Kamis, 20 Februari 2025

Doktrinasi dan Pembodohan di Tabung Gas

Gas tabung 3 kg adalah bukti nyata doktrin Hitler/Goebbels, “Kebohongan yang diulang-ulang akan dipercaya sebagai kebenaran.” Gas tabung 3 kg menunjukkan bagaimana disinformasi yang didoktrinasikan bisa menjadi keyakinan jutaan orang, padahal salah total! 

Kita pasti sering mendengar orang mengatakan, dengan nada menyindir, “Itu orang naik NMax, tapi kok beli gas 3 kilo.” 

Lha terus kenapa? Gas tabung 3 kg memang ditujukan untuk semua warga Indonesia, tak peduli naik NMax atau naik Beat, atau naik BMW sekalipun.

Ucapan berupa sindiran itu muncul, karena mayoritas orang berpikir bahwa gas tabung 3 kg hanya ditujukan untuk masyarakat miskin. Mereka meyakini itu sebagai kebenaran—sebegitu yakin, sampai mereka tidak pernah memeriksa apakah keyakinan itu memang benar. 

Faktanya, keyakinan itu keliru, karena berasal dari disinformasi yang sengaja didoktrinkan berulang-ulang. 

Jika ditelusuri ke akar sejarahnya, gas “dipaksakan” oleh pemerintah untuk mengganti minyak tanah, yang waktu itu populer digunakan masyarakat Indonesia.

Pemerintah ingin masyarakat beralih ke gas, dengan tujuan untuk menghemat subsidi (karena subsidi minyak tanah sangat besar). Agar masyarakat tidak terlalu keberatan meninggalkan minyak tanah dan beralih ke gas, pemerintah pun menyediakan gas dalam tabung 3 kg.

Sejak awal diperkenalkan, gas tabung 3 kg ditujukan untuk semua lapisan masyarakat—siapa pun boleh membeli secara bebas. Waktu itu, pemerintah bahkan menyediakan kompor gas, dan gas tabung 3 kg, secara gratis bagi siapa pun yang bersedia pakai gas.

Dengan beralihnya masyarakat dari minyak tanah ke gas, pemerintah bisa menghemat subsidi dalam jumlah luar biasa besar. Gas tabung 3 kg memang masih disubsidi, tapi jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan subsidi untuk minyak tanah, dan tujuan pemerintah pun tercapai.

Seiring perjalanan waktu, Pertamina—secara sepihak—memasang “stempel” pada gas tabung 3 kg dan menyebutnya “hanya ditujukan untuk masyarakat miskin”. Stempel itu ada di semua tabung gas 3 kg, dan sukses mendoktrinasi masyarakat Indonesia, hingga sangat percaya!

Kenapa Pertamina melakukan hal semacam itu—seenaknya menyebut gas tabung 3 kg hanya ditujukan untuk masyarakat miskin? Itu sebenarnya “akal-akalan” mereka, dan thread ini bisa menjelaskan lebih lanjut.

—@PartaiSocmed, 19 Januari 2019

Jadi, meyakini bahwa gas tabung 3 kg hanya ditujukan untuk masyarakat miskin adalah keyakinan yang salah, karena hasil doktrinasi sepihak. Sayangnya, seperti banyak doktrinasi dan keyakinan umum lain, orang-orang tidak mau memeriksa apakah keyakinannya memang benar.

“Pakai NMax tapi kok beli gas tabung 3 kg?” 

Itu 11/12 dengan, misalnya, “Sudah dewasa tapi kok belum menikah?” 

Mungkin terdengar benar, padahal salah! Karena siapa pun berhak membeli gas tabung 3 kg, sebagaimana siapa pun berhak untuk menikah atau tidak!

Orang-orang meyakini sesuatu yang dianggap benar, padahal salah, tapi tidak mau memeriksa keyakinannya, malah memaksakan keyakinannya pada orang lain. Padahal sesuatu yang dipercaya banyak orang bukan jaminan itu pasti benar.

