Sabtu, 01 Februari 2025

Doktrin Bahagia yang Memakan Dirinya Sendiri

Banyak orang sok mengatakan, "Aku ingin anak-anakku tidak mengalami kesusahan seperti aku."

Mereka perlu menanyakan pada diri sendiri, "Apakah keinginan itu benar-benar terwujud... atau mereka cuma membayangkannya, sementara anak-anaknya sengsara seperti dirinya?

Ironisnya, orang-orang yang sok pede mengatakan "tidak ingin anak-anaknya sengsara seperti dirinya" justru memiliki anak-anak yang tertekan dan sengsara. Sementara orang yang anak-anaknya bahagia justru tidak pernah mengatakan omong kosong semacam itu.

Di sisi lain, ada anak-anak yang punya keinginan membahagiakan orang tuanya. Itu keinginan mulia, tentu saja. Tapi, sebagai anak, pernahkah kita bertanya-tanya, "Mengapa orang tua kita tidak bahagia, hingga kita merasa wajib membahagiakan mereka?"

Selama ini kita didoktrin bahwa menikah akan membuat orang bahagia, dan punya anak-anak akan melancarkan rezeki. Orang tua kita menikah, dan punya anak-anak, yang salah satunya kita. Kenapa mereka tidak bahagia... hingga kita seperti didoktrin untuk membahagiakan mereka?

Jangan-jangan, orang tua kita dulu menikah karena mengira akan bahagia setelah menikah dan punya anak-anak. Setelah menikah, mereka sadar bahwa pernikahan tidak membuat bahagia. Karenanya, mereka lalu mendoktrin anak-anak untuk membahagiakan mereka. 

Lalu kita meniru mereka...

Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Seperti apa orang tuanya, seperti itulah anaknya. Meski, dalam beberapa kasus, ada buah jatuh dari pohon, lalu angin menerbangkannya sampai jauh... dan memulai kehidupan yang jauh berbeda dari induknya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Februari 2020.

Males Mikir Kawin

Ketika menikah, ternyata, kita dan pasangan harus pakai alamat yang sama, karena suami-istri. Artinya, harus ada salah satu yang "mengorbankan" alamatnya semula.

Aku ingin ngoceh soal ini, dan tolong ralat jika aku keliru, karena nyatanya aku baru sekadar tahu, tapi belum pernah mengalaminya sendiri.

Kalau umpama Si A dan Si B akan menikah, dan mereka berbeda alamat, maka Si A dan Si B harus memilih akan menggunakan alamat Si A atau alamat Si B. Karena ketika telah menikah dan menjadi pasangan suami istri, alamat mereka harus sama (satu alamat), untuk keperluan pembuatan KK.

Mungkin itu terdengar mudah dalam teori, tapi bisa jadi rumit dalam praktik. Bayangkan saja umpama Si A beralamat di Yogya, dan Si B beralamat di Sumatra. Ketika menikah, mereka harus memilih satu alamat (suami ikut alamat istri, atau istri ikut alamat suami), atau opsi lain.

Bisa jadi, mereka memutuskan memakai alamat Si A. Maka sejak itu, alamat Si B pindah ke alamat Si A. Ini mungkin terdengar mudah, tapi bisa jadi akan berbuntut panjang. Karena, ketika alamat Si B berubah, maka semua hal (kepemilikan dia, yang terkait alamat) harus ikut berubah.

Bayangkan saja Si B punya motor, mobil, rumah, tanah, rekening di bank, dan lain-lain, yang semuanya menggunakan identitas dan alamatnya. Ketika Si B mengubah alamat karena menikah dengan Si A, maka identitas semua kepemilikan Si B akan (harus) ikut berubah. Begitu, kan?

Lalu aku membayangkan bagaimana ribetnya Si B mengurus perubahan identitas pada semua miliknya itu, satu per satu. Wong ngurus mau nikah saja sudah ribet, masih ditambah ngurus perubahan alamat, dll. Ini bahkan belum membicarakan kemungkinan cerai, dan sekali lagi harus ribet.

Itulah kenapa, kadang aku mikir, kalau kelak menikah, aku berharap pasanganku tinggal sekota. Biar urusannya tidak terlalu ribet. Karena aku benci hal-hal ribet!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2020.

Konsistensi Tingkat Wali

Deddy Dores adalah musisi yang sangat istiqamah. Meski referensi musiknya sangat luas, dia tetap menggunakan melodi yang sama untuk lagu-lagu yang diciptakannya, hingga nada yang terdengar identik dengannya. Konsistensi tingkat wali.

Ahmad Dhani terkenal sebagai musisi hebat. Begitu pula Iwan Fals, Ariel, dan musisi-musisi top lain. Tapi kalau mereka menciptakan lagu dan dinyanyikan orang lain, belum tentu kita tahu itu lagu ciptaan mereka. Karena masing-masing lagu memiliki nada/melodi yang berbeda.

Dalam hal itu, Deddy Dores lebih “unggul”. Jika dia menciptakan lagu, dan dinyanyikan sendiri atau orang lain, rata-rata penggemar musik akan tahu, “Itu pasti lagu Deddy Dores!” Karena dia selalu menggunakan nada yang sama, melodi yang sama, komposisi musik yang sama.

