Sabtu, 20 Juli 2024

Saran yang Semoga Adil

Izinkan aku ngasih saran dan pertimbangan yang [semoga] adil.

Saran yang Semoga Adil

Kalau kamu yakin orang tuamu sosok yang bijak, dan mereka (ayah/ibumu) memberimu saran baik yang masuk akal (bagimu dan bagi mereka), serta memberikan dukungan penuh (dari dukungan moral sampai dukungan biaya), maka ikutilah saran mereka.

Sebagai anak, kamu pasti mengenal karakter sekaligus kelebihan/kekurangan orang tuamu; apakah mereka orang tua yang bijak atau orang tua yang sebaliknya. 

Jadi, pertama-tama, yakinkan dirimu terlebih dulu, apakah orang tuamu memang bijak, dan sarannya perlu diikuti?

Setelah yakin orang tuamu memang bijak, dan mereka juga memberimu saran baik yang masuk akal (dalam arti bisa dibicarakan bersama tanpa pemaksaan kehendak, dan kalian bisa saling menerima pertimbangan satu sama lain), dan orang tuamu mendukungmu penuh, ya ikuti mereka.

Memiliki orang tua yang bijak, yang memberimu saran baik, dan mendukungmu penuh—dari mendukung secara moral sampai mendukung biaya—adalah privilese yang tidak dimiliki setiap anak di dunia. 

Karenanya, kalau orang tuamu seperti itu, kamu anak yang sangat, sangat beruntung.

Tetapi, mari terima kebenaran pahit ini; ada pula orang tua bodoh, yang sarannya mungkin ia anggap baik, tapi sebenarnya bisa merugikan si anak. Sudah begitu, kadang mereka hanya memaksakan kehendak, tapi tidak ada dukungan apa pun—intinya kamu hanya harus mengikuti mau mereka.

Jika kamu yakin berada di posisi semacam itu (lihat tweet sebelum ini), kamu punya pilihan untuk tidak mengikuti saran orang tuamu. 

Bagaimana pun, kamu yang akan menjalani kehidupanmu selanjutnya—bukan orang tuamu. Kamulah yang akan menghadapi apa pun konsekuensi pilihanmu.

Apakah ada saran orang tua yang malah merugikan si anak? Ada, bahkan mungkin banyak. Kita mungkin pernah, atau bahkan sering, membaca berita tentang ibu yang melacurkan anak perempuannya sendiri. Alasannya mungkin baik, tapi itu jelas merugikan dan merusak hidup si anak.

Ada pula orang tua yang memberikan saran pada si anak, tapi dia menggunakan sudut pandangnya sendiri—bukan sudut pandang si anak yang akan menjalani. 

Misal, orang tua ingin anaknya jadi PNS, padahal panggilan hati si anak lebih suka melukis, dan ingin jadi pelukis.

Orang tua menginginkan anaknya jadi PNS tentu dengan pertimbangan yang baik, misal agar ekonomi keluarga lebih terjamin. Tapi orang tua mungkin tidak sempat memikirkan, apakah anaknya akan bahagia jika jadi PNS? Apakah jadi PNS memang panggilan hati anaknya? Dan lain-lain.

Karenanya, pepatah “tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya” itu sebenarnya perlu dikaji lebih adil dan komprehensif. Adil bagi orang tua, juga adil bagi si anak. Karena suatu saran mungkin tampak baik dari sudut pandang orang tua, tapi bisa jadi buruk bagi si anak.

Dalam contoh ekstrem, kasus ibu yang melacurkan anak perempuannya. Pertimbangan si ibu, “Keluarga kami butuh uang untuk makan.” Pertimbangan yang baik, tentu saja. Tapi pertimbangan baik itu—dengan melacurkan si anak—jelas tidak baik untuk si anak. Siapa yang bisa membantah ini?