Setiap kali melihat tulisan “hanya untuk masyarakat miskin” di tabung gas 3 kg, ingat-ingatlah aneka doktrin lain yang selama ini menjajah pikiran dan hidup kita. Doktrinasi dibuat untuk menciptakan keyakinan... bukan kebenaran.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Desember 2019.

Kebohongan Saus Tomat

Setiap kali makan mi ayam, aku sering tercenung saat melihat botol saus. Sebelumnya aku berpikir, saus di tempat mi ayam itu saus tomat, karena warnanya juga merah. Belakangan, saat aku iseng membaca keterangan yang tertempel pada botol saus, ternyata keyakinanku keliru.

Berdasarkan keterangan yang tertempel pada botol saus, kandungan bahan-bahan pembuat saus itu bahkan tidak melibatkan tomat! Jadi itu bukan saus tomat.

Lalu saus itu dibuat dari apa? Ubi, ketela, pepaya!

Warna merahnya dari mana? Zat pewarna!

Penampilan memang kadang menipu. Yang sikapnya tampak baik belum tentu benar-benar baik, yang kita kira bisa dipercaya ternyata pengkhianat. Seperti saus yang kita kira terbuat dari tomat, ternyata bahan pembuatannya bahkan tidak menggunakan tomat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Februari 2020.

Sebaiknya Jangan Naif

Ini benar sekali.

When they realize your definiteness of intent & independence, they develop animosity over you. Oftentimes, seeking to control you isn't loving you, but it's  intended to manipulate you and beat you into submission. —@Psychology_DQ, 26 Juli 2022.

Ada orang fokus pada hidupnya sendiri, tidak pernah mengganggu atau mengusik orang lain. Lalu kamu menyerang, menyindir, menyinyiri, bahkan memfitnah. Dan kamu berpikir dia tidak akan membalas atau melawan? 

Sebaiknya jangan naif. Karena semut pun akan menggigitmu jika terinjak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Oktober 2022.

Kripto Bukan Togel

Trading kripto adalah jual beli mata uang kripto, dan, sekali lagi, bukan togel.

Kalau tidak tahu apa itu kripto, ya belajar, cari tahu. Bukan malah sok pintar dan nuduh orang main togel.

Di tweet-tweet yang ku-retweet di bawah, ada istilah "exchange" dan "broker". Exchange atau broker itu perannya seperti bandar (perantara), karenanya para pemain kripto (khususnya di kalangan awam) sering menyebut mereka "bandar". Tapi mereka bandar kripto, bukan bandar togel.

Apakah trading kripto legal (diperbolehkan/diizinkan) di Indonesia? Ya! Hukum Indonesia mengizinkan trading kripto, dan beberapa jenis kripto yang diperdagangkan di Indonesia antara lain ethereum, solana, luna coin, usd coin, polkadot, bitcoin, litecoin, cardano, stellar, dll.

Sori, guys, aku terpaksa ngoceh hal tidak penting (yang kalian semua pasti sudah tahu), karena ternyata ada orang yang tidak tahu apa itu trading kripto, lalu menuduh pemain trading kripto sebagai "bermain togel".

Karenanya, sekali lagi, kalau tidak tahu ya belajar, biar tahu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 November 2022.

Perbedaan Generasi

Apa perbedaan terbesar antara generasi kamu dan generasi sebelumnya? 
@VICE_ID

Generasi sebelumnya meyakini, menikah adalah kewajiban. Generasiku menyadari, menikah adalah soal pilihan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Desember 2019.

Nyatanya Tidak Begitu

Jika sesuatu memang begitu adanya, kita akan percaya meski tanpa romantisasi apalagi glorifikasi. Dalam logika terbalik, sesuatu sengaja diromantisasi bahkan diglorifikasi, karena nyatanya tidak begitu.

