Masuk Twitter, dan yang kudapati di timeline adalah ribut-ribut soal tahlilan. Ajib bener Twitter ini.
Omong-omong soal tahlilan...
Sambil nunggu udud habis.
Idealnya memang seperti ini. Tahlilan jangan sampai memberatkan pihak yang berduka karena baru ditinggal mati anggota keluarganya. Kalau yang ada cuma teh anget, misalnya, yo wis teh anget saja.
Ketua PBNU menegaskan bahwa tahlilan bisa tetap dijalankan cukup dengan sajian air putih dan kue seadanya. http://dlvr.it/SfjK3Z
Sayangnya, sesuatu yang ideal sering kali sulit dilakukan atau diwujudkan. Ketika sebuah keluarga—khususnya di lingkungan NU—berduka cita karena kematian anak, orang tua, atau lainnya, mereka seperti dituntut untuk mengadakan tahlilan dengan jamuan yang “pantas”.
Yang disebut “pantas” itu tentu relatif, dan biasanya berkaitan erat dengan adat setempat. Kalau adat setempat misalnya biasa menyuguhkan jajan, nasi, dan memberikan sekilo beras dan gula-teh untuk peserta tahlilan, rata-rata orang setempat akan menganggap itulah yang “pantas”.
Masalahnya, tidak semua orang punya kemampuan [finansial] yang sama. Sebagian orang mungkin enteng saja menyuguhkan minuman dan aneka jajan, nasi, dan memberikan beras sekilo plus gula dan teh untuk masing-masing peserta tahlilan. Tapi sebagian lain belum tentu mampu seperti itu.
Di titik semacam itulah, masalah kadang terjadi—meski mungkin diam-diam. Ada sebagian orang yang hidupnya susah, lalu ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka sudah pusing memikirkan biaya pemakaman dll, lalu harus mikir pula biaya mengadakan tahlilan sampai berhari-hari.
Gus Fahrur (KH. Ahmad Fahrur Rozi, Ketua PBNU Bidang Keagamaan) menyatakan, “tahlilan bisa tetap dijalankan, cukup dengan sajian air putih dan kue seadanya. Tidak perlu memberatkan shohibul mushibah yang kondisi ekonominya tidak mampu.”
Kita tentu sangat setuju saran itu.
Masalahnya, seperti yang disebut tadi, ada “adat setempat”, dan masyarakat merasa “pekewuh” kalau tidak mematuhi adat setempat. Jadinya, kadang mereka sampai memaksa diri, misal berutang, demi bisa sesuai dengan adat setempat dan dinilai pantas saat mengadakan acara tahlilan.
Hal semacam itulah yang mungkin mendorong mbak ini sampai menulis tweet [yang mungkin terkesan kasar] seperti ini. Sebagai warga NU, sejujurnya aku bisa memahami maksud dan kegelisahan mbak ini.
Petinggi NU harusnya sadar & mau menjelaskan kepada umatnya/jemaahnya* bahwa tradisi seolah mewajibkan perayaan kematian keluarga di hari ke 7--14-40-100 itu ga wajib bahkan ga ada tuntunannya. Dan hanya memberatkan jelata saja. Faktany org miskin di Indonesia ini banyak dr NU —@salima252lagi
Imam Syafii, dalam Kitab Al-Umm jilid 1, menyitir kisah Nabi Muhammad SAW saat seorang sahabat ditinggal mati keluarganya. Nabi berkata, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan (ditinggal mati anggota keluarga).”
Nabi SAW meminta orang-orang menyiapkan makanan untuk keluarga yang sedang berduka, bukan meminta keluarga yang sedang berduka untuk menyiapkan makanan bagi orang-orang lain. Karena ditinggal mati anggota keluarga itu kesedihan luar biasa, dan mereka butuh bantuan serta simpati.
Karenanya, kita setuju dengan saran Gus Fahrur tadi, bahwa kalau memang ingin mengadakan tahlilan, jangan sampai acara itu memberatkan pihak yang sedang berduka.
Dan untuk sampai pada kesadaran semacam itu, masyarakat membutuhkan edukasi dari para ulamanya.
Postscript:
Aku orang NU, dan suka tahlilan, karena acara itu membantuku mengingat serta merenungkan takdir makhluk fana. Jadi tak perlu defensif apalagi ofensif kalau mau menanggapi ocehan ini.
*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 21 Desember 2022.