Sampai saya menulis catatan ini, ada lebih dari 800 (delapan ratus) catatan yang pernah saya arsipkan di blog ini, yang dapat dibaca dan diakses siapa pun. Dari delapan ratusan catatan tersebut, ada cukup banyak topik dan tema yang pernah saya tulis, khususnya topik-topik yang memang saya sukai, minati, dan kuasai. Dan dari cukup banyak catatan tersebut, saya sering “tidak nyambung” dengan topik yang sedang tren.
Kenyataan itu, meski saya lakukan secara diam-diam, rupanya diketahui beberapa pembaca yang cukup jeli. Umumnya blog, mungkin, suka memposting sesuatu yang kebetulan sedang tren. Umumnya juga dengan harapan mengundang trafik. Tetapi saya justru menjauhi hal semacam itu. Selama empat tahun ngeblog, saya justru selalu berusaha untuk tidak membahas hal-hal yang sedang tren, dan lebih memilih menulis hal-hal lain yang sama sekali tidak nyambung dengan tren.
Seperti yang disebutkan di atas, meski hal semacam itu saya lakukan diam-diam, tapi rupanya ada beberapa pembaca yang jeli dan melihat “keanehan” tersebut. Sebagian mereka bahkan sampai menanyakannya langsung pada saya, mungkin untuk menegaskan persepsi mereka. Dan, dengan jujur pula, saya pun menyatakan pada mereka kalau saya memang sengaja “tidak nyambung”.
Ada beberapa alasan mengapa saya sering “tidak nyambung” seperti itu. Bisa karena saya tidak menguasai topik yang sedang tren tersebut, bisa pula karena saya memang tidak menyukai/meminati topik itu, atau karena saya memang tidak mau menulisnya dengan alasan tertentu. Yang jelas, apa pun yang saya tulis dan kemudian saya posting di blog ini harus memenuhi, setidaknya, tiga syarat mutlak yang saya tetapkan sendiri. Pertama, saya menguasai topiknya. Kedua, saya menyukai/meminati bidang tersebut. Dan ketiga, saya nyaman menulisnya.
Karena cukup luasnya bidang atau topik yang pernah saya tulis di blog ini, kadang-kadang pula ada pembaca yang meminta agar saya menulis topik-topik tertentu, yang biasanya sedang tren—misal tentang keributan atau insiden tertentu, atau tentang tokoh tertentu, atau bahkan tentang sejarah tertentu. Biasanya saya akan menjawab, “Nanti saya usahakan, ya.”
Tetapi bukan berarti saya pasti akan menuliskannya.
Seperti yang disebutkan di atas, setiap tulisan yang saya posting di blog ini harus memenuhi tiga syarat mutlak yang saya tetapkan sendiri—saya menguasai bidang itu, saya meminati topiknya, dan saya nyaman menuliskannya. Jika ada satu saja syarat yang tak terpenuhi, maka saya tidak akan menulisnya. Atau, mungkin saya akan menulisnya, tetapi hanya akan saya baca sendiri. Artinya, tidak akan saya posting di blog ini.
Ulasan ini mungkin agak membingungkan jika tidak ada ilustrasi nyata. Karenanya, agar kalian lebih memahami yang saya maksudkan, berikut ini contoh kasus yang bisa kita gunakan sebagai ilustrasi, yang melatarbelakangi sikap saya untuk memilih “tidak nyambung”.
Pada era 1980-an, berbagai media memberitakan konflik The Beatles dengan The Rolling Stones. Orang-orang di seluruh dunia percaya kedua group musik itu benar-benar berkonflik. Tetapi apakah memang seperti itu kenyataannya? Satu dekade setelah ribut-ribut itu, majalah Playboy (edisi Amerika) mewawancarai Mick Jagger tentang hal tersebut, dan dia menepis anggapan banyak orang kalau Rolling Stones berkonflik dengan The Beatles.
Jadi mengapa dulu media memberitakan mereka berkonflik?
Jawabannya mudah—rekayasa industri.
Ketika popularitas meredup, industri akan mencari jalan apa saja yang dapat ditempuh. Dan salah satu cara mudah, sering kali, dengan menggunakan media. Ingat kasus Backstreet Boys yang juga diberitakan “berkonflik” dengan Westlife pada era 90-an? Jalan ceritanya tak jauh beda. Industri mencari jalan untuk mengenalkan group musik baru (Westlife) ke masyarakat dunia, di tengah persaingan group-group musik yang waktu itu sangat bejibun.
Dengan “membenturkan” Backstreet Boys dengan Westlife, perhatian masyarakat akan tertuju pada mereka melalui perantara media. Faktanya, bocah-bocah Backstreet Boys sering cangkruk dengan bocah-bocah Westlife. Sementara jutaan fans fanatik mereka nyaris berantem di mana-mana, bocah-bocah dari dua group musik itu asyik cengengesan bersama.
Kasus tak jauh beda juga terjadi pada Britney Spears dengan Christina Aguilera yang diberitakan sebagai rival, atau bahkan sampai diberitakan berkonflik dan bermusuhan. Jutaan fans mereka sampai tidak bisa tidur memikirkan “pertengkaran” antara Britney dengan Aguilera. Mereka berharap dua bocah centil itu berbaikan dan tidak bertengkar atau berkonflik lagi. Media massa di seluruh dunia pun terus “mengompori” kasus konflik mereka, dan… coba tebak, apa yang terjadi? Benar, popularitas mereka terus meningkat, penjualan album mereka terus meroket.
Faktanya, Britney Spears dan Christina Aguilera tidak pernah berkonflik!
Ingat perseteruan antara Julia Peres dan Dewi Perssik? Dan apakah mereka benar-benar berseteru sebagaimana yang diberitakan media massa? Oh, well, kita mulai melihat polanya, kan? Pada era 80-an, Rhoma Irama juga pernah diberitakan berkonflik dengan Elvi Sukaesih. Tetapi, lagi-lagi, muaranya sama seperti di atas. Ketika berita mengenai konflik mereka makin meruncing, produser membuat konser di TMII yang mempertemukan Rhoma dan Elvi, dan... bisa ditebak, penonton pun datang dalam jumlah berkali lipat.
Contoh-contoh di atas hanya sedikit di antara banyak contoh lain yang sebenarnya rekayasa, tetapi dipercaya dan diyakini banyak orang sebagai fakta. Tidak di Amerika, tidak di Indonesia, kasus-kasus semacam itu jumlahnya tidak sedikit. Seperti buah yang dikarbit agar cepat terlihat matang, rekayasa sering digunakan untuk melejitkan sesuatu atau seseorang.
Saya sengaja menggunakan contoh-contoh dari dunia selebritas, meski kasus semacam itu juga digunakan dalam spektrum lain, semisal dunia politik, penyebaran isu-isu tertentu, hingga upaya-upaya mengangkat atau menjatuhkan nama seseorang. Dalam banyak ulasan berita yang mungkin kita baca, lihat, dan dengar, tidak menutup kemungkinan beberapa di antaranya sebenarnya rekayasa.
Rekayasa tidak hanya berarti sesuatu yang sebenarnya tidak ada diberitakan ada, tetapi juga kadang sesuatu yang sebenarnya ada dibuat tidak ada, atau bisa pula sesuatu yang benar-benar terjadi tapi sengaja “dibelokkan” hingga melenceng jauh dari fakta yang sebenarnya terjadi. Media, betapa pun juga, adalah alat. Dan bagaimana alat itu digunakan, tentu tergantung siapa yang memilikinya, atau siapa yang menggunakannya.
Saya tidak bermaksud menyatakan semua media tidak jujur. Di antara banyak media yang sangat komersial dan kapitalis, atau bahkan tendensius, kita tidak menutup mata ada media-media yang tetap memegang idealisme dan kejujuran. Tetapi, betapa pun, media dibuat dengan tujuan untuk dikonsumsi. Agar masyarakat mau mengkonsumsinya, maka pekerja media akan berusaha membuat media mereka sesuai keinginan masyarakat. Jika masyarakat menginginkan berita buruk, media akan memberikannya—tepat seperti slogan mereka, “Bad news is good news.”
Jadi, karena itu pulalah, saya sering “tidak nyambung”. Saya tidak mau menjadi “korban media” yang terombang-ambing dalam arus deras berita yang mereka gelontorkan setiap hari. Daripada terpengaruh berita yang kebenarannya mungkin dapat dipertanyakan, saya lebih memilih untuk menulis dan membicarakan hal-hal yang memang saya ketahui kebenarannya, yang saya minati, yang membuat saya nyaman menuliskannya.
Kalau hari ini media massa ramai-ramai memberitakan tentang A, misalnya, bisa jadi saya lebih memilih untuk menulis tentang Z yang sama sekali tidak dikenal, dan sama sekali tidak nyambung dengan topik yang sedang tren. Saya tidak memaksudkan blog saya sebagai TOA untuk mengeraskan apa kata media, tetapi sebagai ruang pengarsipan pikiran-pikiran saya. Lebih dari itu, terus terang, saya bukan budak tren. Kalau saya memang tidak nyaman dengan sesuatu, meski hal itu tengah menjadi tren, saya akan bilang, “Persetan!”
Jadi, kawan-kawan, melalui uraian yang cukup panjang ini, saya harap kalian bisa memahami dan memaklumi kenapa saya sering “tidak nyambung” dengan apa yang mungkin sedang menjadi tren di tengah-tengah kita. Begitu pun, saya mohon maaf jika beberapa permintaan kalian mungkin tidak pernah saya luluskan, karena adanya alasan dan pertimbangan di atas.
Tidak semua yang terlihat seperti tampaknya. Tidak semua yang terdengar seperti suaranya. Tidak semua yang diberitakan seperti kejadiannya. Tidak semua yang digembar-gemborkan sesuai faktanya. Dalam hal ini, saya lebih memilih “tidak nyambung” daripada telanjur berteriak-teriak tapi ternyata “salah sambung”.
Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Pada 29 April, beberapa polisi melihat Crowley mengendarai mobil Chrysler hijau di daerah Bronx, dekat Morris Avenue Bridge. Segera koordinasi dilakukan, dan dalam waktu singkat puluhan mobil polisi memenuhi jalanan. Crowley, yang tahu akan ditangkap, segera menekan gas dan Chrysler-nya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan di Bronx, sementara mobil-mobil polisi mengejarnya dengan sirine meraung-raung.
Kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi itu mirip adegan film—puluhan tembakan polisi menghajar mobil Crowley, melubangi tubuh mobil, memecahkan kaca-kacanya. Rudolph Duringer, yang ada dalam mobil bersama Crowley, membalas tembakan polisi dengan tembakan yang sama. Dalam baku kejar itu, Crowley tertembak, tetapi ia masih bisa mengendalikan mobilnya.
