Kamis, 01 Mei 2025

Duit Miliaran Lenyap Seperti Mimpi

Berita itu sangat mengejutkan, dan muncul di ponsel ketika saya baru selesai makan siang. Beritanya mengenai seseorang yang diduga terlibat skandal mencengangkan. Feed di ponsel lalu menyuguhkan tumpukan berita serupa. Dengan pikiran terguncang, saya membaca berita-berita terkait skandal itu, dan seketika kepala saya terasa berat. 

Saya terkejut setengah mati mendapati berita-berita itu karena; pertama, saya mengenal sosok yang diberitakan; kedua, saya tidak menyangka dia terlibat skandal semacam itu; dan ketiga, ada uang sangat besar yang berpotensi lenyap!

Saya melakukan screenshot salah satu berita, lalu mengirimkannya pada orang yang namanya tertulis dalam berita tersebut. Saya hanya membubuhkan pesan, “What the fuck is this?”

Sesaat kemudian, dia menelepon ke ponsel saya, “Aku sedang dalam perjalanan untuk meeting di Batang. Bisa ketemu besok?”

Saya bertanya, “Di mana kamu menginap?”

Dia menyebutkan nama hotel yang telah ia booking.

“Besok pagi aku sarapan di hotelmu.”

Semua berawal empat tahun sebelumnya, bermula dari sebuah ide yang berpotensi menghasilkan uang sangat besar. Tapi saya tidak bisa melakukannya sendirian, karena butuh sumber daya yang sama besar.

Empat tahun sebelumnya, saya menemukan ide menarik—sebuah produk digital berbasis AI—tapi waktu itu terbentur pada teknologi yang belum ada. Jadi saya tahu bagaimana mengerjakan ide itu untuk menghasilkan karya sekaligus menghasilkan uang, tapi saya membutuhkan sarana teknologi tertentu yang, sayangnya, waktu itu belum tersedia. 

Tetapi saya tahu bahwa cepat atau lambat, teknologi yang saya butuhkan akan muncul. Seseorang entah di mana akan menciptakannya. Di era teknologi, itu keniscayaan, dan yang perlu saya lakukan waktu itu hanyalah menunggu sambil mematangkan rencana terkait ide yang saya temukan. Begitu momentumnya datang, saya tinggal mengeksekusi ide saya dan menghasilkan cuan besar.

Dalam bisnis, khususnya di kehidupan penuh teknologi digital yang bergerak sangat cepat, saya menciptakan “rumus” sendiri yang saya patuhi sendiri. Rumus itu adalah: Ide + Momentum = Cuan.

Dalam perspektif saya, ide hebat mungkin mengagumkan. Tapi ketika ide itu dieksekusi tanpa momentum yang tepat, hasilnya bisa mengecewakan, atau setidaknya biasa-biasa saja. Sebaliknya, ide yang mungkin sederhana bisa menghasilkan cuan besar jika dieksekusi pada momentum yang tepat. Saya menemukan rumus itu bertahun-tahun lalu, ketika pertama kali menghasilkan banyak uang di era booming media cetak.

Ketika kemudian media cetak beralih ke media digital, rumus tadi tetap bisa diaplikasikan, dan menghasilkan efek yang sama. Hal paling krusial dalam hal ini adalah momentum. Di dunia digital yang terus melesat gila-gilaan, momentum sering kali hanya muncul sekali, lalu lewat secepat kilat. Tugas saya adalah melihat momentum datang, dan menangkapnya, lalu mengisi momentum dengan ide yang telah saya siapkan. Itu membutuhkan penggodokan ide bertahun-tahun, perencanaan berbulan-bulan, dan kadang biaya besar untuk penelitian, tapi hasilnya tidak mengecewakan.

Empat tahun sebelumnya, saya telah menyiapkan ide semacam itu. Yang masih saya tunggu adalah teknologi memadai untuk mewujudkannya. Begitu teknologi yang saya butuhkan telah tercipta, momentum akan muncul, dan saya akan membanjiri pasar dengan ide (produk) yang telah saya siapkan. Dalam hal itu, saya membutuhkan sumber daya dalam skala besar untuk mengerjakannya, dan itu artinya juga membutuhkan modal sangat besar.