Intinya, kamu tetap seorang anak yang punya kewajiban mendengar saran orang tuamu. Tetapi, bagaimana pun, kamu yang akan menjalani kehidupanmu, dan hidupmu masih panjang, dan orang tua tidak akan ada selamanya untukmu. Jadi, ikutilah, dengan bijak, kata hatimu.

Maaf kalau ocehan ini lumayan panjang. Aku selalu menahan diri untuk tidak menasihati siapa pun. Tapi karena kamu secara terbuka menyatakan butuh saran/pertimbangan orang lain, aku memberanikan diri menulis saran ini. Semoga tidak membuatmu bosan. 

Dan ududku habis.

Siwon, Eunhyuk, dan Donghae (personil Super Junior) kini sama-sama sukses. Tapi Siwon dan Eunhyuk menentang orang tua, sementara Donghae mengikuti nasihat orang tua. Kisah nyata ini cukup adil untuk kembali dibaca: 

Pergilah Kemana Hati Membawamu » http://bit.ly/2toVxeM


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Desember 2022.

Tersandung

Ada kalanya kita tersandung tapi tersenyum. Misalnya... tersandung keindahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2012.

Aku Mau Peduli Kepentinganmu, Asal Kau Peduli Kepentinganku

Dari tadi baca-baca DM, sempat ngobrol dengan beberapa orang, dan sekarang aku merasa perlu ngoceh.

Dalam Quantum of Solace, M berkata kepada James Bond, “Kalau kau tak bisa lagi mengenali mana kawan dan mana lawan, saatnya kau harus keluar [dari permainan].”

Sambil nunggu udud habis.

Jika ada dua kubu yang berperang, dan kita ada di antara mereka, selalu ada kemungkinan kita terseret dalam peperangan mereka, dan juga ada kemungkinan kita akan membela salah satunya. Biasanya, kita membela kubu yang kita anggap “benar” versi kita.

“Benar versi kita” adalah kebenaran relatif yang bisa saja timbul karena adanya keterpengaruhan, merasa kepentingan kita terakomodasi, atau karena hal-hal lain yang pada akhirnya membuat kita memilih satu kubu untuk bergabung, sekaligus menyerang kubu lainnya.

Dulu aku juga begitu, jujur saja. Di antara dua kubu yang berperang nyaris tanpa usai, aku pernah memilih salah satu kubu, membela mereka, dan membantu menyerang kubu lainnya. Tapi belakangan aku sadar, dua kubu sama-sama punya kepentingan.

Tentu saja mereka punya kepentingan—terlalu naif kalau aku mengira sebaliknya. Dan sebenarnya aku juga tidak peduli dengan kepentingan mereka. Yang belakangan membuatku berpikir ulang adalah... kepentingan mereka tidak ada yang mengakomodasi kepentinganku.

Aku mikirnya sederhana saja. Orang mau bergabung dengan kelompokmu, karena ia merasa kepentingannya terakomodasi oleh kelompokmu. Jika kelompokmu ternyata juga tidak mengakomodasi kepentingannya, buat apa repot-repot mempertaruhkan hidup hanya untuk membela kelompokmu?

Tidak semua orang punya waktu selo untuk ikut ribut-ribut tidak jelas dengan membela satu kubu dan menyerang kubu lainnya. Aku termasuk yang begitu. Aku lebih suka menggunakan waktu, energi, dan pikiranku, untuk hal-hal yang lebih jelas dan konstruktif. Setidaknya menurutku.

Jadi, sekarang, aku tidak peduli siapa ribut dengan siapa, atau siapa menyerang siapa, atau kubu mana membongkar apa, atau kau mau mendukung siapa—lanjutkan saja. Lagi pula, kenapa aku harus peduli?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 November 2021.

Ngapain Repot-repot?

Jadi ingat obrolan dengan teman-teman nyangkruk. Saat membicarakan “kegilaan” yang kami lakukan, salah satu teman bertanya, “Kamu berani masuk rumah angker atau kuburan malam-malam sendirian?” 

