Jumat, 20 Januari 2017

Salihah di Atas Ranjang

Jika orang mau berpikir sebenar-benar berpikir,
akar kerusakan manusia dan kehidupan dimulai dari perkawinan
tanpa persiapan dan kesadaran.


Apa perbedaan bokep Barat (Amerika/Eropa) dengan bokep Jepang (JAV)? Dalam perspektif saya, wanita dalam bokep Jepang lebih tahu cara menjadi... well, salihah di atas ranjang. Mereka begitu lembut, penuh kasih, dan indah.

Di dunia JAV (Japan Adult Video), ada suatu genre yang disebut “My Wife”. Genre tersebut memperlihatkan bagaimana wanita Jepang bercinta dengan pasangannya, seolah mereka sepasang suami istri. Mereka begitu lembut, penuh kasih, dan indah. Saya tidak bisa menemukan istilah lain yang lebih tepat untuk menggambarkan wanita-wanita itu, selain “salihah di atas ranjang”.

Di luar genre My Wife, ada cukup banyak artis JAV yang saya kagumi, di antaranya Ren Mukai, Yui Tatsumi, dan Risa Kasumi. Di luar tiga nama itu tentu masih ada artis-artis JAV lain yang juga saya suka. Tetapi, tiga nama yang saya sebut barusan, benar-benar merepresentasikan sesuatu yang saya sebut “salihah di atas ranjang”. Khususnya untuk film-film yang masuk kategori soft. Saya tidak pernah bosan melihat mereka.

Oh, jangan salah paham. Menonton JAV memberi manfaat bagi saya. Pertama, menonton JAV membuat saya termotivasi untuk belajar bahasa Jepang. Itu jenis motivasi yang tidak bisa saya dapatkan dari mana pun, selain dari JAV. Bagaimana pun, saya ingin tahu orang-orang yang main di film JAV itu pada ngemeng apa. Soalnya film-film JAV tidak dilengkapi teks!

Manfaat kedua, menonton JAV mengingatkan saya agar tidak lupa menikah, dan punya mbakyu seperti Ren Mukai. Atau Risa Kasumi. Atau Yui Tatsumi. Yaitu mbakyu (iya, maksudnya istri!) yang salihah di atas ranjang.

Mereka—Ren Mukai, Yui Tatsumi, juga Risa Kasumi—dalam bayangan saya, adalah wanita yang menyadari posisi mereka sebagai wanita. Mereka tidak berambisi menjadi politisi apalagi presiden, tidak berniat menjadi tokoh dunia atau semacamnya. Mereka hanya ingin menjadi wanita, dan itulah yang mereka lakukan. Menjadi wanita!

Karena mereka benar-benar menjadi wanita, mereka pun menjelma wanita sesungguhnya. Hingga membuat jutaan lelaki mabuk kepayang. Oh, well, tidak ada yang lebih membuat lelaki mabuk kepayang selain wanita yang sungguh-sungguh wanita. Itulah yang dilakukan Ren Mukai, Yui Tatsumi, juga Risa Kasumi. Mereka tidak peduli dengan emansipasi, atau kesetaraan gender taik kucing, atau apa pun. Mereka hanya menjadi wanita. Dan, dengan itu, mereka menundukkan dunia.

Dulu, di masa lalu, ada istilah yang lekat—atau dilekatkan—dengan wanita, yaitu “dapur, sumur, kasur”. Merujuk istilah itu, tugas wanita adalah memasak di dapur, mencuci baju di sumur, dan melayani suami di kasur. Sekilas, istilah itu mungkin terdengar vulgar atau terkesan merendahkan. Tetapi, jika dipikir-pikir, istilah itu tidak salah-salah amat, selain mungkin hanya terdengar jadul.

Saya kerap bertanya-tanya, apa salahnya jika seorang wanita—seorang istri—memasak di dapur? Bukankah itu pekerjaan mulia? Membuat masakan untuk suami, memastikan pasangan kenyang hingga bisa bekerja dengan baik, hingga suami makin cinta kepadanya. Apa salahnya?

Lalu mencuci pakaian di sumur. Sumur mungkin terdengar jadul, karena kebanyakan orang sekarang mencuci di mesin cuci. Jika seorang wanita—seorang istri—mencuci, apa salahnya? Wong tinggal mengisi mesin cuci dengan air, memasukkan pakaian kotor ke dalamnya, lalu mesin cuci akan membersihkan dan mengeringkan sendiri. Mudah, kan? Jadi, apa salahnya kalau wanita mencuci?