Di salah satu tikungan, Crowley membelokkan mobil dengan kecepatan mengerikan, kemudian menghentikannya secara mendadak. Setelah itu ia menunggu dengan senjata terkokang. Ketika beberapa mobil polisi pengejarnya muncul, ia tembakkan senapannya ke arah mobil-mobil itu. Polisi-polisi dalam mobil yang tertembak tak bisa mengendalikan mobilnya, dan tabrakan antar mobil polisi pun tak terelakkan. Dalam kekacauan yang amat mengerikan itu, Crowley kembali duduk di belakang setirnya, dan menekan gas meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa hari berikutnya, sedan Chrysler yang dikendarai Crowley ditemukan di pinggir jalan, penuh lubang peluru tak terhitung jumlahnya, juga terdapat noda darah yang menghitam di jok mobil. Tapi Crowley maupun temannya tak tertemukan.
Pada 6 Mei 1931, Crowley duduk-duduk bersama Helen Walsh di sebuah mobil yang diparkir di kawasan North Merrick, Long Island. Keduanya sedang menikmati minuman ringan sambil bercanda ketika muncul dua petugas polisi mendekati mobil mereka. Kedua polisi itu—Frederick Hirsch dan Peter Yodice—mencurigai keberadaan mobil tersebut, dan mereka pun mendekati Crowley yang ada di jok depan.
Frederick Hirsch menyapa Crowley, dan berkata, “Boleh saya lihat SIM Anda?”
Sebagai jawaban, Crowley membuka pintu mobilnya, dan menghantamkannya ke tubuh polisi itu. Frederick Hirsch terjatuh ke aspal, dan Crowley segera menembakkan senjatanya. Peter Yodice yang menyaksikan rekannya ditembak, segera mengambil pistolnya, tetapi Crowley lebih cepat. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh polisi satunya itu, dan Peter Yodice pun segera terjungkal ke tanah dengan darah berhamburan dari tubuhnya. Tetapi keduanya belum mati.
Crowley kembali menembakkan senjatanya ke dua polisi yang kesakitan, namun kali ini pelurunya habis. Dengan santai, ia mengambil pistol milik polisi-polisi itu, lalu dengan kedua tangannya ia memberondongkan peluru ke tubuh dua polisi yang telah sekarat. Darah mengalir di aspal, bersimbah menutupi dua tubuh penuh luka. Setelah yakin kedua polisi itu tewas, Crowley masuk ke mobil dan melesat pergi.
Kematian dua polisi itu semakin membakar amarah NYPD. Sepanjang sejarah kejahatan di New York, belum pernah ada orang yang begitu kejam dan brutal seperti Crowley. Ia benar-benar orang paling berbahaya—sosok yang tidak akan ragu mengambil pistol untuk membunuh siapa pun yang dikehendakinya. Menggunakan istilah Komisaris Polisi E.P. Mulrooney, “Crowley akan membunuh, hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”
Karenanya pula, kepolisian New York pun semakin bertekad menangkap penjahat itu, dan seluruh kekuatan dikerahkan untuk memburunya. Perburuan itu membuahkan hasil. Satu hari setelah penembakan dua polisi di atas, pada 7 Mei 1931, NYPD mendapatkan informasi bahwa Crowley ada di sebuah apartemen di kawasan West End Avenue, bersama Helen Walsh dan Rudolph Duringer.
NYPD segera mengumpulkan pasukan berjumlah besar—300 polisi bersenjata senapan dan gas air mata, serta para detektif—untuk mengepung apartemen berlantai lima itu. Penyergapan dan pengepungan itu dipimpin Letnan Christian Salsieder, yang kelak mendapatkan Honorable Mention, penghargaan tertinggi untuk polisi.
Crowley dan teman-temannya kali ini benar-benar terjebak, namun mereka tak mau menyerah begitu saja. Ketika mendapati apartemen telah terkepung, mereka menembakkan senjata dan melemparkan granat ke arah para polisi, yang segera dibalas tembakan sama.
Itu pengepungan dan penyergapan penjahat paling sensasional di New York, dan baku tembak yang mirip film-film action itu menarik perhatian 15.000 orang yang berdebar menontonnya. Ratusan polisi menembaki dinding-dinding apartemen, melemparkan gas air mata, sementara pengeras suara meneriakkan perintah agar Crowley dan teman-temannya menyerah. Dari dalam gedung, Crowley dan teman-temannya membalas tembakan itu, dan kembali melemparkan gas air mata melalui atap apartemen.
Jalanan di New York bagaikan lokasi perang. Desingan peluru dan dentuman senjata terdengar dari sana-sini, beberapa polisi bergelimpangan di jalanan, mobil-mobil terbakar, sementara ribuan orang yang menyaksikan pertempuran itu tercekam kengerian. Di dalam apartemen, dengan berlindung di balik kursi baja, Crowley mengarahkan senjata dan menembakkan peluru ke arah ratusan polisi yang mengepungnya.
Baku tembak itu berlangsung hingga dua jam, dan ada lebih dari 700 peluru yang ditembakkan polisi untuk menundukkan Crowley. Akhirnya, Crowley menyerah setelah terkena empat tembakan, dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Saat diperiksa, mereka menemukan dua senjata tersembunyi di kedua kaki Crowley, dan sehelai kertas bernoda darah tersimpan di saku bajunya.
Sehelai kertas itu berisi catatan yang ditulis Crowley dengan terburu-buru sambil menahan luka-luka di tubuhnya akibat tertembus peluru. Mungkin, karena mengira dirinya akan segera mati, Crowley ingin meninggalkan wasiat. Dan wasiat yang ditulisnya di kertas itu berbunyi, “Untuk mereka yang berkepentingan. Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”
Francis Crowley, penjahat paling bengis di New York, yang dijuluki The Two Guns—karena biasa menggunakan dua senjata di tangannya—dan telah membunuh banyak orang dengan darah dingin itu, menyatakan, “Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”
Pada 21 Januari 1932, Crowley dieksekusi di atas kursi listrik setelah pengadilan New York memvonis hukuman mati atas semua kejahatan dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Tetapi, bahkan sampai di situ pun, Crowley tidak pernah menerima kenyataan atau menyadari dirinya bersalah. Dia masih meyakini dirinya orang baik, yang “tidak tega melukai siapa pun.”
Seperti yang dikatakan orang-orang bijak, cara kita melihat diri sendiri adalah ego kita. Cara orang lain melihat diri kita adalah kepribadian kita.
***
Pada 29 April, beberapa polisi melihat Crowley mengendarai mobil Chrysler hijau di daerah Bronx, dekat Morris Avenue Bridge. Segera koordinasi dilakukan, dan dalam waktu singkat puluhan mobil polisi memenuhi jalanan. Crowley, yang tahu akan ditangkap, segera menekan gas dan Chrysler-nya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan di Bronx, sementara mobil-mobil polisi mengejarnya dengan sirine meraung-raung.
Kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi itu mirip adegan film—puluhan tembakan polisi menghajar mobil Crowley, melubangi tubuh mobil, memecahkan kaca-kacanya. Rudolph Duringer, yang ada dalam mobil bersama Crowley, membalas tembakan polisi dengan tembakan yang sama. Dalam baku kejar itu, Crowley tertembak, tetapi ia masih bisa mengendalikan mobilnya.
Di salah satu tikungan, Crowley membelokkan mobil dengan kecepatan mengerikan, kemudian menghentikannya secara mendadak. Setelah itu ia menunggu dengan senjata terkokang. Ketika beberapa mobil polisi pengejarnya muncul, ia tembakkan senapannya ke arah mobil-mobil itu. Polisi-polisi dalam mobil yang tertembak tak bisa mengendalikan mobilnya, dan tabrakan antar mobil polisi pun tak terelakkan. Dalam kekacauan yang amat mengerikan itu, Crowley kembali duduk di belakang setirnya, dan menekan gas meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa hari berikutnya, sedan Chrysler yang dikendarai Crowley ditemukan di pinggir jalan, penuh lubang peluru tak terhitung jumlahnya, juga terdapat noda darah yang menghitam di jok mobil. Tapi Crowley maupun temannya tak tertemukan.
Pada 6 Mei 1931, Crowley duduk-duduk bersama Helen Walsh di sebuah mobil yang diparkir di kawasan North Merrick, Long Island. Keduanya sedang menikmati minuman ringan sambil bercanda ketika muncul dua petugas polisi mendekati mobil mereka. Kedua polisi itu—Frederick Hirsch dan Peter Yodice—mencurigai keberadaan mobil tersebut, dan mereka pun mendekati Crowley yang ada di jok depan.
Frederick Hirsch menyapa Crowley, dan berkata, “Boleh saya lihat SIM Anda?”
Sebagai jawaban, Crowley membuka pintu mobilnya, dan menghantamkannya ke tubuh polisi itu. Frederick Hirsch terjatuh ke aspal, dan Crowley segera menembakkan senjatanya. Peter Yodice yang menyaksikan rekannya ditembak, segera mengambil pistolnya, tetapi Crowley lebih cepat. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh polisi satunya itu, dan Peter Yodice pun segera terjungkal ke tanah dengan darah berhamburan dari tubuhnya. Tetapi keduanya belum mati.
Crowley kembali menembakkan senjatanya ke dua polisi yang kesakitan, namun kali ini pelurunya habis. Dengan santai, ia mengambil pistol milik polisi-polisi itu, lalu dengan kedua tangannya ia memberondongkan peluru ke tubuh dua polisi yang telah sekarat. Darah mengalir di aspal, bersimbah menutupi dua tubuh penuh luka. Setelah yakin kedua polisi itu tewas, Crowley masuk ke mobil dan melesat pergi.
Kematian dua polisi itu semakin membakar amarah NYPD. Sepanjang sejarah kejahatan di New York, belum pernah ada orang yang begitu kejam dan brutal seperti Crowley. Ia benar-benar orang paling berbahaya—sosok yang tidak akan ragu mengambil pistol untuk membunuh siapa pun yang dikehendakinya. Menggunakan istilah Komisaris Polisi E.P. Mulrooney, “Crowley akan membunuh, hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”
Karenanya pula, kepolisian New York pun semakin bertekad menangkap penjahat itu, dan seluruh kekuatan dikerahkan untuk memburunya. Perburuan itu membuahkan hasil. Satu hari setelah penembakan dua polisi di atas, pada 7 Mei 1931, NYPD mendapatkan informasi bahwa Crowley ada di sebuah apartemen di kawasan West End Avenue, bersama Helen Walsh dan Rudolph Duringer.