Ide yang waktu itu saya pikirkan murni ide saya, tapi saya menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan ada orang-orang di luar sana yang juga memiliki ide serupa. Di dunia internet yang begitu terbuka seperti sekarang, seratus orang yang terserak di berbagai belahan bumi bisa memiliki ide serupa, meski tidak pernah saling terkoneksi. Karena itulah pentingnya momentum. Siapa pun yang mampu melihat dan menggunakan momentum secara tepat, ia akan jadi pemenang!

Butuh waktu dua tahun bagi saya untuk menunggu teknologi yang saya butuhkan, dan akhirnya teknologi itu muncul, meski waktu itu masih tahap BETA. Permulaan yang bagus, pikir saya penuh gairah. Dan selama dua tahun menunggu, saya telah memikirkan dan memikirkan dan memikirkan dan memikirkan ide saya berulang-ulang, menghabiskan banyak biaya untuk penelitian, meninjau dan memeriksanya dari berbagai perspektif, lalu menulis rencana eksekusinya. 

Butuh puluhan halaman untuk menuliskan rencana itu, tapi hasil finalnya begitu sederhana—sesederhana yang bisa saya pikirkan. Begitu teknologi yang saya tunggu sudah memadai untuk digunakan, saya akan segera mengeksekusi ide tadi, lalu membanjiri pasar dalam skala besar-besaran! Jika, di waktu yang sama, ada orang-orang lain punya ide serupa dan menghasilkan produk sama, dan mereka berencana masuk pasar, mereka sudah kehilangan momentum. 

Ide dan rencana itu lalu saya bicarakan dengan seseorang—dia seorang inventor yang juga memegang valuasi sangat besar. Jika saya sebutkan namanya, kemungkinan besar kalian mengenal, karena media-media kerap memberitakan kiprahnya.

Kami membicarakan ide itu berjam-jam, dengan santai tapi serius, dan kami saling percaya. Di hadapan kami waktu itu ada berkas-berkas berisi coretan, skema, dan aneka catatan. Setelah puas membicarakannya, dia berkata, “Aku percaya ide dan rencanamu sepenuhnya. Jadi, apa yang kamu butuhkan?” 

“SDM,” saya menjawab. “Aku tinggal di kota kecil, dan tidak yakin ada SDM yang mampu menangani ide ini. Orang-orang yang kita butuhkan untuk menangani pekerjaan ini rata-rata tinggal di kota besar, dan karena itulah aku membutuhkanmu. Kamu punya akses untuk mendapatkan SDM berkompeten yang kita butuhkan, dan kamu bisa memimpin mereka.”

“Done.” Dia tersenyum dan mengangguk. “Selain itu?”

“Kapital.” Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Sejak tadi, aku berkali-kali menyebut momentum, karena itulah modal paling penting yang kita miliki. Dan untuk menggunakan momentum itu, kita butuh modal kapital yang besar. Pertama untuk membiayai SDM yang jumlahnya pasti akan banyak, dan kedua untuk membanjiri pasar dengan produk kita, sebelum ada pesaing di luar sana melakukannya. Tabunganku sudah terkuras untuk membiayai penelitian ini, jadi aku butuh dana segar.”
 
Sekali lagi dia mengangguk. Sebagai visioner, dia pasti bisa melihat potensi besar di depan mata, dan dia bisa membayangkan berapa besar uang yang akan kami hasilkan. Dia kemudian berkata, “Anggap saja itu sudah beres. Apa yang perlu kulakukan selanjutnya?”
 
Saya menyesap minuman di gelas, lalu mengatakan, “Buatlah perusahaan baru, dan kamu bisa menjadi CEO-nya. Aku tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Tapi tolong pastikan aku punya hak supervisi untuk mengawasi semuanya dikerjakan dengan benar, dan pastikan cashflow ke rekeningku selalu lancar.”

Dia tersenyum lebar, dan berkata, “Fair enough.”