Asal Usul Perkawinan yang Tidak Dikatakan Kepadamu » https://bit.ly/3DUyayk


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 November 2022.

Dingin Banget

Pengin update blog, tapi udah nyaman di tempat tidur. Jadi malas mau ngapa-ngapain. Udaranya dingin buanget.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2020.

Dua Hal yang Paling Kurindukan

Dua hal yang paling kurindukan saat ini: Jagung bakar dan kacang rebus.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2020.

Pas

Pas sampai rumah, pas hujan turun. Sangat bersyukur untuk hal-hal ajaib semacam itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2020.

Khawatir Banjir

Ingin tidur tapi khawatir kalau-kalau banjir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Desember 2019.

Garis Kejut

Orang yang bikin garis kejut (polisi tidur) sampai enam renteng itu motivasi hidupnya apa, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Januari 2020.

Senin, 10 Februari 2025

Ngewe secara Ilmiah

Kenapa istilah "ngewe" sekarang disebut "mantap-mantap"? Asli, aku penasaran dan ingin tahu. Jika ada yang bisa memberi tahu, aku akan sangat berterima kasih.

....
....

Habis cuci muka, nyeruput cokelat hangat, udud, dan kepikiran untuk menindaklanjuti tweet tadi siang. 

Berbeda dengan banyak aktivitas lain, seks memang memiliki aneka sebutan atau istilah, yang terus berevolusi seiring perjalanan waktu. Tapi intinya tetap sama.

Mengapa seks memiliki banyak sebutan, sementara berbagai aktivitas lain—dari makan, minum, tidur, dan semacamnya—hanya memiliki istilah terbatas dan hampir tak pernah berubah? Padahal makan, minum, dan tidur, juga kebutuhan manusia. Kenapa seks lebih istimewa?

Kita tahu jawabannya. Karena, berbeda dengan aktivitas lain, seks termasuk aktivitas privat. Di negara semacam Indonesia, seks—dalam konteks ini; hubungan seks—bahkan dianggap sesuatu “yang mestinya tidak dibicarakan secara terbuka”. Dari situlah muncul aneka istilah dan sebutan.

Orang Indonesia tidak bisa berbicara tentang seks secara jujur, terbuka, dan nyaman. Karenanya, orang-orang pun menciptakan aneka istilah untuk menyebut “seks”, demi tidak langsung menyebut “seks”. Ngewe, em-el, dan sekarang mantap-mantap, hanya segelintir contoh.

Sebagai bangsa yang “memiliki nilai-nilai luhur dan memegang teguh adat ketimuran”—kalau memang harus disebut begitu—penabuan seks (menganggap seks sebagai hal tabu) memang baik. Tapi penabuan terhadap seks bukan berarti tanpa risiko, bahkan bisa jadi malah berisiko.

Bagaimana pun, seks adalah kebutuhan dasariah manusia, sama seperti kebutuhan makan, minum, dan tidur. Yang jadi masalah, kita—dengan dalih adat ketimuran dan nilai-nilai budaya luhur—tidak pernah diajari soal seks, meski kita diajari cara makan, minum, dan tidur yang baik.

Sedari kecil, orang tua mengajari cara makan dan minum yang baik dan benar. Besar sedikit, kita diajari mengatur waktu tidur yang baik. Tapi sampai dewasa, tidak ada orang yang pernah mengajari kita tentang hal-hal terkait seks yang baik—dan bertanggung jawab, tentu saja.

Kita ditabukan membicarakan seks, dijauhkan dari pengetahuan terkait seks, bahkan dilarang mengakses hal-hal yang berhubungan dengan seks. Padahal kita manusia yang membutuhkan seks, sama seperti kita membutuhkan makan, minum dan tidur. Tidakkah kita melihat ini sangat berbahaya?

Karena orang tua, guru, dan masyarakat menghalang-halangi kita dari mendapat pengetahuan seks (yang benar dan bertanggung jawab), kita pun—secara naluri—berusaha mencari sendiri pengetahuan terkait seks. Ke mana? Stensil, internet, bokep, ocehan ngawur, sebut lainnya.

