Dia berkata, “Lihat trailer film-film baru di YouTube, kayaknya bakal ada film-film bagus dalam waktu dekat.”
“Kayaknya,” saya menyahut. “Tapi ‘dalam waktu dekat’ itu bisa aja sangat relatif.”
“Maksudnya?”
“Dari dulu aku nungguin film ‘Extraction 2’. Itu trailernya udah muncul setahun lalu—lebih, malah. Tapi sampai sekarang film itu belum juga muncul.”
“’Extraction 2’ film Netflix, kan?”
“Iya. Nggak sabar banget rasanya. Trailernya udah muncul sejak lama, tapi filmnya nggak juga rilis.”
Dia lalu membuka ponsel, dan mengetik sesuatu. Setelah itu, dia berkata, “Kalau lihat di Google, ‘Extraction 2’ bakal dirilis 16 Juni mendatang. Udah bisa ditunggu, lah.”
“Moga aja.”
“Selain ‘Extraction 2’, film apa lagi yang kamu tunggu?”
“Ada beberapa. Misalnya ‘Equalizer 3’, ‘Meg 2’, ‘Transformer’ yang baru, sampai ‘Fast and Furious’ yang baru, karena ada Jason Statham.”
“Cocok!” Dia tersenyum. “’Sisu’, gimana? Aku nungguin banget film itu.”
“Ah, ya, ‘Sisu’. Itu kayaknya bakal jadi film aksi yang ngasih warna baru. Kalau lihat trailernya, kayaknya berlatar perang.”
Dia lalu menyulut rokok. Saya ikut menyulut rokok. Setelah menikmati asapnya sesaat, saya berkata, “Aku baru tahu kalau film-film India rata-rata punya rating tinggi.”
“Lhah, emangnya dulu nggak tahu?”
“Aku baru ngerti ada rating film tuh setelah kenal IMDB, di internet. Dulu nggak kenal internet, nggak tahu IMDB, jadi juga nggak ngerti ada rating film.”
“Menurutmu, apakah rating film penting buat mutusin untuk nonton film atau nggak?”
“Jujur aja, dulu sebelum ngerti ada rating, aku nonton film asal aja. Asal posternya bagus atau menarik, aku tonton. Atau, asal aktornya favorit, aku juga asal tonton aja. Tapi setelah ngerti rating, aku jadi nonton film dengan mempertimbangkan ratingnya.”
“Kalau ratingnya rendah, kamu malas nonton?”
“Kira-kira gitu.”
“Menurutmu, apakah rating film memang sesuai ekspektasimu? Kalau ratingnya tinggi, apakah kamu pasti puas nonton filmnya?”
“Sebenarnya belum tentu juga, sih. Cuma, rata-rata film yang ratingnya tinggi biasanya emang bagus, dan aku juga puas nontonnya. Meski kadang ada pula film yang ratingnya tinggi, tapi ternyata filmnya biasa aja, atau nggak sesuai seleraku.”
“Kalau film India gimana?”
“Gimana apanya?”
“Kan tadi kamu bilang, rata-rata film India punya rating tinggi. Apakah tingginya rating itu bikin kamu puas nonton filmnya?”
“Aku hampir nggak pernah nonton film India.”
“Kenapa? Kan ratingnya tinggi-tinggi.”
“Masalahnya, rata-rata film India punya durasi sampai tiga jam. Aku kok eman-eman waktunya, kalau nonton film sampai tiga jam. Umumnya film itu satu setengah jam, atau dua jam, lah. Menurutku, durasi segitu udah ideal. Kalau sampai tiga jam, kayaknya kelamaan.”
Dia manggut-manggut, lalu ikut ngaku, “Aku juga nggak pernah nonton film India.”
“Kenapa? Eman-eman waktunya juga?”
“Nggak, bukan gitu. Cuma, aku ngerasa nggak bisa menikmati film kalau dialog di dalamnya nggak pakai bahasa Inggris.”
Saya agak bingung. “Maksudnya gimana?”
“Gini. Kalau film-film Hollywood itu kan dialognya pakai bahasa Inggris. Nah, aku paling cocok kalau nonton film gitu. Bisa menikmati. Tapi kalau film India kan pakai bahasa India atau Tagalog atau apa, lah. Rasanya aku kurang bisa menikmati.”
“Kalau film berbahasa lain, gimana? Maksudku, film Prancis kan berbahasa Prancis. Atau film Spanyol juga berbahasa Spanyol. Apakah kamu juga nggak bisa menikmati?”
“Iya. Intinya film apa aja yang nggak pakai bahasa Inggris dalam dialognya, nggak bikin aku minat. Beberapa kali nonton film gitu—film-film non-Hollywood—dan aku sadar itu film-film bagus. Tapi karena bahasa dialognya bukan Inggris, aku jadi kurang bisa menikmati.”
“Kalau film Indonesia?”
“Kan pakai bahasa Indonesia.”
“Iya. Apakah kamu juga kurang bisa menikmati?”
“Sayangnya iya. Kadang aku penasaran sama film Indonesia yang lagi viral, kan. Terus nonton. Tapi karena nggak pakai bahasa Inggris, aku jadi kurang bisa menikmati.”
Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Kok bisa, ya?”
“Kayaknya, mungkin, karena aku terlalu terpapar film-film Hollywood berbahasa Inggris. Jadinya kalau nonton film yang nggak pakai bahasa Inggris, rasanya jadi kayak aneh, gitu. Kamu sendiri gimana?”
“Kayaknya sama, sih. Hahaha...”
Dia mengisap rokoknya sesaat, lalu bertanya, “Di rumah, biasanya kapan kamu nonton film? Ada jadwal khusus, gitu?”
“Nggak,” saya menjawab. “Biasanya, kalau makan di rumah, aku nonton film sambil makan. Jadi waktunya nggak habis cuma buat nonton film. Atau pas nggak bisa tidur—kadang insomniaku kumat—aku nonton film, daripada gelisah di tempat tidur. Itu rasanya syahdu banget. Dini hari, hening, duduk santai sambil udud, dan menikmati film.”
“Apa film terakhir yang kamu tonton?”
“Film lama, 2007. Judulnya Death Sentence. Dibintangi Kevin Bacon sama Kelly Preston.”
“Pasti film action, ya?”
“Iya. Kisahnya tentang balas dendam seorang ayah yang anaknya terbunuh oleh sekelompok berandal. Menurutku, itu salah satu film terbaik Kevin Bacon.”
“Dari film-film action yang pernah kamu tonton, film apa yang menurutmu paling berkesan?”
“Kayaknya sulit kalau harus menyebut satu dua judul. Karena banyak sekali yang menurutku sangat mengesankan.”
“Sebut aja secara acak. Yang langsung terlintas di pikiranmu.”
“Uhm... mungkin Anna sama The Protege.”
“Alasannya?”
“Anna sama The Protege sama-sama mengisahkan aksi jagoan wanita. Anna diperankan Sasha Luss, aktris Rusia. Sementara The Protege dibintangi Maggie Q, aktris Asia-Amerika. Dua wanita itu sama-sama ramping, bahkan cenderung kurus, tampak feminin... tapi sangat brutal dan mematikan. Puas banget nontonnya.”
Dia tersenyum, lalu bertanya, “Siapa nama tokoh yang diperankan Maggie Q dalam The Protege?”
“Kalau nggak salah ingat, Anna Dutton.”
“Siapa nama tokoh yang diperankan Sasha Luss dalam film Anna?”
“Anna Poliatova.”
“Kok bisa sama-sama bernama Anna, ya?”