Meski lagu-lagunya dianggap “cengeng”, tapi kita tidak bisa menyangkal dia seorang genius. Karena mungkin hanya Deddy Dores satu-satunya musisi di Indonesia yang mampu menghasilkan lebih dari seribu lagu dengan menggunakan nada yang sama, dan lagu-lagunya selalu laris!

Musim Sepi dan Resesi yang Sunyi

Beberapa hari ini ngobrol dengan beberapa orang, rata-rata mereka mengeluh keadaan (bisnis, usaha) sedang sepi. Penjual warung nasi, pengusaha batik, atau pemilik bisnis lain, semuanya mengeluhkan hal sama, "Keadaan emang lagi sepi, atau cuma aku yang mengalami?"

Entah orang-orang menyadari atau tidak, kita sebenarnya ada dalam masa (pra)resesi—kenyataan ini akan sangat terasa, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Kehidupan (ekonomi) yang semula kadang naik turun, saat ini terasa stagnan atau bahkan menurun.

Sebagian pakar ekonomi bahkan meramalkan resesi global dalam enam bulan ke depan—dan aku khawatir itu benar-benar terjadi—meski kita berharap ramalan itu tak terjadi. Dalam pikiranku, ini adalah masa ketika "segalanya tampak baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak."

Salah satu warung makan langgananku—aku punya beberapa warung langganan—bahkan sudah sampai pada tahap "nyaris tanpa pembeli". Semula, warung mereka cukup ramai, pembeli datang silih berganti. Tapi kini benar-benar sepi. Padahal tidak ada yang berubah, semuanya masih sama.

Penjual warung makan itu sepasang suami istri. Tadi, waktu aku makan di sana, si suami curhat, "Istri saya hampir putus asa, ingin tutup warung saja, dan cari kerja lain. Karena keadaannya sepi terus." Sudah sampai tahap seperti itu.

Dan "sepi" yang terjadi punya efek berantai.

Sebelumnya, mereka sudah beberapa kali cerita soal warung yang sepi, dan rencana untuk tutup, ingin mencoba kerja/usaha lain. Waktu itu mereka berpikir hanya warung mereka yang sepi, hingga ingin mencoba usaha lain yang lebih baik. Padahal masalahnya bukan pada warung mereka.

Aku bilang ke mereka, "Sampeyan kalau kulakan ke pasar, beli ayam, daging, bumbu, dll, coba tanya para pedagang di sana. Apakah mereka juga sama sepi?"

Mereka menuruti saran itu, dan mendapat jawaban berupa keluhan serupa, "Keadaan lagi sepi."

Karena resesi punya efek berantai.

Karena resesi, orang yang biasa makan di warung, memilih berhemat dengan masak sendiri di rumah, akibatnya warung makan sepi. Karena warung sepi, penjual warung mengurangi belanjaan, dan hal itu berdampak pada para pedagang lain, dan begitu seterusnya. Hasilnya, semuanya "sepi".

Yang mengerikan, setidaknya dalam pikiranku, resesi saat ini dan yang akan datang—kalau benar terjadi—adalah resesi yang "tidak adil", karena yang akan merasakan dampaknya cuma kalangan menengah ke bawah. Sementara kalangan atas bisa dibilang tidak akan merasakan dampaknya.

Bagaimana itu terjadi? Jawabannya panjang dan rumit, dan mungkin ocehan ini akan selesai tahun 2092, kalau harus kuuraikan secara detail. Intinya, karena sistemnya memang diarahkan begitu. Kita sedang "disaring" diam-diam—apakah kalian tidak merasakan?

Sebagai awal untuk memahami hal ini, pelajarilah omnibus law yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Jangan terkecoh oleh namanya yang terdengar ndakik-ndakik. Itu 11/12 dengan "UU Anti Pornografi/Pornoaksi". Indah dalam nama, tapi mengandung racun mematikan di dalamnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Februari 2020.

Orang Sok Suci

Dari dulu, orang-orang yang sok suci memang memuakkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Februari 2020.

Bulan Itu

Baru kemarin bulan itu sudah mau bulan itu lagi.

Jam Segini di Akhir Pekan

Ngobrol sama teman, dia bilang, "Dulu jam segini rasanya masih segar bugar, meski seharian sibuk kerja. Sekarang, jam segini rasanya udah pengin istirahat aja. Badan rasanya udah capek."

Akhir pekan memang menyenangkan untuk ngobrol dan leyeh-leyeh. Sambil udud, tentu saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2020.

Ingin Diseduh

Setiap kali menemukan istilah "diseduh", entah kenapa aku berdebar. Karena, juga entah kenapa, aku merasa ingin diseduh. Appeeuuuhh.

Betapa hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak diseduh. Apppeeeeeeuuuuuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Februari 2020.

Entahlah

Setiap kali melihat foto-fotomu, aku berpikir, “Kau begitu matang dan dewasa, aku begitu bodoh dan kekanak-kanakan.”

....
....

Entahlah.

Permen Kuno

Di sebuah warung cukup besar, seseorang bertanya pada si penjual, “Ada permen Sugus?”

Mendengar pertanyaan itu, diam-diam aku berpikir, “Kuno sekali orang itu.”

Akhirnya Februari

Akhirnya Februari juga, setelah mutar-mutar di Januari yang seperti looping tanpa akhir.

 
;