Akibatnya, sejak dini kita terpapar aneka hal terkait seks, tapi tidak terjamin benar, apalagi bertanggung jawab. Karena kita mendapatkannya dari stensilan, dari bokep, dari internet, atau dari ocehan orang ngawur yang mengglorifikasi seks untuk mengiming-imingi anak baru puber.

Dan begitulah kita tumbuh, omong-omong. Tumbuh dewasa dengan anggapan telah mengetahui aneka hal tentang seks, padahal tidak ada jaminan pengetahuan kita memang benar atau sesuai kenyataan. Kita adalah korban keterbelakangan masyarakat yang tidak memahami esensi pendidikan.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, bisa panjang sekali, dan mungkin baru akan selesai tahun 2045. Tapi karena cokelat hangat dan ududku sudah habis, cukup sampai di sini. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Februari 2020.

Urusan Maaf

Manusia memang berbeda-beda, termasuk dalam urusan maaf. Ada yang berhati mulia, yang bisa memaafkan siapa pun, termasuk pada orang-orang yang pernah menyakiti. Prinsip mereka, "Tuhan saja tidak menghakimi manusia di dunia, kenapa kita sulit memaafkan kesalahan sesama?"

Ada juga yang sama mulia, menyadari manusia adalah tempat salah dan lupa. Jadi mereka pun sama mudah memaafkan, jika pihak yang bersalah mau meminta maaf, dan mereka akan memberi maaf. Prinsip mereka, "Sing wis yo wis, ora usah dieling-eling. Mari jalani hidup dengan lebih baik."

Tetapi, tentu saja, tidak semua manusia semulia itu. Di antara orang-orang yang mudah memaafkan, ada pula yang semacam John Creasy (lihat; Man on Fire), yang tak punya maaf sama sekali. Prinsip mereka, "Forgiveness is between them and God. It's my job to arrange the meeting."

Atau orang-orang seperti Don Corleone, yang bisa tersenyum ramah pada orang-orang yang menyakitinya, sambil diam-diam menyiapkan pembalasan dendam mengerikan... meski harus menunggu bertahun-tahun. Karena menurut mereka, “Revenge is a dish that tastes best when served cold.”

Akhirnya, terkait maaf, ada pula yang seperti Hannibal Lecter; pikiran rumit yang dialiri darah dingin, amarah dan luka yang tertutupi penampilan elegan, dan bisikan pada diri, "Now is the hardest test; not letting rage and frustration... or forgiveness keep you from thinking."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Januari 2020.

Justice is Balance

Ketika Ra's al Ghul membakar rumah Bruce Wayne hingga terlalap api seperti neraka, dia berkata, "Justice is balance. You burned my house and left me for dead. Consider us even."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Januari 2020.

Hilang, Kaupeluk

Ada bagian yang hilang 
Ada yang tak pernah kita kisahkan 
Selalu, dalam masamu 
Sesuatu ingin kausimpan, 
hanya menjadi milikmu 
Yang kaupeluk


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Telepon dari MABES POLRI

Pernah ada teman yang dolan ke rumahku sampai tengah malam. Waktu dia sedang ke toilet, HP-nya berdering di ruang tamu, dan aku lihat di layar muncul nama MABES POLRI. Aku kaget. Siapa temanku ini, sampai MABES POLRI nilpon dia tengah malam?

Aku bawa HP dia, dan ngasih tahu temanku yang masih di toilet, “Ini MABES POLRI nilpon! Anjir! Ada apa MABES POLRI nilpon kamu tengah malam gini?” 

Temanku keluar dari toilet, dan menerima telepon itu. Ternyata itu telepon dari istrinya!

Sambil cekikikan, aku bertanya, “Kok bisa-bisanya kamu menamai istrimu MABES POLRI?” 