Aku menjawab yakin, “Berani. Mosok gitu aja gak berani?” 

Dia menyahut, “Ayo buktikan.” 

Aku bilang kepadanya, “Kalau benar-benar kubuktikan, apa yang akan kudapatkan? Jika hadiahnya jelas, dan sepadan, akan kulakukan sekarang juga. Tapi kalau cuma tantangan gak jelas, ya ngapain juga aku repot-repot membuktikan?”

Naluri Mbakyu

Seharusnya setiap wanita punya naluri seperti Mary Jane Watson, tahu cara menepiskan keraguan menjadi kepastian dengan ciuman.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Humor Mesir Kuno

Orang Mesir kuno tampaknya punya selera humor yang dark.


Mesir kuno pernah punya “tuhan”—atau dewa—bernama Atum. Dalam mitos Mesir kuno, Atum digambarkan sebagai “tuhan yang bingung”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Desember 2022.

Waktu

Waktu, kalau tak ditunggu, rasanya cepat sekali berlalu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Agustus 2012.

Terlalu

Terlalu banyak atau terlalu sedikit punya kesamaan. Sama-sama terlalu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2012.

Gembar-gembor

Ora awan, ora bengi, isine wong gembar-gembor.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Mei 2019.

Yang Penting Kan Kan Kan Kan

Kan ndasmu.

Umum

Oh... umum. 

Asu.

Rabu, 10 Juli 2024

Sudah Capek dan Repot, Ujungnya Malah Menyesal

Ini lanjutan catatan di BSM (Mungkin Surga Seperti Instagram). Karena mengobrolkan Instagram, percakapan kami merembet ke media sosial lain, yaitu Twitter, yang sekarang berubah nama menjadi X.

Ripin bertanya kepada saya, “Kenapa kamu nggak cocok dengan Instagram, tapi suka main di Twitter, Da’?”

Saya menjawab, “Menurutku, Twitter lebih realistis, atau lebih dekat dengan kehidupan nyata kebanyakan orang. Di Twitter, banyak orang yang jujur pada diri sendiri dan orang lain, apa adanya, jadi aku merasa lebih relate di sana. Ada orang-orang mengeluhkan kehidupan sehari-hari, sambat soal sulitnya nyari duit, soal kerja, soal hubungan, dan lain-lain. Itu kan hal-hal yang biasa ada di kehidupan nyata. Makanya aku merasa lebih ‘terhubung’ dengan orang-orang yang ada di Twitter, karena merasa menjalani kehidupan yang nggak jauh beda. Yang lebih penting, Twitter mengutamakan pikiran, karena konten utamanya berbentuk tulisan. Itu bikin aku lebih nyaman, daripada pamer foto mewah-mewahan ala Instagram.”

Ardi menyahut, “Kalau Facebook, gimana? Kenapa kamu nggak aktif juga di Facebook?”

“Dulu sebenarnya pernah punya akun Facebook,” saya menjawab. “Waktu Facebook mulai tren, dan banyak teman kita yang bikin akun di sana, aku juga ikut bikin akun. Tapi, karena suatu kesibukan, aku pernah nggak masuk Facebook sampai lama. Begitu mau masuk lagi, aku udah lupa password-nya. Jadi sejak itu nggak pernah kenal Facebook lagi, sampai sekarang.”

“Mumpung ingat,” ujar Ripin, “di Twitter tuh ada info lowongan kerja nggak, sih?”

“Mungkin ada,” saya menjawab, “tapi aku kurang tahu, karena nggak ngikutin akun-akun seputar lowongan kerja.”

Lalu Ripin bercerita, dia mengikuti akun-akun penyedia lowongan kerja di Instagram, tapi belum juga menemukan lowongan yang bisa ia masuki. Hampir semua info lowongan kerja mempersyaratkan maksimal usia 30 tahun, sementara dia sudah lewat 30. Kebanyakan lowongan juga mempersyaratkan minimal pendidikan S1 atau sarjana, sementara dia hanya lulusan SMA.

