di basement—tanpa harus mendatangi satu per satu.

Dalam rekaman memori saya, lantai basement adalah tempat laboratorium, refleksiologi, radiologi, beberapa ruang untuk urusan medis lain... dan pengurusan jenazah. Waktu itu pukul 02.00 dini hari, dan wanita di depan saya sepertinya tidak mungkin bermaksud mendatangi laboratorium atau bagian refleksiologi. Kemungkinan, dia butuh memastikan keberadaan ambulans untuk membawa jenazah anggota keluarganya pulang ke rumah. 

Jadi, dengan hati-hati, saya bertanya, “Maaf, ada anggota keluarga yang meninggal?”

Dia seperti akan terisak, dan mengangguk, lalu mengulang pernyataan tadi, “Saya diminta ke basement, itu di lantai berapa?” 

“Biar saya antar.”

Dia tampak lega.

Saya memencet tombol B, dan lift mulai turun. Wanita itu hanya membisu, dan saya tidak tahu harus ngomong apa. 

Sesaat kemudian, kami sampai di basement, dan pintu lift membuka. Saya melangkah keluar, diiringi wanita tadi, lalu kami menuju tempat yang—saya perkirakan—harus ditujunya. 

Di tempat itu tampak seorang petugas rumah sakit sedang menekuri kertas di depannya, dan saya membawa wanita tadi pada orang itu. Setelah si wanita menyampaikan maksudnya pada si petugas, dan ditanggapi dengan baik, saya pun pamit.

Saya kembali melangkah menuju lift, kali ini naik ke lantai satu. Di lantai satu, pintu lift membuka, dan saya keluar... lalu melangkah perlahan keluar rumah sakit, menuju kantin yang biasa saya datangi, untuk menyeruput teh hangat dan menyulut udud.

Suasana sekitar rumah sakit sepi seperti biasa, karena dini hari, dan orang-orang telah terlelap—yang sakit maupun yang sehat. Di halaman musala rumah sakit, seperti biasa, tampak tiga orang duduk-duduk di atas karpet sambil menikmati kopi dan rokok—mereka bercakap perlahan-lahan, seolah tak ingin merusak hening malam.

Saya terus melangkah menuju kantin yang lengang. Ibu pemilik warung melihat saya datang, dan menyiapkan teh hangat seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Sekian waktu yang lalu, sebelum adik saya dirawat di rumah sakit, ibu pemilik warung tak pernah melihat saya. Tapi kini dia hafal kedatangan saya, dari malam ke malam. Sekian waktu mendatang, mungkin dia tidak akan pernah melihat saya lagi, karena adik saya sudah bisa pulang.

Jam dua dini hari, waktu itu, sambil menikmati udud, saya seperti merasakan kesadaran baru; betapa tipisnya batas kita dari kehidupan dan kehilangan.

Orang-Orang Sedih

Di rumah sakit, tidak ada orang bahagia.

Seharian tadi, dari jam 6 pagi sampai malam, aku ada di rumah sakit, puluhan kali naik-turun lift, mengurus dan mengkhawatirkan keadaan adikku yang terluka akibat kecelakaan. Kini, aku baru sampai rumah, terpaksa pulang karena tubuh dan pikiran sangat lelah.

Lima hari lalu, adikku kecelakaan dan terluka parah. Dia harus menjalani operasi besar, dan kini saat kritis telah terlewati. Sejak lima hari kemarin, dan tentu hari-hari ke depan, aku harus ke rumah sakit setiap pagi, seharian berada di sana, lalu pulang dengan tubuh kelelahan.

Setiap hari melangkah ke sana kemari di rumah sakit, yang kudapati adalah orang-orang sedih—orang-orang yang anggota keluarganya sedang dirawat di sana; karena sakit, atau karena kecelakaan. Aku mendengar rintih kesakitan, kadang pula isak tangis orang-orang yang kehilangan.

Tidak ada orang bahagia di rumah sakit—setidaknya, aku belum menemukannya. Larut malam, saat aku melangkah untuk pulang, di koridor-koridor yang sepi tampak orang-orang duduk dengan kepala menunduk, sementara anggota keluarganya yang terbaring sakit mungkin mulai tertidur.

Semoga mereka memiliki ketabahan untuk menghadapi musibah yang terjadi, memiliki kekuatan untuk melewati hari demi hari, dan memiliki kesabaran untuk menerima apa pun yang terjadi. 

Semoga doa dan harapan ini sampai pada mereka... dan sampai pada diriku sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 September 2021.