Dia menjawab sambil nyengir, “Lha kalau MABES POLRI sudah nilpon dan memintaku pulang, aku bisa apa?” 

Dia pulang saat itu juga, karena tak ingin ribut dengan “MABES POLRI”.

Ono-ono wae nang ndunyo iki.

Tidak Sadar Malam Minggu

Aku sering keluar rumah tanpa sadar malam Minggu, lalu heran melihat jalanan macet tak karuan, tempat parkir penuh semua, terus baru sadar ini malam Minggu. Seperti sekarang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2019.

TT Environmental

Omong-omong, TT malam ini sangat... anu, sangat environmental, dan mencerminkan prinsip-prinsip fundamentalisme yang moratorium dan quo vadis. #Apppeeeuuuhhh


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Agustus 2019.

Elegan

Orang kalau dasarnya memang elegan, bahkan foto cuma kelihatan lehernya juga tetap elegan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Maret 2012.

Keep Calm

Keep calm and stay emessshh. #Appeeuuhhh


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Agustus 2019.

Kangen

Kangen.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 April 2012.

Sabtu, 01 Februari 2025

Doktrin Bahagia yang Memakan Dirinya Sendiri

Banyak orang sok mengatakan, "Aku ingin anak-anakku tidak mengalami kesusahan seperti aku."

Mereka perlu menanyakan pada diri sendiri, "Apakah keinginan itu benar-benar terwujud... atau mereka cuma membayangkannya, sementara anak-anaknya sengsara seperti dirinya?

Ironisnya, orang-orang yang sok pede mengatakan "tidak ingin anak-anaknya sengsara seperti dirinya" justru memiliki anak-anak yang tertekan dan sengsara. Sementara orang yang anak-anaknya bahagia justru tidak pernah mengatakan omong kosong semacam itu.

Di sisi lain, ada anak-anak yang punya keinginan membahagiakan orang tuanya. Itu keinginan mulia, tentu saja. Tapi, sebagai anak, pernahkah kita bertanya-tanya, "Mengapa orang tua kita tidak bahagia, hingga kita merasa wajib membahagiakan mereka?"

Selama ini kita didoktrin bahwa menikah akan membuat orang bahagia, dan punya anak-anak akan melancarkan rezeki. Orang tua kita menikah, dan punya anak-anak, yang salah satunya kita. Kenapa mereka tidak bahagia... hingga kita seperti didoktrin untuk membahagiakan mereka?

Jangan-jangan, orang tua kita dulu menikah karena mengira akan bahagia setelah menikah dan punya anak-anak. Setelah menikah, mereka sadar bahwa pernikahan tidak membuat bahagia. Karenanya, mereka lalu mendoktrin anak-anak untuk membahagiakan mereka. 

Lalu kita meniru mereka...

Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Seperti apa orang tuanya, seperti itulah anaknya. Meski, dalam beberapa kasus, ada buah jatuh dari pohon, lalu angin menerbangkannya sampai jauh... dan memulai kehidupan yang jauh berbeda dari induknya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Februari 2020.

Males Mikir Kawin

Ketika menikah, ternyata, kita dan pasangan harus pakai alamat yang sama, karena suami-istri. Artinya, harus ada salah satu yang "mengorbankan" alamatnya semula.

Aku ingin ngoceh soal ini, dan tolong ralat jika aku keliru, karena nyatanya aku baru sekadar tahu, tapi belum pernah mengalaminya sendiri.

Kalau umpama Si A dan Si B akan menikah, dan mereka berbeda alamat, maka Si A dan Si B harus memilih akan menggunakan alamat Si A atau alamat Si B. Karena ketika telah menikah dan menjadi pasangan suami istri, alamat mereka harus sama (satu alamat), untuk keperluan pembuatan KK.

