Selasa, 10 September 2024

Memilih Diam

Omong-omong soal Piala Dunia, FIFA World Cup, atau apa pun sebutannya...

(Sebagian orang kena serangan jantung karena intro ini).

Sambil nunggu udud habis.

“Ini lagi musim Piala Dunia, dan orang-orang ramai membicarakannya. Kenapa kamu sama sekali tidak membicarakan sepak bola?” 

Sederhana saja, aku tidak tahu. Maksudku, aku menyadari tidak tahu apa-apa soal sepak bola, jadi aku memilih diam dan tidak ikut membicarakannya.

Kamu berpikir aku tahu segala hal, dan akan membicarakan apa pun yang sedang viral atau sedang ramai dibicarakan orang? No! 

Aku hanya membicarakan hal-hal yang aku tahu, yang kupahami, dan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak membicarakan apa pun yang aku tidak tahu.

Seperti Piala Dunia sekarang, misalnya. Aku tidak tahu soal sepak bola, dan sejujurnya juga tidak tertarik. Atau kasus keributan yang tempo hari terjadi di Stadion Kanjuruhan, terkait dugaan kekerasan pada suporter sepakbola. Aku memilih diam, karena memang tidak tahu.

Terkait kasus di Kanjuruhan, yang jadi inti persoalan mungkin dugaan kekerasan yang dilakukan polisi. Tapi kasus itu terkait dunia sepak bola. Dan karena aku tidak tahu apa-apa soal sepak bola, aku pun sadar diri untuk diam, karena tidak punya kapasitas untuk ikut membicarakan.

Selain sepak bola, ada banyak hal lain yang aku tidak tahu, dan sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak ikut membicarakannya, meski sedang viral atau sedang ramai dibicarakan orang. Karena sok tahu membicarakan sesuatu yang kita tidak tahu, biasanya lebih banyak mudaratnya.

Setiap kali ingin bertingkah sok tahu membicarakan sesuatu yang aku tidak tahu, aku teringat kalimat Al-Ghazali, “Jika orang bodoh mau diam, perselisihan antarmanusia tidak akan terjadi.” 

Aku tidak pintar dalam semua hal, dan aku memilih diam pada hal-hal yang aku tidak tahu.

Kalau kamu menganggapku bodoh hanya karena tidak tahu sepak bola, ya tidak apa-apa. Itu tidak akan menggangguku, dan bodo amat! 

Dunia tidak akan kiamat hanya karena aku tidak tahu sepak bola, dan tidak ada pihak mana pun yang dirugikan hanya karena aku tidak tahu sepak bola.

Yusuf al-Mizzi (Al-Hafizh Abu al-Hajjaj Jamaluddin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi), menulis dalam kitab Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ ar-Rijal, “Jika orang yang tidak tahu mau diam, niscaya dia dapat tidur dengan tenang, kesalahannya akan sedikit, dan tidak merepotkan orang lain.”

Aku ingin menjadi orang seperti itu. Tidak membicarakan hal-hal yang aku tidak tahu, sebisa mungkin tidak berurusan dengan orang-orang bodoh tapi sok tahu—untuk meminimalkan masalah dan kesalahpahaman—dan sebisa mungkin menjalani hidup sendirian dengan tenang dan tenteram.

Kalimat Al-Ghazali, yang kukutip di tweet tadi, diambil dari kitab Faishalut Tafriqah bainal Islâm wal Zindiqah. Selengkapnya, “Karena orang-orang bodohlah terjadi banyak masalah di antara manusia. Jika orang bodoh mau diam, perselisihan antarmanusia tidak akan terjadi.”

Sementara Yusuf al-Mizzi adalah ulama sunni dari Syam, yang disebut sebagai “gurunya para ahli hadist”. 

Kitab Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ ar-Rijal terdiri dari 4 jilid, dan kalimat al-Mizzi yang kukutip di tweet tadi berasal dari jilid 4 (siapa tahu ada yang mau ngecek).


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 2 Desember 2022.

Menelantarkan Anak Sampai Keblangsak

Di Florida, AS, ada aturan khusus mengenai tanggung jawab orang tua kepada anak. Aturan khusus itu dibuat untuk menjaga hak-hak anak benar-benar terpenuhi. Dengan kata lain, aturan itu ingin mengatakan, “Kalau kamu tidak bisa menjaga, mendidik, dan membesarkan anak secara baik, jangan punya anak!”

Sebegitu ketat aturan itu, hingga orang di sana sangat berhati-hati dalam membesarkan anak. Artikel lama di Fox News bahkan pernah memberitakan pasangan suami istri yang ditangkap dan disidang di pengadilan dan dihukum, akibat perkara “sepele” terkait anak.

