Mau logout, tapi udud belum habis.
Boleh percaya boleh tidak, urusan “debat tahlilan” sudah dimulai sejak 400 tahun yang lalu. Jadi ribut antara NU dan Muhammadiyah itu bisa dibilang cuma “meneruskan tradisi”. Ya tidak apa-apa, sih. Beda, tapi saling menghormati.
Udud tinggal sedikit.
Pada 1647, Amangkurat I, Raja Kesultanan Mataram Islam, memerintahkan bawahannya untuk membantai 6.000 ulama (dan anggota keluarga mereka) di Alun-Alun Plered Mataram. Alun-alun banjir darah waktu itu, dan, di saat sama, Mataram tak lagi punya ulama.
Mengapa peristiwa tragis dan mengerikan semacam itu bisa terjadi?
Menurut sejarah, pembantaian para ulama itu dilatari dendam Amangkurat I atas kudeta yang dilakukan adiknya sendiri, Raden Mas Alit. Kudeta itu gagal, dan adik Amangkurat I tewas dalam upaya kudeta tersebut.
Masih menurut sejarah, Amangkurat I mencurigai para ulama di Mataram jadi pendukung adiknya yang melakukan kudeta. Karenanya, dia lalu membantai para ulama di alun-alun, beserta seluruh keluarga mereka.
Itu kata sejarah. Tapi sejarah, kita tahu, “ditulis oleh pemenang”.
Fakta yang terjadi tidak sesederhana yang ditulis oleh sejarah. Kita akan memahami kenyataan itu, ketika akhirnya Trunajaya balik melakukan pembalasan dendam kepada Amangkurat I, sekaligus menamatkan riwayat Mataram.
Uraiannya sangat panjang, tapi ududku habis. Sori.
*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 21 Desember 2022.