NYPD segera mengumpulkan pasukan berjumlah besar—300 polisi bersenjata senapan dan gas air mata, serta para detektif—untuk mengepung apartemen berlantai lima itu. Penyergapan dan pengepungan itu dipimpin Letnan Christian Salsieder, yang kelak mendapatkan Honorable Mention, penghargaan tertinggi untuk polisi.
Crowley dan teman-temannya kali ini benar-benar terjebak, namun mereka tak mau menyerah begitu saja. Ketika mendapati apartemen telah terkepung, mereka menembakkan senjata dan melemparkan granat ke arah para polisi, yang segera dibalas tembakan sama.
Itu pengepungan dan penyergapan penjahat paling sensasional di New York, dan baku tembak yang mirip film-film action itu menarik perhatian 15.000 orang yang berdebar menontonnya. Ratusan polisi menembaki dinding-dinding apartemen, melemparkan gas air mata, sementara pengeras suara meneriakkan perintah agar Crowley dan teman-temannya menyerah. Dari dalam gedung, Crowley dan teman-temannya membalas tembakan itu, dan kembali melemparkan gas air mata melalui atap apartemen.
Jalanan di New York bagaikan lokasi perang. Desingan peluru dan dentuman senjata terdengar dari sana-sini, beberapa polisi bergelimpangan di jalanan, mobil-mobil terbakar, sementara ribuan orang yang menyaksikan pertempuran itu tercekam kengerian. Di dalam apartemen, dengan berlindung di balik kursi baja, Crowley mengarahkan senjata dan menembakkan peluru ke arah ratusan polisi yang mengepungnya.
Baku tembak itu berlangsung hingga dua jam, dan ada lebih dari 700 peluru yang ditembakkan polisi untuk menundukkan Crowley. Akhirnya, Crowley menyerah setelah terkena empat tembakan, dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Saat diperiksa, mereka menemukan dua senjata tersembunyi di kedua kaki Crowley, dan sehelai kertas bernoda darah tersimpan di saku bajunya.
Sehelai kertas itu berisi catatan yang ditulis Crowley dengan terburu-buru sambil menahan luka-luka di tubuhnya akibat tertembus peluru. Mungkin, karena mengira dirinya akan segera mati, Crowley ingin meninggalkan wasiat. Dan wasiat yang ditulisnya di kertas itu berbunyi, “Untuk mereka yang berkepentingan. Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”
Francis Crowley, penjahat paling bengis di New York, yang dijuluki The Two Guns—karena biasa menggunakan dua senjata di tangannya—dan telah membunuh banyak orang dengan darah dingin itu, menyatakan, “Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”
Pada 21 Januari 1932, Crowley dieksekusi di atas kursi listrik setelah pengadilan New York memvonis hukuman mati atas semua kejahatan dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Tetapi, bahkan sampai di situ pun, Crowley tidak pernah menerima kenyataan atau menyadari dirinya bersalah. Dia masih meyakini dirinya orang baik, yang “tidak tega melukai siapa pun.”
Seperti yang dikatakan orang-orang bijak, cara kita melihat diri sendiri adalah ego kita. Cara orang lain melihat diri kita adalah kepribadian kita.
Berhentilah mendebat, belajarlah memahami.
Yang kita pikir benar bisa jadi kekeliruan besar.
—@noffret
Yang kita pikir benar bisa jadi kekeliruan besar.
—@noffret
Francis Crowley mungkin dilahirkan untuk membunuh. Ia lahir pada 31 Oktober 1912 di New York City, sebagai anak kedua. Ketika bocah itu beranjak besar dan dewasa, dia menjadi kriminal yang membunuh orang dalam jumlah sangat banyak, sehingga menjadikan namanya dikenal sebagai penjahat paling berbahaya di Amerika.
Pada masa remajanya, Francis Crowley telah keluar masuk kantor polisi, menginap di penjara, akibat kenakalannya—dari perkelahian di jalanan, sampai penyerangan dan pencurian. Seiring usianya yang makin dewasa, tingkat kenakalannya semakin berbahaya. Ia mulai merampok, dan membunuh. Saat mengakhiri masa remaja, reputasi Crowley sebagai bandit jalanan telah dikenal oleh semua kantor kepolisian.
Pada 21 Februari 1931, “puncak karir” Crowley dalam dunia kejahatan terjadi. Pada waktu itu, Crowley dan dua temannya—Rudolph Duringer dan Helen Walsh—berjalan-jalan di Bronx, Amerika, dan mengganggu orang-orang yang lewat. Ketika dua polisi patroli muncul untuk menindak mereka, Crowley dengan ringan mengambil senjata dan menembak dua polisi itu hingga bersimbah darah.
Menyadari kedua polisi itu terluka parah akibat tembakannya, Crowley pun melarikan diri. Ia pergi ke wilayah Lexington Avenue, namun di tempat itu ia kembali harus berurusan dengan polisi. Detektif Ferdinand Schaedel, yang kebetulan mengenali wajah Crowley, mencoba menahannya. Tetapi Crowley segera mengambil senjata dan menodongkannya ke perut sang detektif. Dengan muka dingin, Crowley menembakkan pistolnya beberapa kali, hingga isi perut polisi itu berhamburan di jalanan.
Dua hari setelah membunuh Detektif Ferdinand Schaedel, pada 15 Maret, Crowley dan dua temannya pergi ke New Rochelle, dan merampok sebuah bank di sana. Dengan santai mereka menodongkan senjata ke kasir, meminta koper-koper mereka diisi uang, kemudian menembak para penjaga yang mencoba melawan. Ketika mereka keluar dari bank, beberapa mayat bergeletakan, sementara raungan sirine mobil polisi terdengar berdatangan.
Tapi Crowley belum berhenti menjalankan kejahatannya. Satu bulan setelah perampokan bank di New Rochelle, Crowley membobol apartemen milik broker properti Rudolph Adler, di kawasan West Street. Mengetahui ada penjahat yang menyusup ke apartemennya, Rudolph Adler mencoba melawan, tetapi Crowley langsung mengarahkan senjatanya dan menembak Adler lima kali hingga lelaki itu jatuh menghantam lantai dengan darah muncrat ke mana-mana.
Pada 27 April, Crowley membutuhkan kendaraan. Ia dan Rudolph Duringer mencegat mobil yang saat itu lewat di jalanan. Pengemudinya seorang wanita bernama Virginia Brannen. Setelah menghentikan mobil itu, Crowley berkata dengan santai, “Keluarlah, aku perlu mobilmu.”
Virginia Brannen tentu saja menolak permintaan Crowley. Penolakan itu dijawab Crowley dengan tembakan yang segera membuat tubuh Virginia Brannen bersimbah darah di jok mobilnya. Crowley menarik tubuh yang telah tewas itu, dan melemparkannya ke pinggir jalan, di luar Seminari St. Joseph di Yonkers.
Tubuh Virginia Brannen yang telah tewas kemudian ditemukan oleh kepolisian New York, dan bukti-bukti yang ada mengarah kepada Crowley. Kali ini, NYPD (New York Police Department) benar-benar sudah kehabisan kesabaran dalam menghadapi Crowley. Penjahat itu harus segera dihentikan, dan mereka pun segera meningkatkan segala upaya untuk dapat menangkap Crowley.
Lanjut ke sini.
Sosok dalam remang kegelapan itu menatapnya, mendekatinya satu langkah lagi, tanpa suara, dengan kapak tajam di tangannya yang masih meneteskan darah.
“Jangan bunuh aku…” rintih Nirina. Suaranya makin memelas. “Aku… aku mau melakukan apa pun untukmu, tapi biarkan aku hidup. Jangan bunuh aku…”
Sekarang kapak tajam itu terangkat, dan jarak mereka semakin dekat. Nirina tahu, sekali kapak itu terayun kepada dirinya, nasibnya akan sama dengan kawan-kawannya—mati dengan leher menganga mengerikan.
“Kumohon, jangan bunuh aku…” Nirina kini berlutut memelas, meminta dikasihani, dan ia merasakan air matanya jatuh. Lilin di tangannya semakin memendek, jari-jarinya terasa panas dilelehi cairan lilin. Detak jantungnya yang sejak tadi tak beraturan kini semakin tak karuan, karena menyadari ajalnya semakin dekat. “Jangan bunuh aku… Jangan bunuh aku…”
Tidak ada jawaban.
Sosok di hadapannya hanya diam, memandanginya, penuh teror, dengan kapak yang masih terangkat di tangan.
“Jangan bunuh aku…” rintih Nirina. Suaranya makin memelas. “Aku… aku mau melakukan apa pun untukmu, tapi biarkan aku hidup. Jangan bunuh aku…”
Sekarang kapak tajam itu terangkat, dan jarak mereka semakin dekat. Nirina tahu, sekali kapak itu terayun kepada dirinya, nasibnya akan sama dengan kawan-kawannya—mati dengan leher menganga mengerikan.
“Kumohon, jangan bunuh aku…” Nirina kini berlutut memelas, meminta dikasihani, dan ia merasakan air matanya jatuh. Lilin di tangannya semakin memendek, jari-jarinya terasa panas dilelehi cairan lilin. Detak jantungnya yang sejak tadi tak beraturan kini semakin tak karuan, karena menyadari ajalnya semakin dekat. “Jangan bunuh aku… Jangan bunuh aku…”
Tidak ada jawaban.
Sosok di hadapannya hanya diam, memandanginya, penuh teror, dengan kapak yang masih terangkat di tangan.
BUKU INI BISA DIDAPATKAN DI TOKO-TOKO BUKU
DI SELURUH INDONESIA,
ATAU DI TOKO BUKU ONLINE DI INTERNET
DI SELURUH INDONESIA,
ATAU DI TOKO BUKU ONLINE DI INTERNET
Aku sangat letih. Masalahku sudah sangat banyak. Hidupku sudah cukup kacau. Tolong cari orang lain saja untuk diganggu.
Selamat datang bagi yang baru lahir.
Selamat menikmati bagi yang sedang hidup.
Selamat jalan bagi yang sudah mati.
—@noffret
Selamat menikmati bagi yang sedang hidup.
Selamat jalan bagi yang sudah mati.
—@noffret
Selamat malam, Kawan-kawan. Saya menyaksikan wajah-wajah bersinar malam ini di sini, meski mungkin kalian heran dan bertanya-tanya apakah ini memang saya. Well, saya tidak tahu dari mana kalian mendapat beritanya, tetapi fakta bahwa kalian ada di sini malam ini, menunjukkan bagaimana alam semesta telah membawa kabar acara ini kepada kalian, dan sekarang kalian duduk di sini.
