Tiap kali terjadi kenaikan harga rokok—yang dipicu kenaikan cukai—pasar rokok biasanya akan melahirkan aneka rokok baru dengan nama-nama aneh. Aneka rokok baru dengan nama-nama aneh itu umumnya memiliki harga relatif murah, sebagian bahkan 50 persen dari harga rokok umumnya. Rokok-rokok dengan nama aneh dan berharga murah itu tentu menyasar konsumen yang keberatan dengan naiknya harga rokok “umum”.
Rokok umum yang saya maksud adalah rokok yang nama atau mereknya sudah biasa kita kenal dan mudah kita dapati di mana-mana. Seperti Djarum, Gudang Garam, Dji Sam Soe, Marlboro, dan semacamnya. Rokok umum semacam itu rata-rata berharga mahal, karena cukainya saja sudah mahal. Saya tidak tahu harga semua rokok umum yang ada di pasaran, tapi Dji Sam Soe kretek isi 12 harganya Rp20.000-an, sementara Marboro Black isi 12 harganya Rp25.000-an.
Harga segitu relatif mahal untuk sebagian orang. Dan harga rokok beda dengan harga saham. Maksud saya, sekali harga rokok naik, sampai kita punya cucu juga harganya tidak akan pernah turun! Yang ada, harga itu akan naik dan terus naik. Akibatnya, harga rokok akan semakin mahal dan terus mahal.
Secara rata-rata, harga rokok naik tiap tahun. Karena tiap tahun sepertinya selalu ada kenaikan cukai. Kalaupun tidak ada kenaikan cukai, ya inflasi. Ayah teman saya pernah cerita bahwa dulu, zaman dia masih muda, sebungkus Dji Sam Soe hanya seharga Rp600. Enam ratus rupiah! Sekarang, seperti yang saya bilang tadi, harga sebungkus Dji Sam Soe mencapai Rp20.000-an. [Kedengarannya seperti investasi emas.]
Gara-gara harga rokok yang terus naik tiap tahun, dan sebagian kalangan tidak mampu mengimbangi kenaikan harga tersebut, banyak dari mereka yang kemudian beralih ke rokok lain yang harganya lebih murah. Tren ini bisa dibilang selalu terjadi setiap kali musim kenaikan harga rokok. Seperti sekarang.
Sekarang, kemungkinan besar kita pernah mendapati teman atau tetangga yang membawa rokok dengan nama/merek aneh. Di kalangan teman-teman saya sendiri—yang sama-sama perokok—tren ini juga terjadi. Sejauh ini, saya telah mengenal beberapa nama atau merek rokok baru, yang masih asing bagi saya. Misalnya Dio dan Bagas—itu merek rokok, bukan nama orang.
Dio maupun Bagas adalah rokok kretek. Dio memiliki bungkus berwarna hijau tua, sementara bungkus rokok Bagas berwarna cokelat muda. Harganya relatif murah, sekitar Rp10.000. Soal rasanya bagaimana, saya tidak tahu.
Selain Dio dan Bagas, ada rokok lain, namanya ON. Bungkusnya berwarna kuning cerah, dan rasanya tidak seperti rokok, tapi seperti teh! Makanya di bungkusnya terdapat tulisan “Teh Jasmine”. Saya pernah nyoba rokok ini, pas ada teman yang membawa, dan rasanya unik. Karena, seperti yang saya sebut tadi, rasanya seperti teh. Harganya juga relatif murah.
Selain Dio, Bagas, dan ON, ada pula rokok-rokok dengan nama aneh lain, dari Rider, Jumbo, Dji Mat, Djeruk, Cello, Jazy, L-300, Ares, Dalill, Jago, Loossddd, Esseh, dan lain-lain. Dari semua rokok dengan nama aneh yang saya sebut—dan yang lain di pasaran—saya baru mencoba ON yang rasanya kayak teh tadi. Jadi jangan tanya saya bagaimana rasanya rokok-rokok itu, ya.
Harga rokok yang terus naik tiap tahun tentu saja masalah, khususnya bagi para perokok. Padahal rokok, bagi rata-rata orang, adalah hiburan yang [mestinya] murah meriah. Para perokok, setidaknya yang saya kenal, merokok bukan untuk gagah-gagahan atau biar kelihatan keren, tapi sekadar untuk menikmati refresing.
Mau nonton film di bioskop? Mahal. Mau nonton konser musik? Mahal. Mau ngopi dan nongkrong di kafe? Mahal. Dalam hal itu, rokok menjadi solusi bagi mereka. Cukup duduk santai, menikmati teh hangat atau kopi saset di rumah, lalu mengisap rokok. Atau nyangkruk bersama teman sambil menikmati rokok. Refresing yang mudah dan mestinya juga murah.
Tapi cukai sialan selalu naik, dan harga rokok ikut naik. Bahkan sekadar ingin menikmati refresing yang murah meriah pun rasanya makin sulit di negara ini.