Ceritanya, seorang anak usia SD pulang sekolah, namun kebetulan orang tuanya waktu itu sedang pergi. Si anak pun tidak bisa masuk rumah. Ia lalu mengambil bola basket di depan rumah, dan memainkannya sendirian, sambil menunggu kedua orang tuanya pulang.

Kebetulan, waktu itu, seorang tetangga melihat anak tersebut, dan menghubungi polisi. Saat orang tua si anak akhirnya pulang, petugas kepolisian sudah menunggu mereka di depan rumah, dan suami istri itu ditangkap dengan tuduhan “menelantarkan anak selama 90 menit”.

Orang tua si anak mengaku tidak dapat pulang cepat, karena terjebak macet dan cuaca buruk. Tapi aturan tetap aturan, dan mereka masuk penjara. Sementara anak mereka dijaga otoritas setempat, sampai proses hukumnya selesai. Sambil nunggu sidang, mereka harus ikut kursus “menjadi orang tua yang baik”.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, peristiwa itu mungkin terkesan lebay. Karena di sini, boro-boro “menelantarkan sampai 90 menit”, wong menelantarkan sampai bertahun-tahun saja dianggap biasa. Karena setiap anak punya rezeki sendiri-sendiri, katanya. 

Yo mbuh kabeh, wong do keblangsak.

Tak Ada yang Pasti

Terlalu banyak yang akan kita lakukan besok, hingga kita tak tahu apa yang harus dilakukan hari ini.

Terlalu banyak yang kita pikirkan hari ini, hingga kadang lupa besok masih ada hari.

Tak ada yang pasti dalam hidup. Pun besok hari.
   
 
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2014.  

Mizan yang Seimbang

Tak ada yang melebihi kelebihan, sebagaimana tak ada yang mengurangi kekurangan. Alam adalah mizan yang seimbang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Juni 2014.  

Melihat Semut

Melihat semut dengan kaca pembesar tidak mengubah semut menjadi gajah. Melihat gajah dari kejauhan juga tidak mengubahnya menjadi semut.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Juni 2014.  

Hening

Tidak pernah ada kesepakatan dalam perdebatan, karena debat memang bukan sarana untuk bersepakat.

Debat adalah cara segelintir orang untuk berkata pada dunia, "Aku hebat!" Meski kenyataannya kadang tidak begitu.

Yang membuat debat sering kali tidak sehat, karena orang lebih memuja dirinya daripada kebenaran yang jelas ada di depan mata.

Ada yang jauh lebih baik daripada berdebat. Yaitu bekerja tanpa berteriak, dan kejujuran mengakui kebenaran yang jelas terlihat.

Anak-anak bising berdebat. Orang bijak hening bermunajat.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Juni 2014.  

Sama

Orang-orang tua yang mengais-ngais kuasanya yang hilang, sama menyedihkannya dengan anak-anak muda yang ditikung kebebalan.

Orang-orang tua yang gila kuasa, sama sakitnya dengan anak-anak muda yang kecanduan narkotika.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Juni 2014.  

Tidak Mau

Aku tidak mau tersenyum karena menjadi raja sehari, lalu menangis karena menjadi budak sampai mati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Juni 2014.  

Memikirkan

Orang besar memikirkan jalan hidup, orang kecil meributkan malam Minggu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2014.  

Mendahulukan

Para politisi dan pejabat-pejabat itu sama sekali tidak penting. Kitalah yang membuat mereka seolah-olah penting.

Bagiku, para penyapu jalan jauh lebih penting daripada pejabat-pejabat sok penting yang suka seenaknya menyita jalan.

Jika tukang sapu dan pejabat mengundangku ke rumahnya, aku akan mendahulukan si tukang sapu.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Mei 2014.  

Mau Pecah

Kepalaku rasanya mau pecah!

   
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Mei 2014.  

Salak Tua Salak Muda, Apa Bedanya?

Ya itu bedanya, masih tanya!

Minggu, 01 September 2024

Urip Isine Mung Ngapusi

Dulu, akibat doktrinasi, aku berkeyakinan seperti kebanyakan orang bahwa kita perlu berbakti pada orang tua karena telah "diberi hidup".

Belakangan aku menyadari, "diberi hidup" itu bukan karunia, tapi beban. Orang tua mestinya meringankan beban itu secara bertanggung jawab.

Sedari kecil, kita dididik (didoktrinasi) secara terbalik. Orang tua yang ingin punya anak, tapi kita didoktrinasi bahwa kitalah yang ingin dilahirkan. Orang tua yang seharusnya bertanggung jawab pada anak, tapi justru kita yang didoktrinasi agar berbakti pada mereka. Absurd!

Dan karena kuatnya doktrinasi itu, bahkan sampai dewasa pun jutaan—oh, well, miliaran—orang tetap tidak/belum memahami bahwa mereka sebenarnya telah dijebak dalam lingkaran setan pemikiran yang sangat absurd. Itu seperti menjejak bayang-bayang, tapi meyakini bahwa itu kenyataan.

