Peradaban umat manusia pasti akan jauh lebih baik,
kalau saja semua orang menyukai nasi keras.
—@noffret
kalau saja semua orang menyukai nasi keras.
—@noffret
Salah satu hal yang sangat saya benci di muka bumi ini adalah nasi lembek. Sebegitu bencinya, saya bisa marah dan mengamuk jika harus berhadapan dengan nasi lembek. Selapar apa pun, saya lebih memilih menahan lapar daripada harus memakan nasi lembek. Nasi lembek yang saya maksud adalah nasi yang menggumpal, yang butiran nasinya saling lengket dan sulit dipisahkan. Intinya, nasi yang tidak enak.
Suatu hari, dalam sebuah perjalanan, saya bersama seorang teman masuk ke rumah makan. Kami memesan nasi dan pecel lele. Pecel lelenya enak, digoreng sampai garing, tapi nasinya lembek. Saya hanya memakan pecel lelenya, dan tidak mau menyentuh nasi itu sedikit pun. Ketika keluar dari rumah makan itu, saya misuh-misuh. Rumah makan macam apa yang menyediakan nasi selembek itu?
Lalu teman saya bertanya, “Segitu antinya kamu sama nasi lembek?”
“Memang!” sahut saya dengan jutek. “Jika kamu menyodorkan nasi lembek ke depanku, dan menodongkan pistol di kepalaku, maka aku lebih memilih ditembak mati daripada harus memakan nasi lembek.”
Sampai di sini, mungkin orang bertanya-tanya, kenapa saya sampai segitunya? Kenapa saya sampai memilih mati daripada harus makan nasi lembek?
Ini berhubungan dengan trauma masa kecil saya. Trauma yang dilahirkan dari kemiskinan, sebentuk trauma yang kelak akan menunjukkan kepada saya, sebuah pelajaran penting tentang hidup.
....
....
Meski tinggal di Indonesia, dan menjadi bagian masyarakat Jawa, namun sampai sekarang saya belum menganggap nasi sebagai makanan pokok. Dalam sehari, biasanya saya hanya makan nasi satu kali, selebihnya saya makan roti atau makanan lain. Dan setiap kali makan nasi, saya akan memastikan nasi yang saya makan adalah nasi keras. Jika ternyata nasi yang harus saya makan hari itu lembek, maka saya tidak makan nasi sama sekali, dan terus makan roti.
Kebiasaan makan roti itu telah tertanam pada diri saya sejak kecil. Sebenarnya, keluarga saya menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Nyokap saya membuat nasi setiap hari. Tetapi, nasi yang dibuat nyokap selalu lembek. Dulu, waktu saya masih kecil sekali, saya tidak tahu bahwa ada nasi lain yang tidak lembek. Jadi, waktu itu, saya pun makan nasi buatan nyokap setiap hari. Hal itu saya jalani sampai kelas dua SD.
Hingga suatu hari, keluarga kami berkunjung ke rumah nenek di Jakarta. (Kakek dan nenek saya—dari pihak ibu—tinggal di Jakarta). Selama tinggal di rumah nenek, saya mendapati nasi buatan nenek jauh berbeda dengan nasi buatan nyokap. Nasi buatan nenek tidak lembek, butiran nasinya keras dan saling terlepas, tapi empuk—pokoknya jauh lebih enak dibanding nasi buatan nyokap. Waktu itulah saya baru menyadari bahwa di dunia ini ternyata ada nasi yang enak, yaitu nasi yang tidak lembek.
Ketika kami pulang, saya harus kembali menghadapi nasi buatan nyokap, dan harus kembali memakan nasi lembek. Karena penasaran, saya bertanya pada nyokap, kenapa nasi buatan nenek bisa keras dan enak, sementara nasi buatan nyokap selalu lembek? Nyokap menjelaskan, bahwa nasi buatan nenek dihasilkan dari beras berkualitas baik yang harganya mahal, sementara nasi buatan nyokap dibuat dari beras murah yang tidak berkualitas.
Jadi itulah inti masalahnya, pikir saya baru paham. Waktu itu saya masih kelas dua SD, tapi saya telah memahami bahwa keluarga kami hidup dalam kemiskinan. Sebegitu miskinnya, sampai nyokap harus terpaksa membeli beras yang murah, dan saya harus terpaksa memakan nasi lembek yang dihasilkan dari beras tak berkualitas.
Sejak itu, saya mulai tidak mau memakan nasi, dan minta roti saja. Semurah-murahnya roti, saya lebih bisa menikmatinya daripada harus makan nasi lembek. Nyokap tidak keberatan. Jadi, sejak itu pula, saya lebih sering makan roti setiap hari, dan baru mau makan nasi jika nyokap kebetulan bisa membeli beras yang baik dan nasi yang dihasilkannya tidak lembek.
Makan roti setiap hari berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian menjadi kebiasaan hingga saya besar. Ketika kelas lima SD, saya terpengaruh pergaulan, dan hidup di jalanan. Di jalanan pula, bersama anak-anak miskin lainnya, saya mulai berusaha mencari uang dengan menjadi tukang parkir liar. Hasilnya tidak banyak, namanya juga hasil malak orang. Namun dari uang yang saya peroleh di jalanan itulah, saya bisa membeli nasi yang keras di warung makan.
