Well... sambil nunggu udud habis.
@recehtapisayng |
Aku cowok, jadi kurang relate dengan ini. Tapi cowok yang jadi anak pertama—terlepas cucu pertama atau bukan—juga menghadapi beban luar biasa, bahkan siksaan batin, yang mungkin sampai menyebabkan bidadari menangis.
Banyak temanku (cowok) yang jadi anak pertama di keluarganya. Rata-rata keluarga kami—aku dan teman-teman yang sama-sama anak pertama—bukan keluarga berada. Jadi, biasanya, setelah lulus SMA, kami tidak bisa melanjutkan pendidikan, dan langsung sibuk cari kerja.
Hasil kerja usai lulus SMA itu sering kali tidak kami nikmati sendiri, tapi dibagi untuk keluarga. Yang punya adik juga merasa punya kewajiban membiayai sekolah/kuliah adik[-adik]nya, dan itulah yang teman-temanku lakukan. Mereka lulus SMA, tapi adik-adiknya lulus kuliah.
Lalu, terjadilah sesuatu yang sering kali “tragis”, tapi sangat jarang dipahami orang-orang lain. Ketika adik-adik yang dibiayai kakaknya itu lulus kuliah, mereka mulai mencari kerja. Namanya lulusan kuliah, mereka pun bisa mendapat pekerjaan yang lebih bagus dengan gaji besar.
Jadi, adik-adik yang dibiayai kuliahnya itu mendapat pekerjaan lebih bagus dengan gaji lebih besar, dibanding kakak-kakak mereka yang banting tulang membiayai kuliah mereka. Karena kakak-kakak mereka cuma lulusan SMA, dengan pekerjaan sederhana dan penghasilan sekadarnya.
Lalu, adik-adik itu mulai membangun hidup mereka sendiri. Dengan penghasilan yang besar, mereka mulai membeli rumah lewat KPR, dan biasanya, tidak lama setelah itu, mereka pun menikah dan punya anak. Hidup mereka pun sempurna; punya pekerjaan bagus, punya rumah, dan menikah.
Dan bagaimana dengan kakak-kakak yang membiayai mereka?
Nasib sang kakak sering kali tak berubah! Mereka tetap jadi buruh pabrik atau pekerja kasar lain, dengan gaji tak seberapa. Boro-boro mikir beli rumah atau menikah, mereka sering kali masih jadi tumpuan keluarganya.
Lalu, tibalah sesuatu yang sangat menyakitkan hati mereka.
Ketika sang adik menikah, orang-orang (tetangga, saudara) dengan enteng mengatakan, “Tuh, adikmu aja udah menikah, masak kamu kalah?”
Bisakah kalian membayangkan bagaiamana sakitnya perasaan kakak-kakak yang malang itu?
Mereka—kakak-kakak yang malang itu—telah mengorbankan hidupnya, mengorbankan masa depannya, bahkan mengorbankan dirinya sendiri, demi membiayai keluarga, mengurusi orang tua, hingga menguliahkan adik-adiknya. Dan apa yang mereka dapatkan kemudian? Ejekan, sindiran, dan nyinyiran!
“Adikmu aja udah nikah, masak kamu kalah?”
“Adikmu aja udah berkeluarga, masak kamu belum?”
Masalah yang terjadi tidak sesederhana itu, asshole! Dan sebelum mencibir, mengejek, menyindir atau menyinyiri orang lain agar cepat kawin, sebaiknya belajarlah empati terlebih dulu.
Banyak orang—khususnya anak pertama—yang menghadapi fenomena miris semacam itu. Kehidupan mereka terus memprihatinkan, karena hasil kerja mereka tidak seberapa, tapi sering habis untuk menghidupi keluarga. Sementara adik-adiknya—yang dibiayai kakaknya—justru hidup enak.
Mungkin akan bagus, kalau saja adik-adik yang telah sukses karena dikuliahkan kakaknya itu membalas budi baik kakak-kakak mereka, atau setidaknya membantu sang kakak membiayai keluarga orang tua mereka. Tapi sering kali, sayangnya, hal bagus semacam itu tidak terjadi.
Kenapa? Alasannya klasik; sang adik menganggap itu memang tugas dan kewajiban kakaknya!
Jadi, ketika adik-adik itu dikuliahkan sampai lulus, mereka menganggap “itu sudah kewajiban kakakku”. Ketika akhirnya mereka sukses, mereka tidak terpikir/memikirkan kakaknya.
Ketimpangan sosial, salah satunya, terjadi dari fenomena semacam ini. Sang kakak menjadi tumbal (atau menumbalkan dirinya) demi keluarga dan adik-adiknya, dan dia tetap hidup melarat. Sementara adik-adiknya justru jadi orang-orang sukses, menikah, dan berkeluarga.
Salah satu temanku, yang menghadapi fenomena ini, terang-terangan mengatakan, “Orang-orang (tetangga, saudara) sering membanding-bandingkan aku dan adikku. Aku tetap miskin, belum menikah, sementara adikku sukses dan sudah berkeluarga. Tapi orang-orang hanya melihat sebatas itu.”
Yang dilihat orang-orang—masyarakat—hanya “sebatas itu”, bahwa si kakak tampak menyedihkan, sementara adiknya sudah jadi orang. Padahal kesuksesan sang adik berkat pengorbanan kakaknya. Dan ketika sang adik sukses, dia hanya sibuk memikirkan diri dan keluarga kecilnya sendiri.
Ini tragedi yang terjadi di mana-mana... dalam sunyi. Anak pertama punya semacam kewajiban membiayai keluarga, menguliahkan adik-adiknya, sementara adik-adik mereka hanya mengurus diri mereka sendiri. Ketika adik-adik itu sukses, menikah, dan berkeluarga, mereka lupa kakaknya.
Ocehan ini tidak bermaksud bahwa kakak (si anak pertama) tidak ikhlas membiayai keluarga dan adik-adik. Kita ikhlas, tentu saja.
Ocehan ini adalah upaya mengajak siapa pun untuk berempati, dengan tidak membanding-bandingkan kakak-adik, dan tidak nyinyir bertanya “kapan kawin?”
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Oktober 2021.