Dan jika doktrinasi itu dipikirkan secara mendalam serta dirunut hingga ke akar-akarnya, kita akan sampai pada simpulan mengerikan: Evolusi!

Itu mengerikan, setidaknya bagiku. Agama, konon, menentang teori evolusi. Tapi ajaran mereka justru mendukung habis-habisan teori evolusi.

"Kawin akan melancarkan rezeki," kata doktrinasi, "setiap anak memiliki rezeki sendiri."

Dalam perspektif biologi, Homo sapiens yang khawatir atas keberlangsungan hidup keturunannya, akan cenderung memiliki anak sebanyak-banyaknya.

Itu sungguh menggelikan sekaligus mengerikan!

Pada akhirnya, seperti kata Freud, semua ini cuma soal selangkangan. Tapi Homo sapiens adalah makhluk yang mampu berpikir. Jadi, agar urusan selangkangan itu tampak lebih "beradab", mereka pun membuat setumpuk ocehan dan doktrinasi agar seolah-olah pelakunya jadi tampak hebat.

Kawin adalah tuntutan evolusi. Dan doktrinasi mendramatisasi bahkan mengglorifikasi perkawinan, sambil gembar-gembor menolak teori evolusi. Lha piye iki?

Sering kali, sambil udud, aku berpikir bahwa urip iki isine mung ngapusi. Tapi manusia senang—dan selalu senang—diapusi.


‏*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 April 2019.

Yang Pasti-pasti Aja

Makin bertambah usia, biasanya orang semakin menghargai waktu. Karena itu, biasanya pula, teman kita makin sedikit seiring usia bertambah. Karena sama-sama sudah sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan sendiri-sendiri, dan makin sedikit punya waktu luang.

Makin dewasa, urusan makin bertambah, kesibukan makin bertambah, tanggung jawab makin bertambah, tapi waktu tak pernah bertambah. Dari dulu sampai sekarang, jatah waktu harian kita mentok 24 jam. Dan kian hari, jatah waktu hidup kita kian berkurang.

Ada teman-temanku yang dulu biasa mabok semalaman, dan bisa diajak nyangkruk kapan saja. Tapi kini, setelah punya istri dan anak-anak, mereka berubah. Selain waktu habis untuk bekerja, “Sekarang, kalau punya waktu luang, mending dihabiskan bersama keluarga.” 

Ada lagi teman yang dulu suka mencoba-coba bisnis, hingga uang dan waktu sama-sama habis, tapi sekarang lebih hati-hati. Kalau diajak mencoba berbisnis, sekarang, dia mengatakan, “Yang pasti-pasti aja, lah.” Karena waktu kami memang tak sebanyak dulu.

Saat masih belia, kita memiliki semua waktu yang kita inginkan, yang bisa kita habiskan, yang bisa kita sia-siakan. Masa itu sudah berlalu. Kita makin menghargai waktu—untuk bersama keluarga (bagi yang sudah menikah), atau untuk mengerjakan hal-hal penting.

Aku memaklumi teman-temanku yang makin sulit meluangkan waktu, karena kini telah memiliki keluarga. Wong aku yang masih lajang saja sudah sangat kesulitan meluangkan waktu. Kadang aku sampai berpikir, aku sedang berkejaran dengan usiaku sendiri.  

Seperti yang lain, aku kini juga berpikir, “Kalau punya waktu luang, mending dihabiskan untuk hal-hal penting.” Dan kalau diajak melakukan sesuatu yang tidak jelas, aku juga mikir, “Yang pasti-pasti aja, lah.” Karena sudah tak ada lagi waktu untuk disia-siakan.

Hal Biasa dan Manusiawi

Kalau ada teman yang minta diantar/ditemani saat ingin periksa ke dokter (atau semacamnya) karena butuh periksa sesuatu, sebaiknya temani saja—tak perlu tanya macam-macam, apalagi menertawakan. Orang kadang butuh menguatkan diri, dan kehadiran kita bisa membantunya.

Tidak semua orang menikmati kesendirian, pun tidak semua orang memiliki kepercayaan diri yang cukup. Di waktu-waktu tertentu, mereka benar-benar butuh ditemani saat ingin melakukan sesuatu. Kehadiran orang yang mereka kenal akan sangat membantu, meski sekadar ada.

Kenyataannya, kita semua memiliki kelebihan dan kekurangan, dan kita butuh orang lain untuk mengisi kekurangan yang kita miliki. Aku berani masuk ke tempat menyeramkan, sendirian, misalnya, tapi aku justru butuh teman saat mau datang ke acara semisal resepsi perkawinan.