Ketika kami menyepakati perjanjian, saya membayangkan saat-saat mendebarkan yang akan datang tak lama lagi. Ide saya akan terwujud menjadi sesuatu yang dapat dinikmati jutaan orang, rencana saya akan dijalankan dalam skala besar hingga membanjiri pasar, dan uang akan mengalir dengan lancar. Dia akan tampil di media, seperti biasa, mendapatkan popularitas yang akan meningkatkan reputasinya, sementara saya akan menyaksikan kesuksesan itu sambil menikmati udud di balik layar. 

Tetapi, persetan, dua bulan setelah itu... petaka terjadi. Dia terlibat skandal yang mengejutkan, dan beritanya muncul di berbagai media.

“What the fuck is this?” Saya mengirimkan pesan itu ke ponselnya, bersama screenshot berita yang saya baca di ponsel.

Sesaat kemudian, dia menelepon ke ponsel saya, “Aku sedang dalam perjalanan untuk meeting di Batang. Bisa ketemu besok?” Dia menyebutkan nama hotel yang telah ia booking.

“Besok pagi aku sarapan di hotelmu.”

Besok paginya, saya datang ke hotel tempatnya menginap, dan kami bertemu di tempat sarapan. Makanan di hotel itu sebenarnya sangat enak, tapi pagi itu terasa hambar. 

Ketika kami akhirnya membicarakan berita yang saya baca—terkait skandal keparat yang melibatkannya—dia berkata dengan nada bersalah, “Posisiku serbasalah saat ini, dan kamu pasti memahami kalau pemberitaan yang terjadi sekarang akan berdampak negatif untuk rencana kita. Aku bisa tetap mem-backup rencanamu seperti yang telah kita bicarakan, tapi aku tidak yakin kamu mau menerima, mengingat posisiku sekarang.”

Saya memahami maksudnya, dan kepala saya terasa mau pecah. Karena skandal yang terjadi, saya jelas tidak bisa melanjutkan kerja sama dengannya, padahal rencana kami sudah hampir tiba di tahap final. Artinya, saya juga tidak bisa memulainya lagi dari nol dengan pihak lain.

Saya terdiam cukup lama, memegangi pelipis yang berdenyut-denyut, membayangkan uang miliaran yang tiba-tiba lenyap. Seperti mimpi. Dan sekarang saya terbangun, dan menyadari mimpi itu tidak terjadi.

Dia berkata perlahan, “Aku benar-benar minta maaf atas yang terjadi sekarang, dan aku bisa memahami kekecewaanmu.”

Saya menyulut rokok, mengisapnya dengan wajah murung, tidak yakin apa yang harus saya katakan.

Dia kemudian bergumam ragu-ragu, “Terkait, uhm... masalah yang terjadi saat ini... kamu bisa membantuku?”

Saya berkata dengan berat, “Kamu sudah dewasa. Kamu bisa membereskan kotoranmu sendiri.”

Ketika kemudian saya pergi meninggalkan hotel, langkah kaki saya terasa berat, dan sejak itu saya tenggelam dalam frustrasi. 

Empat tahun saya menunggu, memikirkan, dan merencanakan ide cemerlang yang butuh waktu berbulan-bulan untuk mematangkannya hingga sampai tahap final, dan telah menguras tabungan saya untuk biaya penelitian. Ketika ide itu tinggal diwujudkan pada momentum yang tepat untuk menghasilkan uang dalam jumlah sangat besar, seketika rusak gara-gara skandal tak terduga, dan impian saya lenyap!

Belakangan, ketika saya menulis catatan ini, ide yang ada di kepala saya telah muncul di pasar, dinikmati jutaan orang. Seseorang di luar sana telah mewujudkannya, meski dengan cara berbeda seperti yang saya rencanakan, tapi ide itu terbukti berhasil seperti yang saya ramalkan. Siapa pun penciptanya, dia telah mendapatkan momentumnya. Dan uang dalam jumlah sangat besar sedang mengalir ke rekeningnya. 

Apakah saya menyesal? Jelas! Karena saya bukan hanya kehilangan banyak uang untuk biaya penelitian, tapi juga kehilangan banyak uang yang jelas-jelas telah ada di depan mata!

Tapi sekarang bukan waktu untuk menyesali yang telah terjadi. Sekarang adalah waktu untuk kembali berpikir, bermimpi, dan mengerjakan sesuatu. 

 
;