Minggu, 20 Oktober 2024

Tahlilan dan Dialetika

Kalau ada orang Indonesia meributkan tahlilan, sejujurnya aku tidak heran, karena, bagaimana pun, ada organisasi besar (Muhammadiyah) yang secara terang-terangan tidak melakukan tahlilan. Jadi kalau sewaktu-waktu ada orang yang meributkan tahlilan, ya itu dialektika.

Dalam pengetahuan dan keyakinan, dialektika dibutuhkan, agar kita terus belajar, memperbarui diri, sehingga tidak kedaluwarsa. Tanpa dialektika, pengetahuan kita tidak berkembang, dan bisa jadi kita masih memegang pengetahuan yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman.

Jadi, kalau sewaktu-waktu ada lagi yang meributkan tahlilan atau lainnya, ya hadapi saja sebagai dialektika. Tidak perlu ngamuk. Dialektika itu kan tidak menyerang pribadi, tapi mempertanyakan hal-hal yang kita ketahui atau yakini... dan itu kesempatan memperbarui diri.

Berpijak pada ribut-ribut soal tahlilan, ada sesuatu yang masih membuatku bingung. Muhammadiyah sudah jelas tidak setuju tahlilan, dan mereka menampakkan ketidaksetujuannya terang-terangan, karena punya perspektif sendiri yang berbeda. Dan itu bukan masalah! 

Yang membuatku masih bertanya-tanya, kenapa Muhammadiyah sepertinya “setuju-setuju saja” dengan pemahaman bahwa “Idul Fitri memiliki arti kembali suci”, padahal itu salah kaprah? 

Fenomena perayaan Idul Fitri [khususnya di Indonesia] sama seperti tahlilan, dalam arti hanya tradisi, tapi kenapa Muhammadiyah setuju?

 
;