Orang-Orang yang Patut Bersyukur

Di antara orang-orang yang patut bersyukur di dunia ini adalah orang yang gampang makan apa saja, dan mudah tidur. Orang semacam itu biasanya juga mudah bahagia. 

Sayang, aku tidak termasuk ke dalamnya.

Aku sangat suka mi ayam. Tapi tidak doyan jika dibungkus (misal dibawa pulang, atau titip orang lain). Aneh? Mungkin iya. Dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Intinya tidak doyan, gitu aja. Sama seperti suka gorengan, tapi harus panas, dan tidak doyan kalau adem.

Mi ayam dan gorengan itu hanya contoh kasus. Ada makanan-makanan lain yang juga aku doyan, tapi jadi tidak doyan jika dalam kondisi-kondisi tertentu. Aku mungkin contoh "orang yang makannya tidak gampang", dan itu bukan contoh menyenangkan. Wong aku juga pusing!

Seperti nasi, misalnya. Itu salah satu masalah besar dalam hidupku, karena aku hanya doyan nasi yang keras (akas), dengan butiran nasi saling terpisah, tidak lembek, dan tidak menggumpal. Mencari warung yang menyediakan nasi seperti itu—khususnya di tempatku—sulitnya luar biasa.

Makanya aku sering iri pada orang-orang yang bisa makan apa saja dengan mudah. Tak peduli mi ayam dimakan di tempat penjualnya atau dibungkus dan dibawa pulang, tak peduli gorengan panas atau adem, tak peduli nasi akas atau lembek. Hidup sepertinya begitu mudah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Februari 2021.

Hidup Lebih Ringan

Hidup memang terasa lebih ringan, kalau tidak punya harapan pada orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Januari 2019.

Jika Telah Bosan

Jika kita mungkin telah bosan mendengar soal ini melalui petuah-petuah doktrinasi, mari membicarakannya lewat studi ilmiah.


Kesehatan yang baik dan umur panjang ternyata tidak hanya tergantung pada kondisi tubuh, tapi juga kondisi pikiran.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2020.

Jumat, 01 Oktober 2021

Duka Lara Perkawinan

Perkawinan itu indah—kapan? Saat tercetak di undangan!
Begitu undangan itu mulai dilupakan, sebagian perkawinan terguncang,
dihantam badai penyesalan, ditikam kebosanan, digerogoti frustrasi, 
dan aneka perasaan menyesakkan lain yang tidak akan pernah 
mereka ceritakan kepadamu.
@noffret


Aulia Kesuma membunuh suaminya, melibatkan pembunuh yang ia bayar ratusan juta. Zuraida Hanum membunuh suaminya, juga melibatkan pembunuh yang ia bayar mahal. Kenyataan itu menjelaskan kalau mereka melakukan pembunuhan berencana, terhadap suaminya sendiri.

Bagaimana bisa, wanita yang menikah—dan berjanji untuk bersama dalam suka maupun duka—justru merencanakan pembunuhan terhadap suaminya sendiri? Pertanyaan itu makin perlu diajukan, mengingat foto-foto mereka dengan pasangan tampak begitu mesra.

Karena penasaran pula, aku pun mencari latar belakang kasus mereka, untuk tahu kenapa mereka membunuh suaminya. Semakin banyak aku tahu, semakin dalam pula simpatiku untuk mereka, dan—seiring dengan itu—menguatkan pemikiranku tentang doktrin dusta perkawinan. 

Zuraida membunuh suaminya, karena si suami selingkuh beberapa kali. Ia kecewa, dan minta cerai, tapi suaminya tidak mau bercerai. Selama bertahun-tahun, Zuraida memendam kekesalan batin, hingga kesabarannya usai, dan dia memutuskan untuk mengakhiri penderitaan batinnya.

Jadi, selama bertahun-tahun, Zuraida berusaha menampilkan dirinya sebaik mungkin, sebagai istri yang tampak menyayangi suaminya, berpose dalam foto-foto mesra demi tampak “pantas” di hadapan publik, sambil diam-diam menangis dalam batin, terkekang dan tertekan dalam luka.

Sementara Aulia membunuh suaminya karena ketiadaan tanggung jawab bersama. Dua tahun setelah menikah, suami Aulia ingin membuka usaha restoran. Untuk itu, dia perlu berutang ke bank. Tapi namanya sudah di-blacklist, jadi dia minta Aulia untuk berutang ke bank.

Karena percaya pada suami, Aulia memenuhi permintaan suaminya. Ia menggunakan namanya untuk berutang ke bank, dan mendapat dana 10 miliar. Uang itu dipakai untuk buka usaha restoran. Sayangnya, usaha restoran itu tidak menjanjikan, sementara utang terus berbunga.