Begitu pula melayani pasangan di kasur. Demi segala demi, bukankah itu memang tugas, tujuan, sekaligus kesenangan, bagi seorang istri—seorang wanita? Jadi, apa salahnya kalau wanita—seorang istri—aktif di kasur? Persetan, saya bahkan ingin istri saya kelak aktif di kasur! Maksud saya, di springbed!

Nah, omong-omong soal kasur atau springbed, saya jadi ingat kembali dengan wanita-wanita di JAV. Mereka begitu indah... dan “salihah”. Mereka tahu bagaimana menjadi wanita, dan membuat lelaki tergila-gila. Mereka tahu cara memuaskan, dan membuat pasangan makin sayang. Mereka tidak macam-macam, tapi bisa membuat mabuk kepayang. Itulah salihah di atas ranjang. Dan jika seorang lelaki memiliki istri yang semacam itu, kehidupan tampaknya akan baik-baik saja.

Kembali ke soal tadi—dapur, sumur, kasur. Istilah itu jadi terdengar “memuakkan”, setelah orang-orang mulai meributkan emansipasi dan kesetaraan gender. Sekarang saya ingin berkata kepada para wanita. Pernahkah kalian menyadari, bahwa isu emansipasi atau kesetaraan gender sebenarnya justru dibuat untuk menyulitkan kalian?

Dulu, tugas para wanita sangat mudah, dan mulia. Yaitu menjadi istri, dan menjadi ibu rumah tangga. Mudah, ringan, dan mulia. Dulu, wanita tidak perlu repot-repot mencari nafkah, karena urusan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami. Sekarang...? Karena ada isu kesetaraan gender, wanita harus merangkap jadi istri, jadi ibu rumah tangga, dan masih harus sibuk mencari nafkah. Jika saya wanita, saya tidak sudi melakukannya! Karena itu jelas-jelas berat!

Begitu pun kelak jika punya istri, saya akan lebih suka jika istri saya damai di rumah, dan tidak usah repot mencari nafkah! Bukan karena saya tidak menghormatinya, tetapi justru karena saya ingin menghormatinya!

Kelak, saya akan berkata pada istri, “Kau tentu punya pilihan, untuk bekerja di luar rumah atau tidak. Kalau kau ingin bekerja di luar rumah, dan kau bahagia menjalaninya, aku akan mendukungmu. Tetapi, kalau kau lebih suka tinggal di rumah, aku akan lebih senang. Sejujurnya, aku lebih suka kau tinggal di rumah. Bukan karena ingin mengekangmu, tapi karena aku ingin memuliakanmu. Mencari nafkah adalah tugasku, tanggung jawab suami, dan tugasmu cukup memastikan aku dapat bekerja dengan baik, dengan perut kenyang dan pikiran tenang.”

Ada orang yang mengatakan, “Kalau istri ingin dihormati suami, sebaiknya istri juga bekerja mencari nafkah.”

Saya pikir itu keliru, bahkan kacau. Mencari nafkah adalah tugas suami, bukan tugas istri. Karena tugas istri mengurus rumah, termasuk mengurus anak (kalau punya anak). Karenanya, penghormatan seorang suami terhadap istri tidak bisa disandarkan pada apakah istri bekerja (mencari nafkah) atau tidak, karena—sekali lagi—mencari nafkah adalah tugas suami!

Kalau memang istri juga bekerja, itu adalah hak dan pilihannya, bukan karena dorongan apalagi tekanan suami. Dengan kata lain, seorang istri (seharusnya) boleh bekerja mencari nafkah atau tidak, dan penghormatan suami kepada istrinya tidak bisa disandarkan pada apakah istri bekerja atau tidak. Bahkan, kalau mau jujur dan objektif, seorang suami sama saja tidak menghormati istrinya kalau sampai memaksa si istri ikut bekerja mencari nafkah. Bagi saya pribadi, itu bahkan sama saja merendahkan diri sendiri.