Dan menatap saya.
Dan, mungkin, bertanya-tanya apakah ini memang benar saya.
Oh, well, rasanya saya bisa mendengar isi kepala kalian malam ini. Mungkin kalian tidak percaya, atau bahkan kecewa, karena mendapati saya jauh lebih muda dari yang kalian bayangkan. Mungkin, selama ini, kalian membayangkan saya sudah setua ayah atau bahkan kakek kalian, dan sekarang kalian mendapati saya ternyata seumuran adik-adik kalian. Maafkan saya atas kemudaan ini.
Juga maafkan atas kekurangajaran saya selama ini karena mengecoh persepsi kalian. In fact, tulisan-tulisan seseorang memang kadang mengaburkan usia penulisnya. Dan kalian yang selama ini membaca blog serta buku-buku saya mungkin menilai “cukup dalam”, sehingga mempersepsikan saya sudah setua Albus Dumbledore. Sekarang kalian duduk di sini, melihat langsung seorang bocah bernama Hoeda Manis, yang ternyata jauh lebih manis dari yang mungkin kalian bayangkan. Ehmm….
Saya tidak tahu apa yang membuat kalian tertarik menghadiri acara ini. Kenyataan yang terjadi malam ini bahkan di luar ekspektasi saya. Sepuluh menit yang lalu, saat saya akan masuk ke sini, panitia memberitahu bahwa tiket sudah sold out, sementara di luar sana masih berjubel orang-orang yang kehabisan tiket. Itu sama sekali di luar bayangan saya, karena ini bukan acara hiburan untuk cengengesan atau ketawa-ketiwi. Ini adalah acara untuk menghayati tragedi.
Oh, well… selamat datang di Stand-Up Tragedy.
Karena ini stand-up tragedy, maka kalian tidak akan mendengar hal-hal ringan yang membuat ketawa-ketiwi, tetapi akan mendengar jeritan yang teredam, teriakan di larut sunyi malam, dan bara api yang menyala dari dasar neraka Dante. Seperti Homer yang menyanyikan kegelapan dan John Milton meratapi surga yang hilang, saya berdiri di sini untuk menangisi kerinduan… seperti lolong serigala pada rembulan.
Stand-Up Tragedy adalah anak kegelisahan saya, karena menghadapi kenyataan betapa segala hal di dunia ini telah disulap menjadi bahan hiburan. Kita, di zaman ini, sepertinya telah kecanduan pada hiburan sedemikian akut, sehingga bahkan hantu-hantu dari kegelapan pun dipoles dan dibuat lucu demi memenuhi kerakusan kita pada hiburan, sementara tragedi-tragedi kemanusiaan kita jadikan sarana untuk cengengesan. Ada apa dengan anak-anak Adam?
Kerakusan kita pada hiburan pun akhirnya mendorong industri menjadi mesin yang terus melahirkan penghibur-penghibur baru, yang akan terus memberikan hiburan tanpa henti, dari pagi sampai pagi lagi, sehingga mungkin kita mulai kebingungan membedakan mana yang hiburan dan mana kenyataan, mana tragedi dan mana komedi. Yang paling mengkhawatirkan, sebagian masyarakat kita mulai rancu dalam hal ini, sehingga mereka kadang menertawakan tragedi, dan menangisi komedi.
Dan sekarang saya berdiri di sini, menatap wajah-wajah kalian, dengan perasaan syukur, karena di antara sekian banyak orang yang merayakan hidup sebagai hiburan ternyata masih ada yang mau diajak berpikir dan merenung, memahami hidup sebagaimana mestinya, meletakkan tangis dan tawa sesuai proporsinya.
Tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi Jerry Seinfield, Rowan Atkinson, atau bahkan David Sedaris. Beberapa orang dilahirkan untuk menjadi Socrates, Plato, atau Isaac Newton. Agar dunia seimbang, agar senyum dan renung hadir bergantian.
….
….
Well, delapan bulan sebelum saya berdiri di sini, saya direkrut sebuah organisasi internasional untuk melakukan riset pada tempat penampungan anak-anak telantar di beberapa belahan dunia. Kalian yang biasa mengendarai Mercedes atau biasa nyangkruk di Starbucks mungkin tidak akan paham dengan yang akan saya ceritakan ini. Tetapi karena kalian telah duduk di sini, izinkan saya menceritakannya.
Di salah satu tempat penampungan yang saya datangi, saya berbicara dengan seorang anak perempuan berusia sembilan tahun, bernama Narnia. Well, itu bukan nama sebenarnya. Anak perempuan ini, kalian tahu, terpaksa hidup di tempat penampungan itu karena tidak tahu siapa orang tuanya. Tetapi, berdasarkan penelusuran yang kami lakukan, Narnia adalah anak hasil perkosaan yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya.
Sepuluh tahun sebelumnya, seorang bajingan memperkosa seorang wanita di sebuah kolong jembatan, dan meninggalkannya. Si korban perkosaan melaporkan kasus itu pada kepolisian, tapi hasilnya nihil. Si bajingan tak pernah ditemukan. Sementara si wanita korban perkosaan terlalu miskin, sebegitu miskinnya hingga bahkan tidak mampu membiayai pengguguran anak yang dikandungnya dari perkosaan itu.
Jadi hari demi hari, seiring kandungannya kian membesar, wanita itu berusaha sendirian menanggung malu dan aib, hingga seorang bocah perempuan terlahirkan sembilan bulan kemudian. Bocah itu selamat, tapi tidak dengan ibunya. Sebuah yayasan penampungan kemudian mengambil alih bocah tak berdosa itu, dan merawat serta membesarkannya. Hari ini dia, si Narnia, telah menjadi anak perempuan yang cantik.
Jika ini kisah sinetron, mungkin kita bisa membayangkan lelaki yang bertanggung jawab atas kelahiran Narnia tiba-tiba muncul dengan membawa identitas mengejutkan, well... misalnya dia ternyata seorang konglomerat atau semacamnya, dan kemudian menerima Narnia sebagai anaknya. Tetapi, oh sialan, dunia yang kita tinggali ini tidak seperti sinetron yang biasa kita tonton. Di dunia ini, sering kali, si keparat tak pernah berubah menjadi malaikat.
Jadi di sanalah Narnia berada, di tempat penampungan kumuh, bersama bocah-bocah senasib yang sama-sama telantar dan menderita, bersama tangis yang diam-diam mereka isakkan di larut gelap malam, dengan mata… dengan mata… dengan mata… liar dan berlinang.
Tidak semua anak lahir bersama tawa kebahagiaan orang tuanya, karena ada di antara kita yang justru lahir bersama kejahatan dan linangan air mata.
….
….
Sekarang saya melihat wajah-wajah kalian tercekam, seperti menyaksikan horor yang tak diinginkan. Kalian kehilangan tawa, sekarang, dan itu sudah cukup. Nanti, saat kalian keluar dari gedung yang megah ini, mungkin kalian akan mulai melupakannya ketika kembali masuk ke mobil-mobil mewah kalian, tapi tak mengapa. Fakta bahwa kalian mau membayar hanya untuk menghayati tragedi di sini sudah cukup membuktikan bahwa tesis alam semesta sedang membukakan kebenarannya.
Bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia sambil tertawa.
Itu memang tidak mengisyaratkan bahwa kita harus menjalani hidup dengan melankolia, tetapi juga tidak berarti bahwa kita harus menjalani hidup senantiasa dengan tawa.
Seperti hukum keseimbangan yang tak terlihat, yang menjadi aturan main alam semesta, manusia pun dilahirkan bersama keseimbangan. Sebagian ada yang membawakan komedi, namun sebagian lain harus ada yang berani menunjukkan tragedi. Ada yang terlahir untuk menjadi Mister Bean, tetapi sebagian lain sengaja dilahirkan untuk menjadi Socrates. Ada yang hidup sambil tertawa, namun ada yang harus berani menjalani tragedi di tiang salib dengan darah dan luka.
Hidup adalah pilihan, Kawan-kawan, dan pilihan itu sengaja dititipkan Tuhan untuk masing-masing kita dengan diam-diam. Hidup adalah sandiwara, kata Shakespeare. Sebagian dimainkan oleh pelawak, sebagian lagi dimainkan oleh para pemikir. Tidak apa-apa, karena itulah keseimbangan. Sebagian menemukan cara-cara baru untuk tertawa, sebagian lagi menemukan cara-cara baru untuk mengungkap rahasia semesta. Dan Tuhan, diam-diam, mungkin sedang tersenyum menyaksikan kita….
Monster itu pertama kali ditemukan oleh Andy Alder, seorang pemancing di Lincolnshire, Inggris, pada 2001. Ia sedang memancing di sungai Witham dekat Hykeham Utara, Inggris, seperti biasa, ketika umpan di kailnya tanpa sengaja termakan sesosok ikan yang kelak akan membuatnya tak bisa tidur.
Merasakan umpan di kailnya tersentak dengan hebat, Andy Alder pun tersenyum karena menyadari telah mendapatkan ikan yang pastinya berukuran besar. Maka ia pun menarik perlahan tali pancingnya, dan ikan dari dalam air yang tertangkap mata kail itu pun terangkat ke atas.
Alder tersenyum senang. Dugaannya memang benar. Ikan itu berukuran besar, panjangnya sekitar 60 sentimeter. Tetapi, ketika dilepaskan dari mata kail, senyum Alder seketika lenyap. Begitu terlepas dari mata kail, ikan mengerikan itu bergerak dengan cekatan seakan ingin menyerang.
Seketika Andy Alder mundur ketakutan. “What the hell is that...?” ujarnya perlahan sambil berdiri memperhatikan ikan dengan tampilan mengerikan itu. Yang membuat Alder nyaris pingsan, ikan itu tampak bisa berjalan di darat. Seumur hidup, baru kali ini ia menyaksikan ikan bertampang monster yang memiliki kemampuan semacam itu.
Didorong ketakutan dan kengerian, Alder mengambil sebongkah batu, kemudian menghantamkannya pada ikan itu. Setelah yakin ikan itu mati, Alder memasukkannya ke dalam tas memancing yang disiapkannya, kemudian membawanya pulang. Sebagai pemancing profesional, Alder sangat penasaran dengan ikan yang baru ditangkapnya.
Jadi, sesampai di rumah, ia segera memeriksa ikan tersebut. Berdasarkan pemeriksaannya, Alder mendapati ikan itu memiliki mulut yang dipenuhi deretan gigi tajam, yang pasti dapat mengunyah apa pun yang dimangsanya.