Si suami menikmati hasil usaha restoran, yang sebenarnya belum stabil, tapi tidak mau mengurusi utang di bank, dan menganggap utang senilai 10 miliar plus bunga tadi adalah tanggung jawab istrinya, karena utang itu atas nama Aulia. Si suami cuma leyeh-leyeh sambil main ponsel.

Ketika akhirnya usaha restoran itu benar-benar bangkrut, Aulia kebingungan. Suaminya menganggap itu tanggung jawab istrinya, dan Aulia terpaksa montang-manting membayar utang pada bank, gali lubang tutup lubang, termasuk menggadaikan mobil miliknya.

Cerita selanjutnya sudah dikabarkan situs-situs berita. Aulia, yang mungkin sudah habis kesabaran dan tak mampu lagi menahan penderitaan batin akibat melihat sikap suaminya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri masalah dengan mengakhiri hidup suaminya sendiri.

Dan aku bertanya-tanya, apa arti perkawinan, khususnya terkait kasus mereka? Ke mana perginya doktrin-doktrin indah tentang kebahagiaan, lancar rezeki, dan bualan ndakik-ndakik lainnya? Aulia dan Zuraida hanya contoh kasus, tentu saja, di luar sana entah berapa jumlahnya.

Orang Amerika punya nasihat tersembunyi terkait perkawinan, yang biasanya mereka bisikkan dari teman ke teman. Nasihat itu berbunyi, “Perkawinan adalah tidur satu selimut dengan musuhmu.” Aku butuh waktu lama untuk memahami nasihat itu, dan kini telah memahaminya.

Pandemi Bukan Cobaan

Sejak pandemi muncul dan terus meningkat, khususnya di Indonesia, narasi yang sering terdengar adalah, “ini cobaan”, atau, “ini ujian”. Narasi semacam itu seperti melepas tanggung jawab kita seenaknya, seolah semua kekacauan dan kerusakan ini bukan karena ulah kita sendiri.

Pandemi yang sekarang mengacaukan dunia dan negara kita bukan ujian atau cobaan, tapi hasil konsekuensi dari ulah dan kegilaan yang kita lakukan sendiri. Menyatakan semua ini sebagai ujian atau cobaan, seperti menyatakan kita makhluk tanpa dosa yang tak tahu apa-apa.

Hubungan antara manusia dan alam terikat oleh perjanjian tak tertulis, “Kalau manusia tidak mau mengatur dirinya sendiri, alam yang akan mengatur.” Dan jika alam yang mengatur, hasilnya adalah petaka bagi manusia. Sekarang kita telah menyaksikan buktinya yang nyata.

Sejak ribuan tahun lalu, manusia sudah diingatkan bahwa bumi adalah tempat terbatas, dengan kekayaan terbatas. Karenanya, kendalikan populasi, agar semua dapat hidup tenang, dan bumi tetap menjadi tempat yang nyaman dihuni. Tapi berbagai kepentingan merusak aturan itu.

Ada banyak pihak yang punya kepentingan terkait populasi manusia, dan mereka justru ingin manusia beranak-pinak sebanyak-banyaknya. Kapitalisme punya kepentingan meningkatkan pasar dan produksi, serta menurunkan upah. Agama punya kepentingan menambah jumlah pengikut.

Dan negara-negara di dunia, yang mayoritas menggunakan sistem demokrasi, juga punya kepentingan terkait populasi manusia, karena demokrasi membutuhkan jumlah suara. Di tengah berbagai kepentingan itu, kita kemudian harus berhadapan dengan amukan alam yang murka.

Manusia adalah pemimpin di muka bumi, katanya. Oh, well, pemimpin di muka bumi...

Kamu Tidak Ingin Jadi Pacarku

1. Aku bukan siapa-siapa.
2. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun kepadamu.
3. Aku juga cowok yang tak punya banyak waktu.
4. Kamu bisa jadi akan sering tertekan kalau pacaran denganku.
5. Kamu juga tidak akan mendapat kepastian apa pun dariku.

See? Kamu tidak ingin jadi pacarku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Januari 2020.

Mbuh Kabeh, Barang Gaib

"And they lived happily ever after" itu sebelas dua belas dengan "Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

Yo mbuh kabeh, wong barang gaib.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Desember 2019.

Like Mother, Like Daughter

Ada pepatah populer, "Like father, like son". Kenapa tidak ada "Like father, like daughter" atau "Like mother, like daughter"? (Atau ada, tapi mungkin kurang populer?)


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Desember 2019.

 
;