Sejak itu, makan nasi keras—yang biasanya saya peroleh di warung makan—menjadi kebiasaan saya. Sejak itu pula, saya hanya mau makan nasi keras, dan tidak pernah mau—apa pun alasannya—memakan nasi lembek. Makan nasi lembek mengingatkan saya pada nasi buatan nyokap, mengingatkan saya pada beras murahan yang tak berkualitas, mengingatkan saya pada pahitnya kemiskinan.
Suatu malam yang cukup larut, sehabis makan di warung, saya duduk sendirian di bawah pohon beringin, dan merokok. (Saya sudah kenal rokok sejak SD, sejak mulai hidup di jalanan). Dalam duduk sendirian itulah, saya mulai berpikir pertama kalinya, bahwa di dunia ini ada orang-orang yang terpaksa menerima hidup apa adanya karena kemiskinan. Bahwa di dunia ini ada orang-orang yang terpaksa memakan nasi lembek tidak enak yang dihasilkan dari beras tak berkualitas, karena kemiskinan.
Selama berteman dan akrab dengan sesama bocah lain di jalanan, saya tahu bocah-bocah itu juga produk kemiskinan seperti saya, dan mereka terpaksa mencari uang di jalanan karena himpitan kemelaratan. Dan, mungkin, orang tua mereka di rumah juga membuat nasi lembek seperti orang tua saya, karena tak bisa membeli beras yang baik untuk dimakan.
Karena kemiskinan, orang-orang terpaksa memakan nasi lembek yang tidak enak. Karena kemiskinan, orang-orang mau menerima sesuatu yang tidak layak. Karena kemiskinan, orang-orang terpaksa menjalani hidup yang tidak mereka inginkan.
Oh, well, semua orang ingin menikmati makanan yang enak. Semua orang ingin mendapatkan sesuatu yang layak. Semua orang ingin menjalani hidup yang sesuai mereka inginkan. Tetapi tidak semua orang mampu meraihnya, tidak setiap orang bisa memilikinya. Kemiskinan selalu menjadi alasan, karena kemiskinan itulah yang menjerat dan melemparkan siapa pun untuk menjalani hidup buruk yang tidak mereka inginkan.
Lalu saya melihat diri sendiri. Saya juga lahir dalam keluarga yang miskin, saya tumbuh besar bersama segala macam kekurangan dan nasi lembek setiap hari yang harus saya terima. Tapi saya tidak mau menerimanya. Saya tidak mau memakan nasi itu, dan mencari cara agar tidak kelaparan karenanya.
Tiba-tiba, dalam pikiran saya yang waktu itu masih kecil, saya seperti mendapatkan kesadaran baru. Bahwa jika saya tidak mau menerima apa pun, kecuali yang saya inginkan, maka saya akan memperolehnya. Meski untuk itu saya harus bekerja mencari uang—seperti yang waktu itu saya lakukan di jalanan. Intinya, saya tidak mau menerima nasi lembek, dan hanya mau menerima nasi keras. Karena saya bekerja keras untuk mendapatkannya, maka saya pun mendapatkannya.
Itu aturan yang sederhana, pikir saya. Sederhana, tapi penting. Dan kelak, ketika saya tumbuh semakin besar dan dewasa, aturan sederhana itu pula yang menjadi prinsip hidup saya. Bahwa saya hanya mau menerima yang terbaik, sesuai yang saya inginkan. Dan jika kita bekerja keras untuk mencapai apa pun yang kita inginkan, bahkan kita rela mati untuknya, maka alam semesta akan menjadi saksi bahwa kita pasti mendapatkannya.
Tak perlu banyak teori. Itulah yang kemudian saya lakukan. Itulah yang sekarang saya dapatkan. Saya hanya menginginkan yang terbaik—makanan yang terbaik, kehidupan yang terbaik—dan itulah yang sekarang saya peroleh. Saya tidak mau menerima kemiskinan, maka kemiskinan pun pergi meninggalkan saya.
Jadi, inilah pelajaran pentingnya. Kalau kita mau menerima apa pun yang disodorkan kehidupan kepada kita, kalau kita mau menjalani apa pun yang diberikan kehidupan kepada kita, maka itulah yang akan kita terima, yang akan kita jalani—meski mungkin dengan terpaksa. Kalau kita mau menerima kemiskinan dan kekurangan, maka kemiskinan dan kekurangan itulah yang akan menjadi milik kita.
Sebaliknya, jika kita hanya mau menerima yang terbaik, dan kita bekerja keras untuk mencapainya, bahkan kita rela mati untuknya, maka yang terbaik itulah yang akan menjadi milik kita. Segala hal yang terbaik di dunia ini memiliki harga, dan kita baru bisa memilikinya jika mau membayar harganya. Harganya adalah kerja keras, ketekunan, kegigihan belajar, sikap pantang menyerah, dan keyakinan penuh bahwa kita akan mendapatkan yang kita inginkan.
Hidup adalah soal pilihan. Sebagian orang memilih terpaksa hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Sebagian lagi memilih keluar dari kemiskinan, dan bekerja keras untuk mendapatkan yang terbaik, dan hidup dalam keberlimpahan.
Hidup adalah soal pilihan. Sebagian orang menjalani hidup dengan keterpaksaan, sebagian lagi menjalani hidup dengan kebahagiaan. Bukan kehidupan yang menentukan siapa kita, tapi diri kitalah yang menentukan seperti apa hidup kita.
Hidup adalah soal pilihan. Dan saya memilih untuk makan nasi keras yang dihasilkan dari beras berkualitas. Itu setara dengan idealisme dan nilai-nilai hidup yang saya yakini, yang untuknya saya rela mati.