Sekian waktu lalu, salah satu temanku, Agus Setiawan (biasa dipanggil Agus Bagong), meninggal. Sayang aku terlambat mendengar kabar itu, hingga tak bisa mengantar ke makamnya. Dulu, sebelum menikah, dia sering dolan ke tempatku, dan kami ngobrol sampai larut malam.
Belakangan dia jadi wartawan di harian Suara Merdeka, dan tak lama kemudian menikah. Sejak itu kami jarang ketemu, karena rumah kami berjauhan—dia tinggal bersama anak dan istrinya di tempat baru. Mendengar kabar dia meninggal, aku merasa sangat kehilangan.
Ada beberapa temanku yang telah meninggal, mereka masih muda, dan biasanya karena mengalami sakit tertentu. Yang paling membuatku sangat berduka adalah saat Haris, salah satu teman, meninggal. Anaknya waktu itu berusia 5 tahun, seorang bocah lelaki yang lucu.
Saat Haris masih hidup, aku suka dolan ke rumahnya, dan bermain-main dengan anaknya yang lucu. Ketika Haris meninggal, aku mendapati bocah itu tampak seperti linglung, dengan mata berkaca-kaca, dan bergumam, “Semoga ini hanya mimpi... semoga hanya mimpi...”
Dengan hati terasa hancur, aku meraih bocah itu ke dalam dekapanku, dan kami menangis bersama. Itu salah satu moment paling menyedihkan yang pernah kurasakan, yang pernah kualami.