Jumat, 29 Maret 2013

Soal Raffi, dan Mahalnya Harga Kesalahan (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Hal semacam itu pula yang terjadi pada kasus Raffi Ahmad akhir-akhir ini. Berbagai web dan portal memberitakan kasus itu, tetapi nyaris semuanya sepotong-sepotong. Mengenai permintaan oknum BNN yang katanya meminta agar Hotma Sitompul dipecat sebagai kuasa hukum Raffi, berbagai berita yang saya baca hanya sepotong-sepotong, sehingga saya tidak bisa menyimpulkan, apalagi memastikan.

Satu hal yang saya ingat dari berbagai berita itu adalah pernyataan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, yang menyatakan bahwa kasus Raffi penuh rekayasa. Ada berbagai pihak yang “bermain” dalam kasus ini.

Saya bukan pengacara, dan saya juga awam soal hukum. Namun, jika seorang pengacara sekaliber Hotman Paris Hutapea—yang tentunya tahu seluk beluk dunia hukum—berani menyatakan bahwa suatu kasus penuh rekayasa, maka tentu dia tidak asal ngomong. Setiap pakar, termasuk pakar hukum (atau pengacara) tentu menyadari bahwa ucapannya sangat berpengaruh pada reputasinya. Hotman Paris tentu tidak mau dianggap “asal bunyi”, dia menyatakan apa yang memang dia yakini.

Sekarang, yang membuat saya berpikir dan bertanya-tanya, permainan apa yang sedang dilakukan terhadap Raffi Ahmad? Kalau memang ada “permainan” atau “rekayasa” dalam kasus ini, seperti yang dinyatakan Hotman Paris Hutapea, siapakah yang bermain?

Raffi Ahmad, kita tahu, bukan politisi, bukan aparat pemerintah, bukan pejabat negara. Dia artis. Dan kasus yang menyeretnya sehingga berurusan dengan polisi serta dunia hukum, bukan karena dia korupsi atau melakukan kejahatan menyangkut urusan negara, melainkan karena dituduh mengonsumsi narkoba. Jika ada “permainan” atau “rekayasa” dalam kasusnya, tentunya rekayasa itu tidak dilakukan dengan tujuan “menjaga stabilitas negara”. So...?

Kasus Raffi ini mengingatkan saya pada sebuah kisah yang terjadi di suatu tempat, yang menimpa seorang bocah. Ceritanya, bocah itu mengalami kecelakaan. Motornya menabrak seseorang, dan korban yang ditabraknya meninggal dunia. Bocah itu pun ditangkap polisi, dan ditahan.

Itu, sebenarnya, hal biasa—suatu kejadian yang mungkin terjadi setiap hari. Yang mungkin tidak biasa adalah, bocah yang mengalami kecelakaan itu anak orang miskin, bahkan motor yang dipakai bocah itu pun motor pinjaman. Ketika penyelidikan dilakukan, terbukti bahwa bocah itu berkendara dengan baik, tidak sedang mengantuk atau mabuk, dan kecelakaan itu terjadi bukan karena kesalahannya.

Sementara itu, keluarga korban telah menyatakan tidak akan menuntut bocah itu. Mereka menyadari bahwa nasib malang atau apes bisa menimpa siapa saja, dan mereka telah legawa menghadapi musibah yang menimpa mereka. Toh itu murni kecelakaan yang tidak disengaja. Dan mereka pun menyadari si bocah pasti merasa sangat bersalah dan menyesal akibat kecelakaan itu.

Sampai di sini, tentu kita bisa melihat, bahwa sebenarnya kasus ini sudah selesai. Tapi polisi menganggap kasus itu belum selesai, dan si bocah tetap ditahan. Mereka baru akan melepaskan si bocah dari tahanan jika keluarganya telah memberikan uang tebusan sebesar yang mereka tetapkan. (Saya tidak ingat pasti berapa jumlah tebusan yang diminta).

Maka keluarga si bocah pun pontang-panting mencari uang demi bisa menebus anaknya yang ditahan polisi. Mereka menjual apa saja, menggadaikan apa saja, berutang kesana kemari, dan hasilnya dikumpulkan untuk diserahkan pada polisi. Tapi jumlahnya belum cukup. Uang yang telah berhasil dikumpulkan dengan susah payah itu telah diserahkan pada polisi, tapi si bocah tetap mendekam dalam tahanan, dan baru akan dilepaskan setelah jumlah uang tebusan sesuai yang mereka tetapkan.