Ikan mengerikan yang ditemukan Andy Alder itu pun kemudian menarik perhatian banyak pemancing lain. Laporan Alder, yang menyatakan bahwa ikan itu bisa berjalan di tanah, benar-benar membuat penasaran semua orang. Maka mereka pun lalu mencoba memancing di sungai Witham, dengan harapan bisa mendapatkan ikan serupa. Beberapa pemancing berhasil mendapatkan ikan yang sama, dan—seperti Andy Alder—mereka juga terkejut menyaksikan betapa mengerikannya ikan itu.
“Sejujurnya, saya takut setengah mati,” ujar Andy Alder ketika diwawancarai majalah. “Setelah ditemukan, ikan itu bukan saja membuat panik para pemancing, namun juga para aktivis konservasi alam.”
Dia tidak melebih-lebihkan. Keberadaan ikan asing yang menyerupai monster itu memang tidak hanya membuat para pemancing panik, tetapi juga membuat para aktivis konservasi alam harus mengerahkan tenaga untuk dapat mempelajari spesiesnya.
Pada akhirnya, ikan mengerikan itu disebut Giant Snakehead. Dan, berdasarkan penelitian, ikan itu memang monster dalam arti sebenarnya. Ia akan memangsa apa pun yang dilihatnya, bahkan tidak segan menyerang manusia jika merasa terancam. Karenanya, orang-orang di Inggris pun menjulukinya sebagai “gangsternya ikan”.
Ikan itu dapat tumbuh hingga sepanjang 1 meter—ukuran yang cukup mengerikan bagi seekor monster. Ketika malam hari, khususnya di musim kemarau, ikan yang disebut Giant Snakehead itu akan berjalan di daratan, menggunakan siripnya, mencari tempat yang masih berair. Jika keadaan sangat kering, ikan monster itu dengan terpaksa akan mengubur dirinya sendiri dalam lumpur, dan menunggu hingga tempat itu kembali berair. Giant Snakehead memang memiliki kemampuan bernapas di luar air, karena memiliki organ labirin.
Keberadaan ikan itu, juga kemampuannya yang hebat serta kebuasannya yang mengerikan, seketika menyentak penduduk Inggris, khususnya yang tinggal di kawasan sungai atau perairan.
Ben Weir, seorang wartawan dari majalah memancing, berkata, “Selama hidupku bekerja di bidang pemancingan, belum pernah aku mendengar banyak suara kekhawatiran seperti sekarang. Ikan itu nyata, dan tidak segan-segan menyerang manusia untuk melindungi anak-anak mereka. Para ahli telah meneliti foto-foto ikan itu, dan mengkonfirmasi bahwa ikan itu adalah predator sejati.”
Karena keberadaannya yang mengerikan dan dianggap bahaya, pemerintah Inggris pun telah memasukkan spesies ikan itu dalam daftar hitam spesies yang dilarang untuk diimpor di Inggris. Meski begitu, beberapa penggila ikan masih ada yang nekat menyelundupkannya secara ilegal dengan tujuan untuk dipelihara di akuarium, sama seperti kebanyakan orang yang memelihara ikan arwana yang juga berpotensi berbahaya.
Kegemparan di Inggris yang dipicu oleh Giant Snakehead kemudian juga terjadi di Amerika. Pada awal tahun 2002, publik Amerika dibuat gempar ketika mengetahui monster yang pernah membuat geger di Inggris itu juga terdapat di negara mereka. Para penduduk di sana pun menjulukinya dengan nama yang lebih seram, Franken Fish. Monster itu diketahui menyerang dan menyantap apa pun yang hidup di air. Bagi penduduk Amerika, ikan itu jauh lebih mengerikan dibanding predator lain, semisal piranha.
Karena keberadaan monster itu dianggap meresahkan—dan potensi bahayanya juga dianggap cukup tinggi—pemerintah di beberapa daerah Amerika pun memutuskan untuk memusnahkan ikan itu dari perairan mereka. Mereka menyiapkan para penembak jitu di beberapa sungai yang disinyalir dihuni ikan itu, lalu dipancing dengan darah untuk memaksa ikan-ikan monster itu keluar.
Sepanjang Februari-Maret 2002, beberapa sungai di Amerika pun tampak merah oleh darah, sementara para penembak jitu bersiap di pinggir-pinggir sungai dengan dilengkapi kacamata khusus untuk menangkap objek di balik genangan darah di air. Ketika ikan-ikan itu mulai naik ke atas, para sniper itu pun menembakkan senjatanya, dan sungai berubah menjadi arena perang antara para sniper dengan ikan-ikan monster. Pada waktu-waktu itu, di sungai-sungai Amerika tampak ikan-ikan monster itu bergelimpangan di ambang sungai yang memerah darah.
Geger mengenai ikan monster di Inggris dan Amerika itu pun lalu memicu rasa penasaran para ilmuwan dari seluruh dunia. Mereka berdatangan ke Inggris dan Amerika untuk meneliti ikan mengerikan itu secara lebih dekat, termasuk beberapa ilmuwan dari Indonesia.
Hasilnya, diketahui bahwa ikan monster itu ternyata tidak berasal dari Amerika atau Eropa, tetapi diimpor dari kawasan Asia Tenggara. Ikan itu juga terdapat di perairan Indonesia, dan kita menamai ikan monster itu dengan sebutan... ikan gabus!
Oalaaaaah, sementara orang-orang di Inggris dan Amerika panik juga ketakutan karena keberadaan ikan itu, orang-orang Indonesia malah menjadikannya sebagai bahan pembuat kerupuk, pempek, pepesan, bahkan orang Betawi di Jakarta punya masakan khusus berbahan ikan itu yang disebut gabus pucung. Sementara orang Inggris khawatir diserang ikan itu, dan orang-orang Amerika sampai menerjunkan para sniper, orang-orang Indonesia justru menyantap monster itu dengan lahap.
Oh, well, Indonesia memang hebat!
Merasakan umpan di kailnya tersentak dengan hebat, Andy Alder pun tersenyum karena menyadari telah mendapatkan ikan yang pastinya berukuran besar. Maka ia pun menarik perlahan tali pancingnya, dan ikan dari dalam air yang tertangkap mata kail itu pun terangkat ke atas.
Alder tersenyum senang. Dugaannya memang benar. Ikan itu berukuran besar, panjangnya sekitar 60 sentimeter. Tetapi, ketika dilepaskan dari mata kail, senyum Alder seketika lenyap. Begitu terlepas dari mata kail, ikan mengerikan itu bergerak dengan cekatan seakan ingin menyerang.
Seketika Andy Alder mundur ketakutan. “What the hell is that...?” ujarnya perlahan sambil berdiri memperhatikan ikan dengan tampilan mengerikan itu. Yang membuat Alder nyaris pingsan, ikan itu tampak bisa berjalan di darat. Seumur hidup, baru kali ini ia menyaksikan ikan bertampang monster yang memiliki kemampuan semacam itu.
Didorong ketakutan dan kengerian, Alder mengambil sebongkah batu, kemudian menghantamkannya pada ikan itu. Setelah yakin ikan itu mati, Alder memasukkannya ke dalam tas memancing yang disiapkannya, kemudian membawanya pulang. Sebagai pemancing profesional, Alder sangat penasaran dengan ikan yang baru ditangkapnya.
Jadi, sesampai di rumah, ia segera memeriksa ikan tersebut. Berdasarkan pemeriksaannya, Alder mendapati ikan itu memiliki mulut yang dipenuhi deretan gigi tajam, yang pasti dapat mengunyah apa pun yang dimangsanya.
Ikan mengerikan yang ditemukan Andy Alder itu pun kemudian menarik perhatian banyak pemancing lain. Laporan Alder, yang menyatakan bahwa ikan itu bisa berjalan di tanah, benar-benar membuat penasaran semua orang. Maka mereka pun lalu mencoba memancing di sungai Witham, dengan harapan bisa mendapatkan ikan serupa. Beberapa pemancing berhasil mendapatkan ikan yang sama, dan—seperti Andy Alder—mereka juga terkejut menyaksikan betapa mengerikannya ikan itu.
“Sejujurnya, saya takut setengah mati,” ujar Andy Alder ketika diwawancarai majalah. “Setelah ditemukan, ikan itu bukan saja membuat panik para pemancing, namun juga para aktivis konservasi alam.”
Dia tidak melebih-lebihkan. Keberadaan ikan asing yang menyerupai monster itu memang tidak hanya membuat para pemancing panik, tetapi juga membuat para aktivis konservasi alam harus mengerahkan tenaga untuk dapat mempelajari spesiesnya.
Pada akhirnya, ikan mengerikan itu disebut Giant Snakehead. Dan, berdasarkan penelitian, ikan itu memang monster dalam arti sebenarnya. Ia akan memangsa apa pun yang dilihatnya, bahkan tidak segan menyerang manusia jika merasa terancam. Karenanya, orang-orang di Inggris pun menjulukinya sebagai “gangsternya ikan”.
Ikan itu dapat tumbuh hingga sepanjang 1 meter—ukuran yang cukup mengerikan bagi seekor monster. Ketika malam hari, khususnya di musim kemarau, ikan yang disebut Giant Snakehead itu akan berjalan di daratan, menggunakan siripnya, mencari tempat yang masih berair. Jika keadaan sangat kering, ikan monster itu dengan terpaksa akan mengubur dirinya sendiri dalam lumpur, dan menunggu hingga tempat itu kembali berair. Giant Snakehead memang memiliki kemampuan bernapas di luar air, karena memiliki organ labirin.
Keberadaan ikan itu, juga kemampuannya yang hebat serta kebuasannya yang mengerikan, seketika menyentak penduduk Inggris, khususnya yang tinggal di kawasan sungai atau perairan.
Ben Weir, seorang wartawan dari majalah memancing, berkata, “Selama hidupku bekerja di bidang pemancingan, belum pernah aku mendengar banyak suara kekhawatiran seperti sekarang. Ikan itu nyata, dan tidak segan-segan menyerang manusia untuk melindungi anak-anak mereka. Para ahli telah meneliti foto-foto ikan itu, dan mengkonfirmasi bahwa ikan itu adalah predator sejati.”
Karena keberadaannya yang mengerikan dan dianggap bahaya, pemerintah Inggris pun telah memasukkan spesies ikan itu dalam daftar hitam spesies yang dilarang untuk diimpor di Inggris. Meski begitu, beberapa penggila ikan masih ada yang nekat menyelundupkannya secara ilegal dengan tujuan untuk dipelihara di akuarium, sama seperti kebanyakan orang yang memelihara ikan arwana yang juga berpotensi berbahaya.
