Minggu, 20 Oktober 2024

Sejarah Tahlilan

Kalau ada yang mengatakan bahwa tahlilan itu tradisi, ya tidak salah. Karena nyatanya memang tradisi, kok. Tahlilan adalah kreasi Walisongo—khususnya Sunan Kalijaga—yang menyebarkan ajaran Islam melalui akulturasi, dalam hal ini kultur masyarakat Jawa.

Jauh sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa, masyarakat punya adat/tradisi menemani keluarga yang baru ditinggal mati anggota keluarganya. Mereka menyadari bahwa ditinggal mati anggota keluarga itu kesedihan yang berat, jadi mereka menemani sebagai bentuk simpati.

Sampai tujuh hari mereka menemani keluarga yang bersedih; menghibur, membantu apa pun yang bisa dibantu, intinya meringankan beban keluarga yang baru ditinggal mati anak atau orang tuanya. Itu tradisi yang mencerminkan keluhuran kemanusiaan, khususnya di zaman itu.

Lalu Islam masuk ke Tanah Jawa, dibawa oleh Walisongo. Kita tahu, Walisongo menyebarkan Islam dengan cara akulturasi; membiarkan tradisi yang sudah ada, dan memasukkan ajaran Islam ke dalamnya. Tahlilan adalah salah satunya, yang terus ada hingga ke masa kini.

Sebelum Islam masuk, orang-orang Jawa menemani keluarga yang berduka selama tujuh hari. Walisongo membiarkan hal itu, sekaligus memasukkan ajaran Islam ke dalam tradisi tersebut, dengan cara memasukkan kalimat thayibah, dari tahlil sampai pembacaan Yaasin.

Jadi, apakah tahlilan itu tradisi? Ya, karena akarnya memang tradisi. Apakah tahlilan itu ajaran agama? Juga ya, karena di dalamnya ada ajaran agama. Seperti kata Gus Baha, “Orang yang 80 tahun kafir, lalu mengucap ‘Laa ilaaha illallah’ maka ia menjadi mukmin.”

Lalu mengapa Muhammadiyah tidak setuju dengan tahlilan? Sebenarnya, kalau mau blak-blakan, pihak pertama yang tidak setuju dengan tahlilan bukan Muhammadiyah, tapi anggota Walisongo sendiri. Sunan Ampel, misalnya, tidak setuju dengan ide akulturasi Sunan Kalijaga.

Tetapi, singkat cerita—karena uraiannya bisa panjang sekali—musyawarah para wali waktu itu akhirnya menyepakati ide Sunan Kalijaga untuk melakukan akulturasi dalam penyebaran Islam di Jawa. Namun, bagaimana pun, friksi tak bisa dihindari, karena perbedaan pemikiran.

Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Giri, adalah tipe orang-orang yang “sangat lurus”. Mereka ingin ajaran Islam disebarkan dengan cara Islam, bukan lewat akulturasi. Mereka mungkin semacam KH. Ahmad Dahlan, yang belakangan mendirikan Muhammadiyah.

Sebaliknya, Sunan Kalijaga dan sunan-sunan yang lain, tipe orang moderat, yang lentur menghadapi kenyataan di lapangan. Mereka ingin masyarakat menerima sesuatu yang mereka bawa (ajaran Islam), tapi tidak ingin memaksa. Akulturasi adalah jalan tengah.

Berdasarkan mozaik singkat ini, kita pun memahami kenapa di Indonesia ada dua organisasi besar Islam (NU dan Muhammadiyah) yang berbeda dalam hal-hal tertentu, salah satunya terkait tahlilan. Akar sejarahnya merentang ke setengah milenium yang lalu.

Sampai di sini, kalian mungkin bertanya-tanya, “Lalu apa hubungan semua ini dengan pembantaian enam ribu ulama oleh Amangkurat I?” Itu adalah jejak berdarah yang memberi pelajaran keras pada semua pihak bahwa memaksakan suatu pemikiran bisa berdampak mengerikan.

Karenanya, sikap ulama NU maupun Muhammadiyah sekarang sebenarnya sudah tepat; mau tahlilan ya monggo, tidak tahlilan yo ora opo-opo. Karena esensinya adalah “anak salih yang mendoakan orang tua”. Cara yang digunakan bisa berbeda, dan itu tidak apa-apa. 

 
;