Mungkin itu terdengar mudah dalam teori, tapi bisa jadi rumit dalam praktik. Bayangkan saja umpama Si A beralamat di Yogya, dan Si B beralamat di Sumatra. Ketika menikah, mereka harus memilih satu alamat (suami ikut alamat istri, atau istri ikut alamat suami), atau opsi lain.

Bisa jadi, mereka memutuskan memakai alamat Si A. Maka sejak itu, alamat Si B pindah ke alamat Si A. Ini mungkin terdengar mudah, tapi bisa jadi akan berbuntut panjang. Karena, ketika alamat Si B berubah, maka semua hal (kepemilikan dia, yang terkait alamat) harus ikut berubah.

Bayangkan saja Si B punya motor, mobil, rumah, tanah, rekening di bank, dan lain-lain, yang semuanya menggunakan identitas dan alamatnya. Ketika Si B mengubah alamat karena menikah dengan Si A, maka identitas semua kepemilikan Si B akan (harus) ikut berubah. Begitu, kan?

Lalu aku membayangkan bagaimana ribetnya Si B mengurus perubahan identitas pada semua miliknya itu, satu per satu. Wong ngurus mau nikah saja sudah ribet, masih ditambah ngurus perubahan alamat, dll. Ini bahkan belum membicarakan kemungkinan cerai, dan sekali lagi harus ribet.

Itulah kenapa, kadang aku mikir, kalau kelak menikah, aku berharap pasanganku tinggal sekota. Biar urusannya tidak terlalu ribet. Karena aku benci hal-hal ribet!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2020.

Konsistensi Tingkat Wali

Deddy Dores adalah musisi yang sangat istiqamah. Meski referensi musiknya sangat luas, dia tetap menggunakan melodi yang sama untuk lagu-lagu yang diciptakannya, hingga nada yang terdengar identik dengannya. Konsistensi tingkat wali.

Ahmad Dhani terkenal sebagai musisi hebat. Begitu pula Iwan Fals, Ariel, dan musisi-musisi top lain. Tapi kalau mereka menciptakan lagu dan dinyanyikan orang lain, belum tentu kita tahu itu lagu ciptaan mereka. Karena masing-masing lagu memiliki nada/melodi yang berbeda.

Dalam hal itu, Deddy Dores lebih “unggul”. Jika dia menciptakan lagu, dan dinyanyikan sendiri atau orang lain, rata-rata penggemar musik akan tahu, “Itu pasti lagu Deddy Dores!” Karena dia selalu menggunakan nada yang sama, melodi yang sama, komposisi musik yang sama.

Meski lagu-lagunya dianggap “cengeng”, tapi kita tidak bisa menyangkal dia seorang genius. Karena mungkin hanya Deddy Dores satu-satunya musisi di Indonesia yang mampu menghasilkan lebih dari seribu lagu dengan menggunakan nada yang sama, dan lagu-lagunya selalu laris!

Musim Sepi dan Resesi yang Sunyi

Beberapa hari ini ngobrol dengan beberapa orang, rata-rata mereka mengeluh keadaan (bisnis, usaha) sedang sepi. Penjual warung nasi, pengusaha batik, atau pemilik bisnis lain, semuanya mengeluhkan hal sama, "Keadaan emang lagi sepi, atau cuma aku yang mengalami?"

Entah orang-orang menyadari atau tidak, kita sebenarnya ada dalam masa (pra)resesi—kenyataan ini akan sangat terasa, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Kehidupan (ekonomi) yang semula kadang naik turun, saat ini terasa stagnan atau bahkan menurun.

Sebagian pakar ekonomi bahkan meramalkan resesi global dalam enam bulan ke depan—dan aku khawatir itu benar-benar terjadi—meski kita berharap ramalan itu tak terjadi. Dalam pikiranku, ini adalah masa ketika "segalanya tampak baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak."

Salah satu warung makan langgananku—aku punya beberapa warung langganan—bahkan sudah sampai pada tahap "nyaris tanpa pembeli". Semula, warung mereka cukup ramai, pembeli datang silih berganti. Tapi kini benar-benar sepi. Padahal tidak ada yang berubah, semuanya masih sama.