“Tempo hari aku nemu lowongan kerja memotong kain,” ujar Ripin. “Info lowongannya cuma: ‘Dicari, pria, pemotong kain. Diutamakan yang telah berpengalaman’. Karena dulu pernah punya usaha kain ATBM, aku ngerasa pede menghubungi nomor WhatsApp yang tertera di lowongan itu, berharap bisa dapat kerja. Orang yang menerima teleponku menjelaskan, mereka memang lagi cari tukang potong kain mori untuk batik. Aku bilang, aku bisa mengerjakannya. Tapi begitu tahu umurku udah 35, dia kayak keberatan. Dia bilang, nyarinya yang baru lulusan SMA, karena bayarannya nggak seberapa.”

“Terus nggak jadi?” tanya saya.

“Nggak jelas,” sahut Ripin. “Orang yang aku tilpon itu cuma bilang, ntar akan ngabari kalau ada lowongan lain yang lebih tepat. Tapi aku nggak terlalu yakin.”

Kami terdiam beberapa saat, lalu Ardi berujar, “Makin ke sini, nyari kerja kayaknya emang makin sulit. Aku juga kadang dapat tawaran kerja di luar kota, tapi informasinya nggak meyakinkan. Aku takutnya udah jauh-jauh ke luar kota, buang banyak tenaga dan biaya, ternyata zonk kayak yang pernah aku alami dulu.”

Dulu, Ardi pernah dapat tawaran kerja di Tangerang, terkait kain ATBM. Ketika berangkat, Ardi berpikir dia akan langsung kerja, karena dia punya latar belakang dan pengetahuan yang cukup terkait kain ATBM. Jadi, waktu itu, dia pun pede berutang pada kakak-kakaknya, dengan janji akan dilunasi setelah dapat gajian. Ternyata, begitu sampai di Tangerang, Ardi baru tahu kalau pertemuan itu baru tahap pembicaraan—mereka bermaksud bikin usaha kain ATBM, dan membutuhkan Ardi untuk menjelaskan apa saja yang perlu diketahui dan disiapkan.

Dua hari Ardi di Tangerang, lalu pulang dengan tangan hampa. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang. Sampai di rumah, Ardi menyesali kepergiannya ke Tangerang, karena hanya membuang waktu, energi, serta biaya, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Dia juga merasa bersalah pada kakak-kakaknya, karena tidak bisa segera membayar utang pada mereka. Sejak itu, Ardi seperti trauma setiap kali mendapat tawaran serupa. 

Kisah Ardi itu pula yang belakangan membuat saya ogah-ogahan kalau mendapat ajakan pertemuan dari siapa pun, jika tempatnya relatif jauh. Di Twitter, misalnya, sering ada yang ngajak ketemuan, dari pakai drama dan basa-basi bertele-tele sampai yang terang-terangan. 

Saya tidak kenal mereka, selain hanya tahu lewat internet, dan mereka tidak menjelaskan apa tujuan pertemuan itu, atau apa yang akan saya dapatkan. Sementara saya harus meninggalkan pekerjaan di rumah, menempuh perjalanan jauh, menghabiskan waktu, energi, dan biaya. Saya malas mengurusi ajakan yang tidak jelas semacam itu.

Padahal, andai mereka menjelaskan apa tujuan pertemuan itu, atau menunjukkan apa yang akan saya dapatkan, saya akan datang. Tanpa itu, saya tidak akan sudi buang-buang waktu, energi, dan biaya. Saya takutnya seperti Ardi, sudah datang jauh-jauh, menghabiskan banyak waktu, energi, dan biaya, tapi ujungnya malah menyesal.

Ketika saya masih asyik nyangkruk bersama Ardi dan Ripin, muncul beberapa orang, melangkah di jalanan kampung. Sepertinya mereka akan mengikuti pawai. Salah satu dari mereka menyapa Ardi dan Ripin, mengajak ikut pawai bareng mereka.