Kegemparan di Inggris yang dipicu oleh Giant Snakehead kemudian juga terjadi di Amerika. Pada awal tahun 2002, publik Amerika dibuat gempar ketika mengetahui monster yang pernah membuat geger di Inggris itu juga terdapat di negara mereka. Para penduduk di sana pun menjulukinya dengan nama yang lebih seram, Franken Fish. Monster itu diketahui menyerang dan menyantap apa pun yang hidup di air. Bagi penduduk Amerika, ikan itu jauh lebih mengerikan dibanding predator lain, semisal piranha.
Karena keberadaan monster itu dianggap meresahkan—dan potensi bahayanya juga dianggap cukup tinggi—pemerintah di beberapa daerah Amerika pun memutuskan untuk memusnahkan ikan itu dari perairan mereka. Mereka menyiapkan para penembak jitu di beberapa sungai yang disinyalir dihuni ikan itu, lalu dipancing dengan darah untuk memaksa ikan-ikan monster itu keluar.
Sepanjang Februari-Maret 2002, beberapa sungai di Amerika pun tampak merah oleh darah, sementara para penembak jitu bersiap di pinggir-pinggir sungai dengan dilengkapi kacamata khusus untuk menangkap objek di balik genangan darah di air. Ketika ikan-ikan itu mulai naik ke atas, para sniper itu pun menembakkan senjatanya, dan sungai berubah menjadi arena perang antara para sniper dengan ikan-ikan monster. Pada waktu-waktu itu, di sungai-sungai Amerika tampak ikan-ikan monster itu bergelimpangan di ambang sungai yang memerah darah.
Geger mengenai ikan monster di Inggris dan Amerika itu pun lalu memicu rasa penasaran para ilmuwan dari seluruh dunia. Mereka berdatangan ke Inggris dan Amerika untuk meneliti ikan mengerikan itu secara lebih dekat, termasuk beberapa ilmuwan dari Indonesia.
Hasilnya, diketahui bahwa ikan monster itu ternyata tidak berasal dari Amerika atau Eropa, tetapi diimpor dari kawasan Asia Tenggara. Ikan itu juga terdapat di perairan Indonesia, dan kita menamai ikan monster itu dengan sebutan... ikan gabus!
Oalaaaaah, sementara orang-orang di Inggris dan Amerika panik juga ketakutan karena keberadaan ikan itu, orang-orang Indonesia malah menjadikannya sebagai bahan pembuat kerupuk, pempek, pepesan, bahkan orang Betawi di Jakarta punya masakan khusus berbahan ikan itu yang disebut gabus pucung. Sementara orang Inggris khawatir diserang ikan itu, dan orang-orang Amerika sampai menerjunkan para sniper, orang-orang Indonesia justru menyantap monster itu dengan lahap.
Oh, well, Indonesia memang hebat!
Agar tidak semakin banyak yang salah paham, biar saya jelaskan secara gamblang.
Mbakyu bukan sekadar perempuan yang punya adik. Mbakyu—dalam konteks catatan-catatan saya—adalah wanita dewasa yang elegan. Artinya, meski tidak punya adik, seseorang tetap “mbakyu” kalau memenuhi definisi itu. Begitu pula sebaliknya.
Jadi, tolong, tidak usah repot-repot.
Mbakyu bukan sekadar perempuan yang punya adik. Mbakyu—dalam konteks catatan-catatan saya—adalah wanita dewasa yang elegan. Artinya, meski tidak punya adik, seseorang tetap “mbakyu” kalau memenuhi definisi itu. Begitu pula sebaliknya.
Jadi, tolong, tidak usah repot-repot.
Hanya dua hal yang layak kita wariskan kepada anak-anak kita.
Yang pertama adalah akar, yang kedua adalah sayap.
—Wasiat Para Filsuf
Yang pertama adalah akar, yang kedua adalah sayap.
—Wasiat Para Filsuf
Hidupmu saat ini, Nak, juga hidupmu yang kelak akan kaujalani, adalah hidup yang kaupilih sendiri. Karenanya, kau tidak punya alasan untuk mengeluh, atau menyalahkan siapa pun.
Kalau orang-orang lain pergi ke Barat dan kau ikut pergi ke Barat, dan ternyata kau mendapati kehidupan di Barat adalah kehidupan yang tidak kauinginkan, bahkan kehidupan yang kausesali, maka itu murni kesalahanmu—karena kau memilih untuk ikut-ikutan orang lain.
Begitu pun, kalau kau menyaksikan orang-orang pergi ke Barat dan kau memilih menyendiri ke Timur, lalu kau mendapati kehidupan di Timur bukanlah kehidupan yang kauinginkan, maka itu pun kesalahanmu—karena kau memilih untuk mengikuti kehendakmu sendiri.
Hidup adalah soal pilihan, Nak, tak peduli kau sadar atau tidak.
Apa pun yang terjadi dalam hidupmu, bagaimana pun bentuk kehidupanmu, apa saja yang kauhadapi, semua itu karena kau memilihnya sendiri. Bahkan, aku pun memilikimu sebagai anakku, sekarang, karena aku memang memilihnya. Aku memilih untuk memilikimu.
Orang-orang mungkin bilang ini takdir Tuhan, bahwa kau memang ditakdirkan menjadi anakku, dan aku ditakdirkan menjadi ayahmu. Tapi tidak, takdir Tuhan terjadi karena manusia memang menghendakinya. Aku menghendaki hadirnya seorang anak, maka Tuhan pun kemudian menciptakan dirimu untuk memenuhi takdirku.
Oh, aku tahu apa yang kaupikirkan sekarang, Nak, tapi simpan dulu pikiranmu—karena gelas yang penuh tak bisa lagi menampung air yang jernih.
Dulu, ketika aku seusiamu, sesegar dan semuda dirimu sekarang, dan menganggap dunia ada dalam genggamanku, aku menyaksikan pilihanku terbentang luas. Di saat itu aku pun menyadari bahwa kehidupanku setelah itu adalah murni kehendak dan pilihanku. Apa pun yang akan kupilih, maka itulah yang akan menjadi kehidupanku. Dan begitu pilihan itu kujatuhkan, maka seluruh konsekuensinya berada di dalam tanggung jawab pilihanku.
Lalu aku memilih untuk menikah dengan ibumu—sebagaimana ia pun memilih untuk menikah denganku. Ketika pernikahan itu terjadi, bertahun-tahun lalu, pernikahan itu terjadi karena kami memang memilihnya. Kaulihat sekarang…?
Aku maupun ibumu memilih untuk saling jatuh cinta, dan memilih untuk menikah, dan memilih untuk memiliki anak—memilikimu. Jika kami tidak memilihnya, maka kami pun tidak akan menjalaninya. Sesederhana itu aturannya.
Seperti dalam prasmanan, kau menyaksikan aneka macam hidangan yang disuguhkan, dan kau memiliki hak untuk menikmati makanan apa pun yang kau suka atau kauinginkan. Makanan apa pun yang kaupilih untuk kauambil, maka itulah yang akan kaurasakan, itulah yang akan kaunikmati.
Begitulah hidup. Ia menyuguhkan banyak tawaran dan pilihan, dan masing-masing orang memiliki hak untuk menggunakan pilihannya—kemudian ia akan menjalani pilihannya.
Dulu, ketika aku dan ibumu menikah, aku tahu bahwa kehidupanku setelah itu adalah murni karena pilihanku. Susah atau pun senang perjalanan yang kami lalui, aku tak bisa menyalahkan siapa pun—karena memang itulah hidup yang kupilih, yang kami pilih. Pada waktu itu, aku bisa saja memilih untuk tetap hidup sendiri, melajang seumur hidup… tapi tidak, aku memilih menikah dengan ibumu.
Dan kemudian kau lahir.
Ketika mendengar tangis pertamamu, Nak, aku tahu itu tangis bayi yang diciptakan karena pilihanku. Takdir Tuhan, kata orang-orang, tetapi aku tahu bahwa Tuhan hanya menggenapi takdir yang kuinginkan. Kau dititipkan Tuhan dalam kehidupanku karena aku memang memintanya melalui pilihanku. Dan karena Tuhan menitipkan dirimu kepadaku, itu kuanggap sebagai penghargaan Tuhan atas kepercayaan-Nya kepadaku.
Maka aku pun menjaga titipan itu… menjagamu. Kau adalah wujud yang diciptakan dari keinginan manusia, dan takdir Tuhan—perpaduan antara keinginan dan penetapan.
Dan hari demi hari, ketika menyaksikanmu tumbuh, Nak, aku merasa menyaksikan keajaiban dari sebuah pilihan. Menyaksikanmu dari bayi hingga tumbuh besar, dengan segala kelucuan dan suaramu yang selalu membuatku tersenyum, dan aku mensyukuri pilihanku… aku mensyukuri karena telah memilih untuk memilikimu. Kau adalah keajaibanku, kau adalah pilihanku.
Di waktu-waktu lain, ketika kau begitu rewel dan menjengkelkan, ketika aku begitu lelah karena kehabisan waktu istirahatku demi dirimu, tapi kau tak juga tenang, aku pernah merasa ingin membencimu, ingin marah dan melukaimu. Tetapi, kemudian aku pun menyadari itu bukan kesalahanmu. Yang kuhadapi menyangkut dirimu berawal dan berasal dari pilihanku sendiri, maka aku tak pantas menyalahkan siapa pun, termasuk dirimu. Aku harus bertanggung jawab penuh atas pilihanku.
Jadi aku pun tetap menyayangimu meski kau berkali-kali menjengkelkanku. Aku tetap mencintai dan mengasihimu, meski kau berulang kali menyakiti perasaanku, merisaukan pikiranku, bahkan mengacaukan hidupku. Kau bukan sekadar anakku, kau adalah pilihanku—sebentuk hidup yang memang kupilih. Jadi aku pun harus menanggung seluruh konsekuensi pilihan itu.
Jadi, Nak, kaulihat sekarang…?
Kalau saja dulu, bertahun-tahun lalu, aku memilih untuk tidak menikah dengan ibumu, maka hari ini pun aku tidak akan memilikimu. Mungkin, kalau memang itu pilihan yang dulu kuambil, maka sekarang aku masih hidup sendirian, dengan segala keasyikan dan kesibukanku yang biasa seperti saat masih lajang… dan tak pernah melihatmu, apalagi mengenalmu.