Penjual warung makan itu sepasang suami istri. Tadi, waktu aku makan di sana, si suami curhat, "Istri saya hampir putus asa, ingin tutup warung saja, dan cari kerja lain. Karena keadaannya sepi terus." Sudah sampai tahap seperti itu.

Dan "sepi" yang terjadi punya efek berantai.

Sebelumnya, mereka sudah beberapa kali cerita soal warung yang sepi, dan rencana untuk tutup, ingin mencoba kerja/usaha lain. Waktu itu mereka berpikir hanya warung mereka yang sepi, hingga ingin mencoba usaha lain yang lebih baik. Padahal masalahnya bukan pada warung mereka.

Aku bilang ke mereka, "Sampeyan kalau kulakan ke pasar, beli ayam, daging, bumbu, dll, coba tanya para pedagang di sana. Apakah mereka juga sama sepi?"

Mereka menuruti saran itu, dan mendapat jawaban berupa keluhan serupa, "Keadaan lagi sepi."

Karena resesi punya efek berantai.

Karena resesi, orang yang biasa makan di warung, memilih berhemat dengan masak sendiri di rumah, akibatnya warung makan sepi. Karena warung sepi, penjual warung mengurangi belanjaan, dan hal itu berdampak pada para pedagang lain, dan begitu seterusnya. Hasilnya, semuanya "sepi".

Yang mengerikan, setidaknya dalam pikiranku, resesi saat ini dan yang akan datang—kalau benar terjadi—adalah resesi yang "tidak adil", karena yang akan merasakan dampaknya cuma kalangan menengah ke bawah. Sementara kalangan atas bisa dibilang tidak akan merasakan dampaknya.

Bagaimana itu terjadi? Jawabannya panjang dan rumit, dan mungkin ocehan ini akan selesai tahun 2092, kalau harus kuuraikan secara detail. Intinya, karena sistemnya memang diarahkan begitu. Kita sedang "disaring" diam-diam—apakah kalian tidak merasakan?

Sebagai awal untuk memahami hal ini, pelajarilah omnibus law yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Jangan terkecoh oleh namanya yang terdengar ndakik-ndakik. Itu 11/12 dengan "UU Anti Pornografi/Pornoaksi". Indah dalam nama, tapi mengandung racun mematikan di dalamnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Februari 2020.

Orang Sok Suci

Dari dulu, orang-orang yang sok suci memang memuakkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Februari 2020.

Bulan Itu

Baru kemarin bulan itu sudah mau bulan itu lagi.

Jam Segini di Akhir Pekan

Ngobrol sama teman, dia bilang, "Dulu jam segini rasanya masih segar bugar, meski seharian sibuk kerja. Sekarang, jam segini rasanya udah pengin istirahat aja. Badan rasanya udah capek."

Akhir pekan memang menyenangkan untuk ngobrol dan leyeh-leyeh. Sambil udud, tentu saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2020.

Ingin Diseduh

Setiap kali menemukan istilah "diseduh", entah kenapa aku berdebar. Karena, juga entah kenapa, aku merasa ingin diseduh. Appeeuuuhh.

Betapa hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak diseduh. Apppeeeeeeuuuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Februari 2020.

Entahlah

Setiap kali melihat foto-fotomu, aku berpikir, “Kau begitu matang dan dewasa, aku begitu bodoh dan kekanak-kanakan.”

....
....

Entahlah.

Permen Kuno

Di sebuah warung cukup besar, seseorang bertanya pada si penjual, “Ada permen Sugus?”

Mendengar pertanyaan itu, diam-diam aku berpikir, “Kuno sekali orang itu.”

Akhirnya Februari

Akhirnya Februari juga, setelah mutar-mutar di Januari yang seperti looping tanpa akhir.

 
;