Ripin bertanya, “Ada duitnya nggak?”

Orang yang ditanya tampak tersenyum, dan menjawab, “Nggak ada.”

“Ya males, kalau gitu.”

Setelah orang-orang itu berlalu, Ardi berkata, “Udah panas-panasan, capek, nggak ada duitnya. Mending ngadem di sini.”

Sesekali Sambat Itu Manusiawi

Orang sesekali sambat, itu manusiawi. Orang capek dan mengeluh, itu wajar. Orang mengalami stres, juga sebenarnya bukan masalah. Yang tidak manusiawi, yang tidak wajar, dan yang bermasalah... adalah orang yang lebih tahu cara menghakimi daripada berempati.

Kita mungkin pernah sambat, karena banyak beban pikiran, dan ngomong ke seseorang, “Aku lagi stres banget, nih.” 

Lalu orang itu menyahut, “Gak usah dibikin stres. Ora usah dipikiri.” 

Itu contoh orang yang tidak bisa berempati—responsnya bikin kita patah hati.

Beda dengan orang yang punya empati atau bisa berempati. Ketika mendengar seseorang sambat sedang stres, dia menanggapi dengan baik, “Stres kenapa? Ayo cerita, siapa tahu aku bisa membantu.” Responsnya baik, dan membuat kita merasa tidak sendirian.

Fakta menyedihkan tentang kebanyakan orang adalah; mereka tidak tahu cara berempati, tapi sangat tahu cara menghakimi. Mereka tidak punya kemampuan mendengarkan, tapi sok pintar tentang hidup orang lain, lalu sok mengatur-atur kehidupan orang lain.

Ciri khas orang yang tidak punya empati tapi mudah menghakimi adalah; mereka menjadikan diri sendiri sebagai ukuran untuk menilai semua orang. Padahal setiap orang berbeda, menjalani kehidupan berbeda, menghadapi masalah berbeda, dan punya pola pikir berbeda.

Menurutku, cara mudah jadi orang baik adalah: Jika kita tidak bisa mengatakan hal-hal baik, sebaiknya diam saja. Jika tidak bisa meringankan bebannya, setidaknya jangan menambahi masalahnya.

Setiap orang menghadapi masalah, tantangan hidup, beban pikiran, dan aneka hal dalam hidupnya sendiri-sendiri, yang tidak kita tahu. Jika kita memang tidak tahu, sebaiknya tidak sok tahu.  

Bisa Merasakan Sakit Itu Penting

Tubuh kita akan menimbulkan rasa sakit, setiap kali bermasalah. Baik masalah yang ada di luar tubuh (dapat kita lihat/raba), atau pun masalah yang terjadi di dalam tubuh (terkait organ dalam, yang tidak bisa kita lihat). Rasa sakit adalah alarm yang memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Saat lutut kita tanpa sengaja terbentur kaki meja, misalnya, kita pasti akan merasa sakit. Dan itu wajar, normal, bahkan patut kita syukuri, karena artinya syaraf-syaraf di tubuh kita masih sehat, hingga bisa mengantarkan “pesan penting” ke otak, dan kita bisa merasakan sakit. 

Karena merasa sakit, kita pun memeriksa lutut kita, untuk memastikan kondisinya. Jika memang ada luka, kita bisa memberinya obat merah atau pertolongan lain. Adanya rasa sakit, dan kemampuan merasakan sakit, adalah tanda penting bahwa kita sehat.

Begitu pula saat terjadi masalah pada organ dalam tubuh kita. Sewaktu-waktu, bisa jadi, kita merasakan perut sangat perih, atau dada terasa terbakar. Kita memeriksa bagian luar perut atau dada, dan kondisinya baik-baik saja. Dan kita pun menyadari ada organ dalam kita yang mungkin mengalami masalah. Karena kesadaran itu pula, kita pun pergi ke dokter untuk memeriksakan diri.