Keluarga si bocah kebingungan. Tidak ada lagi yang bisa mereka jual. Tidak ada lagi yang bisa mereka gadaikan. Tidak ada lagi orang yang bisa dimintai tolong untuk memberikan utang. Semuanya sudah habis. Dan anak mereka masih ditahan polisi.

Kisah memilukan itu kemudian terdengar seorang jurnalis. Merasa tersentuh oleh kemalangan keluarga miskin itu, si jurnalis mencoba membantu dengan mendatangi kantor polisi tempat bocah itu ditahan, meminta agar si bocah dilepaskan. Tapi hasilnya nihil. Si jurnalis tidak mau berhenti di tengah jalan. Merasa bahwa kasus itu sudah selayaknya dituntaskan, ia pun menghubungi sahabatnya yang bekerja di BIN (Badan Intelijen Nasional), untuk membantunya.

Si jurnalis menceritakan kronologi kasus itu pada sahabatnya. Si orang BIN—yang memang memiliki integritas tinggi—merasa terketuk hatinya. Maka dia pun terbang dari Jakarta, menuju tempat kasus itu berada. Si orang BIN mendatangi kantor polisi tempat bocah tadi ditahan, dan mengamuk, meminta agar bocah itu dibebaskan dari tahanan.

Kisah selanjutnya berjalan dengan cepat. Hari itu juga si bocah malang dibebaskan. Uang yang telah diserahkan keluarga si bocah juga dikembalikan oleh polisi. Dan kasus pun selesai.

Saya tidak perlu memperpanjang kisah ini dengan penjelasan lain yang lebih detil. Intinya, kita tidak bisa menyalahkan seratus persen pihak kepolisian yang terlibat dalam kasus di atas, karena—betapa pun juga—mereka terjebak dalam sistem. Jika kita masuk ke dalam sistem yang buruk, dan kita menjadi bagian di dalamnya, mau tak mau kita akan dituntut untuk mengikuti aturan main dalam sistem.

Sekarang, apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari kasus Raffi Ahmad, dan kasus bocah malang yang saya ceritakan tadi?

Pelajarannya adalah ini; bahwa harga kesalahan itu luar biasa besar. Setiap kali kita melakukan kesalahan, setiap kali pula kita akan dituntut untuk membayar—disadari atau tidak.

Kadang-kadang kita harus membayar kesalahan itu dalam bentuk uang, namun lebih sering kita dituntut membayar dalam bentuk yang jauh lebih mahal dibanding uang. Bisa penyesalan yang sangat dalam, luka hati dan kekecewaan yang tak kunjung tersembuhkan, kerisauan dan rasa bersalah yang tak pernah hilang, ataupun pengalaman traumatis yang tak bisa dilupakan.

Kesalahan selalu menuntut pembayaran. Dan, yang mengerikan, harga yang harus kita bayar sering kali sangat mahal. Untuk kesalahan yang melibatkan hukum secara langsung, mungkin bayarannya cukup uang—terlepas uang itu dibayarkan secara legal atau tidak. Karena kesalahan mengonsumsi narkoba, misalnya, Raffi Ahmad harus mengeluarkan uang yang jauh lebih mahal dari harga narkoba yang dikonsumsinya—dari bayaran untuk pengacara sampai “bayaran” untuk hal-hal lainnya.

Dalam hidup, kita kadang melakukan kesalahan, yang disengaja maupun tidak. Kesalahan yang menyeret kita ke muka hukum, bayarannya mungkin terlihat. Tapi untuk kesalahan yang tidak membawa kita ke muka hukum, bayarannya sering tak terlihat... tapi jauh lebih besar.

Mungkin sebagian orang ada yang merasa telah melakukan banyak kesalahan, dan tidak pernah membayar harganya. Kedengarannya bagus. Tetapi, berita buruknya, kesalahan itu seperti rentenir yang kejam. Jika ia tidak menuntut pembayaran sekarang, ia akan menagih di masa depan. Dan bunga di atas bunga akan menjadikan pembayaran semakin mahal.

Kehidupan menawarkan aturan sederhana untuk keselamatan dan kedamaian siapa pun, “Lakukanlah hal-hal baik. Jika tidak bisa, jangan lakukan hal buruk. Kerjakan hal-hal yang benar. Jika tidak bisa, jangan sengaja—apalagi bangga—melakukan kesalahan.”

Orang-orang sering menyatakan bahwa pengalaman adalah guru paling baik. Benar, tapi pengalaman juga sering menjadi guru yang mahal. Karenanya, orang paling tolol dan paling sial di dunia adalah orang yang tak mau belajar dari pengalaman.

 
;