Dan, aku ingin kau tahu, Nak, aku bersyukur karena telah memilih untuk memilikimu. Aku bahagia dengan pilihanku, meski di dalamnya juga kadang terdapat kesedihan dan rasa frustrasi. Aku bersyukur karena telah memilih untuk menikah dengan ibumu, dan aku bahagia karena telah memilih untuk menjadi ayahmu. Kau keajaiban terbesar yang pernah kusaksikan dalam hidup… sebuah keajaiban yang pernah kuciptakan karena sebuah pilihan.
Dan sekarang kau telah tumbuh besar, Nak, kau bukan lagi anak kecilku yang dulu biasa kugendong dan tampak sangat rapuh. Kau sudah dewasa sekarang, dan setiap kali melihatmu, aku selalu merasa melihat diriku sendiri, bertahun-tahun lalu. Kau anakku, tetapi aku tahu kau memiliki kehidupanmu sendiri—suatu pilihan yang kini juga kaupilih.
Besok, aku sudah tak bisa lagi melihatmu di rumah, karena kau harus pergi menuntut ilmu ke tempat jauh yang kauinginkan. Aku hanya bisa mendukung dan mendoakan… semoga pilihan yang kaumbil adalah pilihan terbaik yang kauinginkan. Aku tahu, aku pasti akan merasa kehilanganmu, namun pergilah… ikuti pilihan hidupmu. Ada sepasang sayap di punggungmu, dan aku tahu sungguh tak adil jika melarangmu menggunakan sayap-sayap itu.
Pergilah… ikuti kata hatimu, kejarlah pilihan hidupmu. Hanya satu hal yang kuingin agar kau selalu ingat… bahwa hidup adalah soal pilihan. Hidupmu setelah ini adalah hidup yang kaupilih sendiri. Karenanya, kau tidak punya alasan untuk mengeluh, atau menyalahkan siapa pun. Belajarlah untuk bertanggung jawab dalam pilihanmu—karena hidupmu adalah pilihanmu.
Buatlah ayahmu tersenyum, dan buatlah ayahmu ini bersyukur sekali lagi, karena telah memilih untuk memilikimu. Selamat jalan, Nak, doaku mengiringi setiap langkahmu.
Tidak ada takdir, selain yang kita pilih.
—@noffret
—@noffret
Ibu Baik Hati itu menerima si bocah lelaki bekerja di tempatnya—baginya hal biasa, dan di tempatnya ada bocah-bocah lain yang juga bekerja di sana. Tetapi, sejak pertama kali melihatnya, si ibu sudah melihat keanehan pada bocah itu. Dia tidak seperti bocah-bocah lelaki lainnya, begitu yang sering ia katakan pada para tetangga.
Selain pendiam, kata Ibu Baik Hati, bocah lelaki itu juga tidak pernah makan nasi. Setiap siang, ketika bocah-bocah lain pergi ke warung untuk makan nasi, bocah lelaki itu terlihat duduk sendirian di tempatnya semula, sambil memakan roti murahan yang telah dibawanya dari rumah. Selain itu, si bocah juga sering terlihat merokok klobot. (Klobot; rokok kretek yang biasa diisap orang tua).
“Kenapa kamu tidak pernah makan nasi?” tanya si ibu suatu hari pada bocah itu.
“Karena saya suka roti,” jawab si bocah singkat.
“Setiap hari kamu makan roti? Sarapan? Juga makan malam?”
“Yeah…”
“Tidak makan nasi sama sekali?”
“Uh, kadang makan nasi juga.”
Kemudian si ibu memperhatikan rokok yang ada di tangan si bocah. Dan bertanya, “Kenapa kamu merokok klobot?”
“Karena saya suka rokok. Dan rokok filter mahal, jadi saya pilih rokok ini.”
Si ibu tidak pernah yakin dengan nama bocah itu, selain juga ia sulit menghafalkan setiap nama dari puluhan orang yang bekerja di sana. Karenanya, setiap kali menyebut si bocah, dia menyebutnya, “bocah yang merokok klobot.” Dan sebutan itu pula yang kemudian dipakai di tempat kerja itu. Bocah itu sering mendengar orang-orang di sekitarnya menyebut, “Kamu lihat bocah yang merokok klobot?”
Si bocah menganggap sebutan itu sangat hebat—terdengar aneh, dan misterius. Dan dia menyukainya. Juga tersenyum setiap kali mendengar orang menyebutkannya.
Tempat bekerjanya waktu itu adalah sebuah pabrik kecil tempat pengolahan batik yang dimiliki seorang pengusaha di luar kota. Si pengusaha sengaja membangun tempat pengolahan batik di kota si bocah, dengan tujuan agar seluruh pengerjaan batiknya diurus orang-orang di sana. Dan si bocah lelaki yang merokok klobot adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan jalannya pabrik itu.
Para pekerja di sana menyebut si pengusaha dengan panggilan “Bos Besar”, dan si Bos Besar sering membagi-bagi duit setiap kali datang. Karena itu kehadirannya selalu dinantikan, dan disambut keriangan senyum. Bagi para pekerja di sana, juga bagi si bocah yang merokok klobot, Bos Besar adalah orang yang baik.
Suatu hari, Bos Besar datang ke tempat kerja itu—jadwal rutin yang biasa. Biasanya, dia akan memperhatikan proses pekerjaan di sana, memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada, dan kemudian pulang dengan membawa tumpukan batik yang telah selesai diproses. Oh ya, tentu saja setelah membagi-bagi duit bagi para pekerjanya yang selalu rajin.
Siang itu, ketika jam istirahat kerja tiba, para pekerja pergi ke warung untuk mencari makan, sementara Bos Besar makan siang bersama keluarga Ibu Baik Hati. Tidak jauh dari tempat mereka, si bocah lelaki baru saja menyelesaikan santap siangnya dengan sepotong roti murahan, dan kemudian menikmati rokok sambil membaca sebuah buku.
“Hei, Nak…!”
Suara panggilan si Bos Besar membuyarkan pikiran si bocah yang sedang asyik membaca bukunya. Dan ketika ia menoleh, Bos Besar terlihat melambaikan tangannya, dan berkata, “Ayo makan bareng kami.”
“Saya sudah makan,” jawab si bocah dengan tidak nyaman.
“Dari tadi kamu tidak terlihat makan? Ayolah, mari makan bareng!”
“Uh, saya sudah makan.”
Melihat ketidaknyamanan si bocah, Ibu Baik Hati kemudian berkata pada Bos Besar, “Dia memang tidak pernah makan siang. Setiap hari cuma makan roti.”
Kemudian mereka terlihat bicara serius, namun dengan bisik-bisik, sehingga si bocah tidak bisa mendengarnya. Tetapi dia memang tidak ingin mendengar. Dia ingin kembali menikmati bukunya.
Seusai makan siang, Bos Besar mendekati bocah itu, memperhatikan rokok klobot yang ada di tangan kurusnya. Mungkin, baginya, itu seperti pemandangan suram dari lukisan gotik Abad Pertengahan—seorang bocah kurus, dekil, dan merokok klobot. Sambil tersenyum, Bos Besar berkata, “Jadi rupanya benar kamu merokok klobot.”
Si bocah, mau tak mau, ikut tersenyum—karena dia selalu tersenyum setiap kali mendengar sebutan itu.
“Apa yang sedang kamu baca itu?” tanya Bos Besar sambil menujukan pandangannya pada buku di tangan si bocah.
Si bocah hanya menunjukkan sampul bukunya. Sebuah buku kumal, dengan beberapa halaman yang terlepas, dengan sampul yang telah koyak. Tetapi judulnya masih terbaca—dan Bos Besar terbelalak.
“Kamu membaca buku itu…???” Nadanya seperti mendengar kalau Nabi Isa akan turun ke bumi besok pagi. Mungkin, menurutnya, bocah yang merokok klobot tidak seharusnya membaca ‘A Brief History of Time’.
Si bocah kebingungan menyaksikan pekikan si Bos Besar. Dengan tergagap dia berkata, “Uh, saya harap… saya tidak melanggar peraturan kerja di sini?”
Bos Besar tertawa. “Tentu saja tidak! Cuma, uh, kenapa kamu sampai membaca buku itu?”
“Karena cuma buku ini yang saya temukan di loakan,” jawab si bocah dengan malu-malu.
“Kamu suka membaca?”
“Yeah…”
Bos Besar manggut-manggut. “Bagus. Saya senang melihat orang yang rajin membaca. Menurut Ibu tadi, kamu juga sangat rajin bekerja di sini. Semua laporan tentangmu membuat saya senang. Saya harap, kamu tetap menjadi pekerja saya selamanya.”
Tetapi bocah itu tidak bekerja di sana selamanya.
Hanya berselang beberapa bulan setelah percakapan dengan si Bos Besar, bocah itu telah keluar dari sana—karena mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Bos Besar mencoba mempertahankannya, meminta agar si bocah tetap bekerja untuknya, menjanjikan akan membayarnya sebanyak yang dijanjikan orang lain kepadanya, tetapi si bocah tahu bagaimana membangun takdirnya—dan ia pun tahu takdirnya tidak di tempat itu. Bos Besar mungkin lupa bahwa bocah lelaki yang merokok klobot rajin belajar.
Dan waktu-waktu berlalu, dan bocah itu tumbuh besar—dan dewasa. Masa-masa ketika ia makan roti di siang hari waktu jam istirahat kerja, telah menjadi bagian nostalgia. Masa-masa ketika ia merokok klobot sambil membaca buku lusuh dan kumal, telah menjadi masa yang seolah telah berabad-abad lamanya.
Hari ini, bocah itu masih suka makan roti, namun tidak lagi merokok klobot. Tetapi, saya masih suka tersenyum setiap kali mengingat sebutan itu.
Selain pendiam, kata Ibu Baik Hati, bocah lelaki itu juga tidak pernah makan nasi. Setiap siang, ketika bocah-bocah lain pergi ke warung untuk makan nasi, bocah lelaki itu terlihat duduk sendirian di tempatnya semula, sambil memakan roti murahan yang telah dibawanya dari rumah. Selain itu, si bocah juga sering terlihat merokok klobot. (Klobot; rokok kretek yang biasa diisap orang tua).
“Kenapa kamu tidak pernah makan nasi?” tanya si ibu suatu hari pada bocah itu.
“Karena saya suka roti,” jawab si bocah singkat.
“Setiap hari kamu makan roti? Sarapan? Juga makan malam?”
“Yeah…”
“Tidak makan nasi sama sekali?”
“Uh, kadang makan nasi juga.”
Kemudian si ibu memperhatikan rokok yang ada di tangan si bocah. Dan bertanya, “Kenapa kamu merokok klobot?”
“Karena saya suka rokok. Dan rokok filter mahal, jadi saya pilih rokok ini.”