Bisa merasakan sakit itu penting, karena rasa sakit adalah alarm yang memberi tahu agar kita waspada. 

Yang berbahaya adalah jika terjadi ketidakberesan pada tubuh kita, tapi kita tidak merasakan sakit apa pun, hingga kita menganggapnya biasa saja, sekaligus pede dan meyakini bahwa kita sehat. Padahal, sesuatu yang berbahaya bisa saja sedang terjadi. 

Tanggal Merah Asu

Seorang bocah berkata dengan jengkel, “Tanggal merah asu!”

Saya tanya, “Kenapa, kok kayaknya kecewa banget?”

“Duitku mestinya cair hari ini,” jawabnya. “Tapi gara-gara tanggal merah, apalagi tiga hari berturut-turut, pencairannya ditunda. Padahal aku butuh banget buat makan! Tanggal merah asu!”

Kata Angin

Apa yang dikatakan angin, ketika bunga terlepas dari ranting?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Juli 2012.

Kuman dan Gajah

Kuman bertanya pada gajah, "Apakah kau melihatku?" | Gajah menjawab, "Ya, tapi aku pura-pura tak tahu." | Dan mataku tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2012.

Pungguk

Bulan di langit tampak makin menggemaskan. Tapi sayang, aku bukan pungguk yang merindukan.

Sebenarnya makhluk apa sih "pungguk" itu? Dan kenapa dia harus merindukan bulan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2012.

Menemukan Diri

Menemukan diri sendiri, saat ini, kedengarannya kok lucu sekali. Apalagi mencari diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Juli 2012.

Some People

Some people... ah, sudahlah! Ngapain juga aku niru-niru orang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Juli 2012.

Semoga

Semoga Tuhan mendengarkan jeritan yang teredam, doa-doa tak terucapkan. Dan membalasnya dengan kebaikan tak terbayangkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2012.

Khusus

Oh... khusus.

Senin, 01 Juli 2024

Wanita Tidak Suka Pria Baik

[Karena ini cuma catatan singkat, kalian bisa menambahkan detail-detailnya sendiri—kalau mau.]

Pria baik punya tujuan hidup, cita-cita, atau apapun sebutannya, dan dia fokus pada impian itu. Karenanya, pria baik tidak mengejar-ngejar wanita. Kalau kemudian dia tertarik pada wanita, dia mendekati dengan baik. Jika respons si wanita negatif, pria baik akan tahu diri, dan pergi.

Pria brengsek sebaliknya. Mereka tidak punya tujuan hidup, sehingga punya banyak waktu selo untuk mengejar-ngejar wanita. Ketika pria brengsek mendekati wanita, dia akan mewujudkan diri seperti yang diinginkan wanita, dan itulah kenapa banyak wanita jatuh ke pria brengsek.

Jika pria tidak punya tujuan hidup, ia akan fokus pada wanita. Ini “fakta klasik” yang telah terjadi sejak zaman dahulu kala, tapi tidak juga dipahami rata-rata wanita. Alasannya krusial; karena rata-rata wanita menginginkan sosok pria yang tepat seperti yang diwujudkan pria brengsek!

Wanita ingin dinomorsatukan, dan hanya pria brengsek—yang tidak punya tujuan hidup, hingga punya banyak waktu—yang bisa memberikan hal itu. Pria baik tidak menomorsatukan wanita, mereka menomorsatukan tujuan hidupnya! Manakah yang akan dipilih wanita? Jawabannya jelas; pria brengsek.

Wanita ingin ditelepon setiap saat, dikirimi chat setiap waktu, ditemui kapan pun, dan hal-tidak-penting-lain yang sering kali sulit dilakukan pria baik. Karena pria baik tidak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Sebaliknya, pria brengsek bisa melakukannya, karena mereka punya banyak waktu luang.