Teman kita mungkin biasa keluyuran sendirian ke luar negeri, mendatangi tempat-tempat paling jauh tanpa seorang pun teman. Tetapi, ketika akan ke dokter yang lokasinya paling beberapa ratus meter dari tempat tinggalnya, dia butuh teman yang menemani. Itu hal biasa, dan manusiawi.

Bahkan, dalam hal-hal tertentu, tingkat manusiawi itu kadang “tak masuk akal”. Misalnya, kita mau menyapa seseorang, tapi tak berani. Meski mungkin terdengar konyol, itu pun sebenarnya manusiawi. Karena nyatanya tidak semua orang punya kepercayaan diri yang tinggi.

Jadi, kalau sewaktu-waktu kita ingin menyapa orang lain tapi tak berani, tak perlu merasa bersalah. Karena yang salah adalah orang yang tak berani menyapa orang lain, tapi justru menyalahkan orang yang membuatnya tak berani menyapa. 
 
Ada banyak orang, misalnya, yang ingin kusapa, tapi aku tidak berani melakukannya, karena khawatir kalau membuat mereka terganggu atau tidak nyaman. Dalam hal itu, aku sadar mereka sama sekali tidak bersalah, wong mereka bahkan belum tentu tahu atau mengenalku. 

Menyembuhkan Luka

Kita hidup dengan menyembunyikan ketakutan, dan menyembuhkan luka.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2014.  

Itulah Cinta

Angin menyerbuki bunga tanpa membuatnya layu. Kupu-kupu menari di antara bunga tanpa membuat mereka terluka. Itulah cinta.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Mei 2014.  

Hati

Hati mungkin seperti puisi. Hanya karena satu kata, semuanya berubah makna.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2014.  

Cara Kerja Demokrasi*

Ribut-ribut soal Omnibus Law Cipta Kerja, sebenarnya, menurutku, intinya sederhana. Yakni karena hilangnya, atau menipisnya, kepercayaan rakyat pada pemerintah. Rakyat sudah hilang kepercayaan pada pemerintah, jadi apa pun yang sensitif akan langsung ditentang.

Omnibus Law adalah salah satu hal yang sensitif, karena menyangkut jutaan nasib buruh di Indonesia. Mungkin maksud pemerintah baik—oh, well, tentu saja “maksud kami baik”—tapi karena rakyat sudah telanjur hilang kepercayaan, mereka tak mau lagi mendengar penjelasan apa pun.

Diakui atau tidak, kenyataan itulah yang sebenarnya terjadi. Karenanya, perdebatan soal “apakah kamu sudah membaca 900 halaman UU Omnibus Law?” sebenarnya tak relevan, karena inti masalahnya bukan itu. Inti masalahnya adalah mayoritas rakyat sudah hilang kepercayaan.

Dan bukankah begitu cara kerja demokrasi? Demokrasi memilih—atau tidak memilih—seseorang, karena kepercayaan. Rocky Gerung mengatakannya dengan ringkas, “Karena di dalam politik, (yang penting) bukan soal truth, tapi soal trust.” Ketika “trust” hilang, lainnya hilang.

Rakyat dulu memilih Jokowi, tentu bukan karena Jokowi benar—wong saat itu dia belum jadi presiden. Rakyat memilihnya, karena percaya. Karena begitulah cara kerja demokrasi. Dan ketika kepercayaan itu dilukai, rakyat punya hak untuk kecewa, dan menyatakan kekecewaannya.

Sekarang, kalaupun UU Omnibus Law salah, ia tidak mungkin salah total, pasti ada bagian yang juga baik, khususnya bagi buruh/pekerja. Tapi karena tingkat kepercayaan kita pada pembuatnya sudah menipis, bahkan nyaris hilang, kita tak mau lagi mendengar penjelasan. 

Ironis, dan patut disayangkan, bagaimana seorang pria yang (tampak) sederhana dan bisa dipercaya karena berpenampilan merakyat, hingga dipercaya jutaan rakyat, ternyata juga menjadi orang sama yang melukai kepercayaan rakyat.

_____________________

*Catatan ini dulu saya tulis ketika terjadi keributan terkait Omnibus Law Cipta Kerja, tapi kemudian terlupa dan terselip di tumpukan arsip komputer. Saat menemukan catatan ini, saya terpikir untuk menyimpannya di blog, daripada saya hapus begitu saja. 

Dan Malam

Dan malam menjebak kegelapan, gelepar teriak di antara jerat laba-laba.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Mei 2014.  

Menyelesaikan Tugas

Kupikir, tugas hidup hanya satu: Menyelesaikan tugas yang belum selesai.

 
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2014.  

Sulitnya

Sulitnya berurusan dengan orang tidak tahu adalah karena mereka sering kali tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, tapi tak mau mencari tahu.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Mei 2014.  

Nangka Tua Nangka Muda, Apa Bedanya?

Ya itu bedanya, masih tanya!

 
;