Minggu, 10 Desember 2023

Mental Kaya, Mental Miskin

Thread di bawah ini menarik, dan sangat saintifik, meski masih menyisakan satu pertanyaan yang tidak/belum terjawab.

Aku bisa menjawab pertanyaan itu hanya dengan satu kata. Tapi jika kukatakan, belum tentu orang akan percaya, karena akan terdengar tidak saintifik.

Mental.

Mental Kaya, Mental Miskin


Pendidikan, kesehatan, koneksi, atau apa pun yang bisa disebut privilese di luar diri seseorang, semuanya bisa diperoleh anak miskin—terlepas bagaimana caranya. Tapi ada satu hal yang sulit diperoleh anak miskin, yaitu "mental kaya"—sesuatu yang secara default dimiliki anak kaya.

Aku menyetujui semua uraian dalam thread saintifik tadi, karena nyatanya memang tak terbantah. Tapi thread tadi belum menyentuh 1 faktor penting yang nyatanya memang sulit diukur; bahwa yang merusak kehidupan orang miskin bukan hanya kemiskinannya, tetapi juga mental miskinnya.

Mental itulah yang, dalam pikiranku, menjadikan anak miskin sulit kaya, sebagaimana anak kaya—yang lahir di keluarga kaya—sulit miskin.

Seperti yang kusebut tadi, ini terdengar tidak saintifik, bahkan terdengar tidak adil. Untungnya, "mental" itu bisa dipelajari, meski sulit.

Mental kaya dan mental miskin dimiliki orang per orang secara default, tergantung di keluarga mana ia dilahirkan. Ini bukan sekadar mindset yang bisa diukur; ini lebih pada—bagaimana aku harus menyebutnya?—semacam kristalisasi "doktrin hidup" yang diterima orang per orang.

Sekadar ilustrasi, kita bisa membayangkan diri kita, yang lahir dan tumbuh besar di permukiman umum, dengan Tarzan yang tumbuh besar di hutan. Meski secara fisik mirip, tapi "mental" kita jelas berbeda dengan Tarzan, sebagaimana "mental" Tarzan jelas berbeda dengan diri kita.

Susahnya, "mental" itu sulit diukur, khususnya dengan metode saintifik, sehingga penelitian-penelitian terkait hal ini biasanya akan mentok pada "privilese umum" seperti pendidikan, lingkungan, dan semacamnya—yang bahkan tidak mampu mengungkap penyebab kemiskinan secara tuntas.

Omong-omong, aku kadang membayangkan soal ini dengan rel kereta api. Bagaimana sepasang rel kereta api dari Jakarta ke Tegal, misalnya, bisa terus sejajar dan searah?

Jawabannya sangat jelas, gamblang, sekaligus mutlak; karena mereka memang "dipaksa" begitu!

Sekarang bayangkan dalam pikiran, kita "belokkan" salah satu rel tersebut agar berubah 1 cm saja. Dari Jakarta, rel yang dibelokkan 1 cm itu bisa melenceng sangat jauh—sebegitu jauh hingga mungkin tidak sampai di Tegal, tapi ke kota lain yang jaraknya puluhan kilometer.

Mental.

Hidup kita mirip sepasang rel itu; yang kaya akan terus kaya, yang miskin akan terus miskin—sejajar, searah—karena memang "dipaksa" begitu! Karena itulah aku menyebut urusan "mental" ini telah dimiliki orang per orang secara default, tergantung di keluarga mana ia dilahirkan.

Karenanya, dalam perspektifku, cara agar keluar dari "takdir kemiskinan" adalah dengan "membelokkan mental" kita. Sekali mental itu bisa kita "belokkan", arah dan jalan hidup kita akan berubah jauh. Persis seperti rel tadi. Tetapi, itu jelas bukan pekerjaan mudah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Juni 2020.

 
;