Jika ada pria baik yang bisa mewujudkan dirinya seperti yang diinginkan wanita—dari melakukan hal-hal tidak penting sampai menomorsatukan wanita—kemungkinan besar dia pria kaya-raya yang memang tidak perlu lagi pusing mikir kerja dan banting tulang demi cita-cita hidup.

Kita mengakui ada pria-pria semacam itu, yang baik dan kaya-raya sehingga tidak perlu kerja keras, dan punya banyak waktu selo. Tapi akui sajalah, berapa banyak pria yang seperti itu? Rata-rata pria dihadapkan pada dua pilihan penting; memilih wanita, atau mengejar tujuan hidup!

Kalau kamu wanita, dan pria yang pacaran denganmu bisa terus memberikan banyak waktu dari sekadar say hello, chat romantis tiap malam, antar jemput kemana pun dan dimana pun, dan “sempurna”, seharusnya kamu perlu curiga, “Kok dia bisa meluangkan banyak waktunya untukku?”

Pria baik—yang fokus pada tujuan hidupnya—tidak menomorsatukan wanita. Tapi pria brengsek yang tidak punya tujuan hidup—hingga punya banyak waktu selo—mampu menomorsatukan wanita. Manakah yang dipilih rata-rata wanita? Ya, pria brengsek! Dan itulah masalahnya!


Footnote: 

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, catatan singkat ini hanya dalam konteks hubungan pra-pernikahan, semisal pacaran. Kalau sudah masuk pernikahan, kamu akan tahu sendiri seperti apa pasanganmu—tidak perlu orang lain yang menjelaskan.

Ngunduh Mbakyu

Orang Jawa kalau menikahkan anak, disebut "ngunduh mantu". Kelak, kalau aku menikah, orang tuaku bukan "ngunduh mantu", tapi "ngunduh mbakyu". Apppeeeeuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2022.

Pasangan yang Realistis

Pria yang diinginkan wanita realistis dalam arti sesungguhnya—yang mungkin bisa disepakati semua orang—mungkin tidak harus kaya-raya dan secakep bintang Korea, tapi yang bertanggung jawab dan rajin bekerja, yang tidak "mengajak hidup susah". Emang siapa yang tertarik hidup susah?

Sebagai pria, aku juga begitu, kok. Aku tidak mengimpikan wanita secantik artis, misalnya, juga tidak harus punya pasangan yang sangat cerdas. Tapi cukup wanita dewasa yang punya aura mbakyu. Itu "realistis" menurutku. Kalau menurutmu beda, ya tidak apa-apa.

Di mataku, dan ini tentu subjektif, wanita baru memancarkan aura mbakyu (maksudnya kedewasaan yang menenteramkan) di kisaran usia 25 sampai 30 ke atas. Makanya aku jarang tertarik (secara bocah) pada wanita yang usianya masih di bawah itu. Wanita dewasa itu indah, menurutku.

Ya meski ada pula wanita yang masih remaja tapi sudah memancarkan kedewasaan, dan ada pula wanita dewasa yang masih kekanak-kanakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2022.

Keyakinan Tanpa Keraguan

Keraguan memang tidak perlu diajarkan sebagaimana keyakinan. Tetapi keyakinan tanpa keraguan adalah sebentuk kenaifan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Juli 2012.

Pacaran Udah Out of Date

Sekian tahun lalu, aku sudah ngomong ini. Bahwa "pacaran" itu udah out of date. Sekarang adalah jamannya "mbakyuan". Apppeu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Desember 2022.

Wajah di Genangan Air

Ada saat hidup seperti menatap bayangan wajah di genangan air.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Juli 2012.

Kurang Lebih

Tak ada yang bisa mengurangi kekurangan atau melebihi kelebihan. Ya, kurang lebih seperti itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Agustus 2012.

Hidup

Hidup adalah caraku menjalaninya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Juli 2012.

Baru Kemarin

Baru kemarin hari ini, sekarang sudah hari ini lagi.

 
;