Si ibu tidak pernah yakin dengan nama bocah itu, selain juga ia sulit menghafalkan setiap nama dari puluhan orang yang bekerja di sana. Karenanya, setiap kali menyebut si bocah, dia menyebutnya, “bocah yang merokok klobot.” Dan sebutan itu pula yang kemudian dipakai di tempat kerja itu. Bocah itu sering mendengar orang-orang di sekitarnya menyebut, “Kamu lihat bocah yang merokok klobot?”
Si bocah menganggap sebutan itu sangat hebat—terdengar aneh, dan misterius. Dan dia menyukainya. Juga tersenyum setiap kali mendengar orang menyebutkannya.
Tempat bekerjanya waktu itu adalah sebuah pabrik kecil tempat pengolahan batik yang dimiliki seorang pengusaha di luar kota. Si pengusaha sengaja membangun tempat pengolahan batik di kota si bocah, dengan tujuan agar seluruh pengerjaan batiknya diurus orang-orang di sana. Dan si bocah lelaki yang merokok klobot adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan jalannya pabrik itu.
Para pekerja di sana menyebut si pengusaha dengan panggilan “Bos Besar”, dan si Bos Besar sering membagi-bagi duit setiap kali datang. Karena itu kehadirannya selalu dinantikan, dan disambut keriangan senyum. Bagi para pekerja di sana, juga bagi si bocah yang merokok klobot, Bos Besar adalah orang yang baik.
Suatu hari, Bos Besar datang ke tempat kerja itu—jadwal rutin yang biasa. Biasanya, dia akan memperhatikan proses pekerjaan di sana, memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada, dan kemudian pulang dengan membawa tumpukan batik yang telah selesai diproses. Oh ya, tentu saja setelah membagi-bagi duit bagi para pekerjanya yang selalu rajin.
Siang itu, ketika jam istirahat kerja tiba, para pekerja pergi ke warung untuk mencari makan, sementara Bos Besar makan siang bersama keluarga Ibu Baik Hati. Tidak jauh dari tempat mereka, si bocah lelaki baru saja menyelesaikan santap siangnya dengan sepotong roti murahan, dan kemudian menikmati rokok sambil membaca sebuah buku.
“Hei, Nak…!”
Suara panggilan si Bos Besar membuyarkan pikiran si bocah yang sedang asyik membaca bukunya. Dan ketika ia menoleh, Bos Besar terlihat melambaikan tangannya, dan berkata, “Ayo makan bareng kami.”
“Saya sudah makan,” jawab si bocah dengan tidak nyaman.
“Dari tadi kamu tidak terlihat makan? Ayolah, mari makan bareng!”
“Uh, saya sudah makan.”
Melihat ketidaknyamanan si bocah, Ibu Baik Hati kemudian berkata pada Bos Besar, “Dia memang tidak pernah makan siang. Setiap hari cuma makan roti.”
Kemudian mereka terlihat bicara serius, namun dengan bisik-bisik, sehingga si bocah tidak bisa mendengarnya. Tetapi dia memang tidak ingin mendengar. Dia ingin kembali menikmati bukunya.
Seusai makan siang, Bos Besar mendekati bocah itu, memperhatikan rokok klobot yang ada di tangan kurusnya. Mungkin, baginya, itu seperti pemandangan suram dari lukisan gotik Abad Pertengahan—seorang bocah kurus, dekil, dan merokok klobot. Sambil tersenyum, Bos Besar berkata, “Jadi rupanya benar kamu merokok klobot.”
Si bocah, mau tak mau, ikut tersenyum—karena dia selalu tersenyum setiap kali mendengar sebutan itu.
“Apa yang sedang kamu baca itu?” tanya Bos Besar sambil menujukan pandangannya pada buku di tangan si bocah.
Si bocah hanya menunjukkan sampul bukunya. Sebuah buku kumal, dengan beberapa halaman yang terlepas, dengan sampul yang telah koyak. Tetapi judulnya masih terbaca—dan Bos Besar terbelalak.
“Kamu membaca buku itu…???” Nadanya seperti mendengar kalau Nabi Isa akan turun ke bumi besok pagi. Mungkin, menurutnya, bocah yang merokok klobot tidak seharusnya membaca ‘A Brief History of Time’.
Si bocah kebingungan menyaksikan pekikan si Bos Besar. Dengan tergagap dia berkata, “Uh, saya harap… saya tidak melanggar peraturan kerja di sini?”
Bos Besar tertawa. “Tentu saja tidak! Cuma, uh, kenapa kamu sampai membaca buku itu?”
“Karena cuma buku ini yang saya temukan di loakan,” jawab si bocah dengan malu-malu.
“Kamu suka membaca?”
“Yeah…”
Bos Besar manggut-manggut. “Bagus. Saya senang melihat orang yang rajin membaca. Menurut Ibu tadi, kamu juga sangat rajin bekerja di sini. Semua laporan tentangmu membuat saya senang. Saya harap, kamu tetap menjadi pekerja saya selamanya.”
Tetapi bocah itu tidak bekerja di sana selamanya.
Hanya berselang beberapa bulan setelah percakapan dengan si Bos Besar, bocah itu telah keluar dari sana—karena mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Bos Besar mencoba mempertahankannya, meminta agar si bocah tetap bekerja untuknya, menjanjikan akan membayarnya sebanyak yang dijanjikan orang lain kepadanya, tetapi si bocah tahu bagaimana membangun takdirnya—dan ia pun tahu takdirnya tidak di tempat itu. Bos Besar mungkin lupa bahwa bocah lelaki yang merokok klobot rajin belajar.
Dan waktu-waktu berlalu, dan bocah itu tumbuh besar—dan dewasa. Masa-masa ketika ia makan roti di siang hari waktu jam istirahat kerja, telah menjadi bagian nostalgia. Masa-masa ketika ia merokok klobot sambil membaca buku lusuh dan kumal, telah menjadi masa yang seolah telah berabad-abad lamanya.
Hari ini, bocah itu masih suka makan roti, namun tidak lagi merokok klobot. Tetapi, saya masih suka tersenyum setiap kali mengingat sebutan itu.
Bayi-bayi terlelap di pelukan malam.
Anak-anak menyanyikan kidung rembulan.
Orang-orang dewasa menghitung bintang.
—Twitter, 23 April 2012
Setiap detik, seorang bayi dilahirkan ke dunia.
—Twitter, 24 April 2012
Seperti daun gugur yang terlepas dari ranting cabang,
bayi lahir dengan keluar dari keabadian.
—Twitter, 24 April 2012
Tidak ada bayi yang tertawa saat lahir,
karena tidak ada kemurnian yang senang meninggalkan hening.
—Twitter, 24 April 2012
Bayi-bayi bahagia dalam keheningannya,
namun mereka dipaksa keluar demi pemuasan ego manusia.
—Twitter, 24 April 2012
Manusia berusaha memiliki bayi karena sadar mereka tidak abadi.
Ironisnya, mereka memaksa bayi keluar dari hidup yang abadi.
—Twitter, 24 April 2012
Seseorang berkata bayinya bahagia. Aku ingin sekali
tahu bagaimana ia bisa mengetahuinya.
—Twitter, 24 April 2012
Aku mencintai bayi-bayi yang dilahirkan.
Aku lebih mencintai bayi-bayi yang tak pernah dilahirkan.
—Twitter, 24 April 2012
Jika kebebasan untuk memilih telah diberikan sejak manusia
menjadi bayi, aku ragu mereka memilih untuk dilahirkan.
—Twitter, 24 April 2012
Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku tidak meminta kembali
menjadi bayi. Aku akan meminta untuk tidak dilahirkan.
—Twitter, 24 April 2012
Sebelum menjadi bayi, aku hidup bebas dan abadi.
Setelah lahir, aku disiksa dan dipenjara oleh banyak hal yang tak kuingini.
—Twitter, 24 April 2012
Aku takut memiliki bayi yang akan mengutuk kehidupannya,
sebagaimana aku menyesali lahirku ke dunia.
—Twitter, 24 April 2012
Kepada bayi-bayi yang lahir detik ini, aku berdoa
semoga kalian bisa memperoleh tangan-tangan penuh kasih.
—Twitter, 24 April 2012
Kepada masa depanku, jika ditakdirkan memiliki bayi,
aku tak akan lupa pernah menulis rangkaian kata-kata ini.
—Twitter, 24 April 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Anak-anak menyanyikan kidung rembulan.
Orang-orang dewasa menghitung bintang.
—Twitter, 23 April 2012
Setiap detik, seorang bayi dilahirkan ke dunia.
—Twitter, 24 April 2012
Seperti daun gugur yang terlepas dari ranting cabang,
bayi lahir dengan keluar dari keabadian.
—Twitter, 24 April 2012
Tidak ada bayi yang tertawa saat lahir,
karena tidak ada kemurnian yang senang meninggalkan hening.
—Twitter, 24 April 2012
Bayi-bayi bahagia dalam keheningannya,
namun mereka dipaksa keluar demi pemuasan ego manusia.
—Twitter, 24 April 2012
Manusia berusaha memiliki bayi karena sadar mereka tidak abadi.
Ironisnya, mereka memaksa bayi keluar dari hidup yang abadi.
—Twitter, 24 April 2012
Seseorang berkata bayinya bahagia. Aku ingin sekali
tahu bagaimana ia bisa mengetahuinya.
—Twitter, 24 April 2012
Aku mencintai bayi-bayi yang dilahirkan.
Aku lebih mencintai bayi-bayi yang tak pernah dilahirkan.
—Twitter, 24 April 2012
Jika kebebasan untuk memilih telah diberikan sejak manusia
menjadi bayi, aku ragu mereka memilih untuk dilahirkan.
—Twitter, 24 April 2012
Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku tidak meminta kembali
menjadi bayi. Aku akan meminta untuk tidak dilahirkan.
—Twitter, 24 April 2012
Sebelum menjadi bayi, aku hidup bebas dan abadi.
Setelah lahir, aku disiksa dan dipenjara oleh banyak hal yang tak kuingini.
—Twitter, 24 April 2012
Aku takut memiliki bayi yang akan mengutuk kehidupannya,
sebagaimana aku menyesali lahirku ke dunia.
—Twitter, 24 April 2012
Kepada bayi-bayi yang lahir detik ini, aku berdoa
semoga kalian bisa memperoleh tangan-tangan penuh kasih.
—Twitter, 24 April 2012
Kepada masa depanku, jika ditakdirkan memiliki bayi,
aku tak akan lupa pernah menulis rangkaian kata-kata ini.
—Twitter, 24 April 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Langganan:
Postingan (Atom)