Sekarang, hei para wanita, manakah yang akan kalian pilih: Menjadi istri dan ibu rumah tangga yang damai di rumah, atau menjadi istri dan ibu rumah tangga sambil merangkap mencari nafkah? Jika saya menempati posisi wanita, saya akan memilih yang pertama. Cukup tinggal di rumah, dan semua kebutuhan terpenuhi. Mudah, simpel, tidak repot! Saya pikir, kalian juga akan memilih yang pertama, kan?

(Agar lebih utuh dalam memahami pertanyaan barusan, silakan baca ini: Apa yang Diinginkan Wanita?)

Nah, belum lama, saya mendengar percakapan antarsuami di sebuah rumah makan. Di belakang saya ada dua lelaki yang tampaknya teman dekat, dan masing-masing sudah punya istri. Jadi, mereka pun saling curhat mengenai kehidupan rumah tangga masing-masing. Saya ada di sana. Meski tidak bermaksud menguping, tapi saya bisa mendengar percakapan mereka.

Lelaki pertama menceritakan, dia sering stres karena istrinya hanya mau bercinta dengannya seminggu sekali. Lalu lelaki kedua menimpali, “Kamu masih lumayan. Istriku malah sebulan sekali!”

Dalam hati saya membayangkan betapa ngenes nasib para suami di dunia yang fana ini. Sudah fana, masih dijatah seminggu atau sebulan sekali.

Lalu lelaki pertama menjelaskan, “Aku maklum, sih. Soalnya dia mungkin capek, karena harus kerja seharian, lalu memasak, bersih-bersih rumah, mencuci, dan sekarang juga mengurus anak. Jadi mungkin dia kecapekan, dan hanya mau melayani seminggu sekali. Cuma, akibatnya, aku jadi sering stres.”

Setelah itu, lelaki kedua menimpali dengan penjelasan tak jauh beda.

Percakapan dua lelaki itu membuat saya berpikir, betapa kasihan dan nelangsa nasib para wanita—para istri—zaman sekarang. Mereka harus mencuci, harus memasak, harus bersih-bersih rumah, harus mengurus anak jika telah punya anak, harus melayani suami, dan itu masih ditambah harus mencari nafkah! Sebagai lelaki, jika kelak punya istri, saya tidak akan tega membiarkan istri saya melakukan semua itu!

Karenanya, seperti yang dibilang tadi, saya ingin istri saya damai di rumah. Bukan karena saya ingin mengekang, melainkan untuk menghormati dan memuliakannya. Cukup memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Sudah, hanya itu. Dan, oh ya, menjadi salihah di atas ranjang. Sudah, hanya itu. Tidak perlu repot-repot mencari nafkah dan tetek bengek sampai kelelahan, karena saya akan bertanggung jawab memastikan dia tidak kekurangan apa pun!

Karenanya pula, para wanita seharusnya curiga, bahwa isu kesetaraan gender sebenarnya dibuat untuk memberatkan tugas mereka. Para wanita seharusnya curiga, bahwa isu kesetaraan gender sebenarnya dirancang oleh lelaki-lelaki pemalas yang tidak mau bertanggung jawab menjadi suami.

Wong urusan mencari nafkah itu tugas suami! Kalau memang berani menikah, mestinya para lelaki jangan memaksa istrinya ikut sibuk mencari nafkah! Menikahnya semangat, giliran mencari nafkah ogah-ogahan, lalu berdalih emansipasi dan kesetaraan gender. Taik kucing! Kalau memang belum mampu mencari nafkah yang layak, tidak usah sok-sokan menikah! Kasihan wanita yang jadi istri!

Karena latar belakang itu pulalah, saya tidak punya ekspektasi macam-macam tentang istri—jika kelak menikah. Saya hanya menginginkan wanita bersahaja yang ramah, tahu bersosialisasi dengan tetangga, bisa memasak, bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, dan... salihah di atas ranjang. Sudah. Saya tidak berharap macam-macam. Saya tidak berharap punya istri artis, selebritas, atau semacamnya. Karena saya lelaki sederhana yang menyukai hidup sederhana.

Cukuplah bagi saya seorang wanita seperti Ren Mukai. Atau Risa Kasumi. Atau Yui Tatsumi. Yaitu wanita yang menyadari dirinya wanita, dan benar-benar merepresentasikan kewanitaannya dengan sempurna. Senyum yang mendamaikan. Pelukan yang menenteramkan. Kata-kata lembut yang menenangkan. Dan salihah di atas ranjang. Oh, well, apa yang lebih sempurna dibanding itu?

 
;