Kalau Descartes punya Twitter, mungkin dia akan
menulis tweet, “Aku ngoceh, maka aku ada.”
—@noffret
menulis tweet, “Aku ngoceh, maka aku ada.”
—@noffret
Saya termasuk “anak kemarin sore” di Twitter, karena belum lama menggunakannya. Nyatanya, saya juga masih bingung apa manfaat Twitter bagi saya, sehingga saya juga tidak terlalu “serius” bermain Twitter.
Ketika pertama kali membuat akun di Twitter, beberapa teman sempat heran. Mereka bertanya, “Jadi, kamu lagi kurang kerjaan, atau gimana?” Well, teman-teman gaul saya memang bisa dibilang tidak ada yang memiliki akun Twitter, karena mereka pikir bermain Twitter hanya buang-buang waktu, sementara mereka rata-rata sangat sibuk dengan pekerjaannya.
Tapi sekarang saya punya Twitter. Meski masih bingung untuk tujuan apa.
Pertama kali menggunakan Twitter, saya mengalami “gegar budaya”. Meski timeline hanya berbentuk tumpukan dan rangkaian kata-kata, entah kenapa saya merasa sedang berada di tengah-tengah pasar ayam. Di kota saya ada sebuah pasar ayam yang setiap hari selalu ramai. Meski disebut “pasar ayam”, di pasar itu bukan hanya ayam yang diperdagangkan, tetapi juga ada penjual burung, ember, makanan, baju, dan lain-lain.
Karena sebagian besar yang diperjualbelikan di pasar itu adalah ayam dan burung, maka suasana di pasar itu pun selalu ramai, penuh celoteh burung dan ayam yang berkotek-kotek. Sudah begitu, di pasar tersebut juga ada penjual VCD bajakan, yang biasa menyetel musik di VCD melalui loudspeaker. Maka suara di pasar ayam pun benar-benar ramai.
Kira-kira seperti itu bayangan saya ketika sedang membaca timeline di Twitter. Ramai, dengan suara macam-macam. Ada yang sedang mengeluh, ada yang menyemburkan nasihat bijak, ada yang menulis kata-kata romantis, ada yang jualan, ada yang menyebarkan informasi dan berita, ada yang menceritakan kesehariannya, ada pula yang memaki-maki atau marah-marah. Ramai, dan macam-macam.
Seperti yang dibilang tadi, saya sempat mengalami “gegar budaya” ketika pertama kali menggunakan Twitter, karena tidak menyangka Twitter “seramai” itu. Padahal saya cuma mem-follow sedikit akun, karena tidak mau terlalu lelah membaca timeline. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa ramainya timeline orang yang mem-follow ratusan atau sampai ribuan akun.
Selain kaget dengan ramainya Twitter, entah kenapa saya belum juga nyaman menggunakan Twitter. Ketidaknyamanan itu muncul karena saya menyadari bahwa siapa pun dapat melihat timeline saya, dan mengikuti percakapan saya dengan siapa pun di Twitter. Rasanya, bagi saya, itu seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang, dan orang lain mendengarkan atau nguping percakapan tersebut.
Saya tidak nyaman merasakan hal semacam itu. Karenanya, saya pun memproteksi akun Twitter saya, agar tidak setiap orang bisa nguping atau melihat percakapan saya dengan orang lain. Untungnya, Twitter menyediakan fitur proteksi, sehingga pengguna yang tidak nyaman dengan keterbukaan bisa memproteksi akun Twitternya, dan tetap memiliki privasi yang dibutuhkan.
Privasi—itu hal penting bagi saya. Mungkin saya memang tidak berbakat menjadi artis yang kehidupan pribadinya bisa diumbar secara bebas. Mungkin pula karena saya introver, dan tidak terbiasa dengan hal-hal yang “ngablak”. Dalam keseharian pun, saya lebih suka ngobrol di ruangan yang tenang, hening, sehingga bisa bercakap-cakap dengan tenang, tanpa berteriak sebagaimana ketika berada di tempat yang bising.
Lanjut ke sini.