Jumat, 01 Maret 2013

Tiga Macam Pembaca Buku

Buku yang bagus serupa teman. Ia tahu membuatmu
tersenyum, dan seiring dengan itu membukakan pengetahuan
dan kesadaran. Pun kadang kearifan.
@noffret


Tidak bermaksud membeda-bedakan apalagi menggolong-golongkan, catatan ini saya tulis dilatarbelakangi pertanyaan, mengapa buku-buku yang saya anggap terbaik sering kali buku-buku yang tidak terkenal?

Setiap akhir Desember, saya memilih sepuluh buku yang saya anggap terbaik dari semua buku yang saya baca dalam setahun, kemudian mempostingnya di blog ini. Seringnya, buku-buku yang saya anggap terbaik bukan buku-buku terkenal atau yang dibicarakan banyak orang, tapi justru buku-buku yang bisa dibilang tak terkenal, khususnya bagi masyarakat awam. Karena itu, saya sengaja menulis catatan ini, untuk menjelaskan latar belakangnya.

Dalam dunia buku, ada tiga macam pembaca—setidaknya menurut saya. Pertama adalah “bukan pembaca”, yang kedua adalah “pembaca pemula”, dan yang ketiga adalah “kutu buku”. Ketiga golongan itu memiliki kecenderungan sendiri-sendiri, berkaitan dengan buku. Dalam selera baca, maupun dalam pemilihan buku yang ingin dibeli dan dibaca. Berdasarkan perspektif saya, berikut ini perbedaan mereka.


Bukan Pembaca


Mereka bisa dibilang tidak kenal buku sama sekali, atau hanya sekadar kenal. Membaca buku bukan kebiasaan apalagi kebutuhan. Buku, bagi mereka, sama sekali bukan barang menarik. Biasanya, mereka baru tertarik pada sebuah buku—atau penulisnya—setelah masyarakat luas heboh dan membicarakannya dengan penuh puja-puji. Ketika masyarakat heboh, mereka terpengaruh, lalu mulai mencari buku yang dihebohkan.

Ketika golongan ini membaca sebuah buku, mereka tidak dapat menilai apakah buku itu bagus atau tidak—penilaian mereka hanya didasarkan pada penilaian masyarakat. Kalau masyarakat luas menyatakan buku itu bagus, mereka pun akan ikut menilainya bagus. Lebih dari itu, mereka juga tidak bisa memberikan penilaian objektif, karena memang tidak pernah kenal apalagi dekat dengan buku.

Jadi, bagi golongan ini, buku akan menarik kalau masyakarat meributkannya. Lalu mereka ikut-ikutan mencarinya, ikut-ikutan membelinya, ikut-ikutan membacanya, dan ikut-ikutan memberikan penilaian sebagaimana masyarakat menilainya. Hanya ikut-ikutan. Mungkin agar dibilang tidak ketinggalan tren. Mungkin pula agar bisa nyambung kalau diajak ngobrol soal buku yang heboh itu.

Karenanya pula, latar belakang pemilihan sebuah buku bagi golongan ini bukan semata-mata karena bukunya bagus atau memang layak dibaca, tapi apa kata masyarakatnya. Mereka membaca buku bukan karena apa pun, tetapi semata-mata tuntutan tren. Jika sebuah buku menjadi tren alias heboh di masyarakat, mereka akan membacanya. Jika tidak, mereka juga tidak akan repot-repot membacanya.


Pembaca Pemula

Dalam hal buku, golongan ini sebenarnya tidak jauh beda dengan golongan pertama, tapi agak lebih baik. Seperti golongan pertama, pembaca pemula juga lebih sering memilih dan membaca buku karena tuntutan tren. Jika masyarakat menghebohkannya, mereka akan mencari buku itu. Jika timeline di Twitter dibanjiri obrolan sebuah buku, mereka juga biasanya akan terpengaruh.

Pembaca pemula belum bisa sepenuhnya menentukan sebuah buku bagus atau tidak, karena dasar pemilihan mereka atas buku yang mereka baca masih dipengaruhi oleh faktor luar—kehebohan masyarakat, promosi yang gencar, atau karena terpengaruh orang lain. Selain itu, jumlah bacaan mereka juga belum bisa digunakan sebagai patokan objektif untuk memberikan penilaian.

Kalau pembaca pemula ditanya buku-buku apa saja yang telah dibacanya, mereka biasanya akan menyebutkan judul-judul buku mainstream. Buku “mainstream” yang saya maksud adalah buku-buku yang dikenal hampir semua orang, bahkan oleh orang yang sama sekali tidak pernah membaca buku.

Tapi mereka lebih bagus dibanding golongan pertama (bukan pembaca buku). Artinya, pembaca pemula tidak hanya mengandalkan kehebohan masyarakat dalam mencari buku, tetapi juga karena faktor ketertarikan tersendiri—misalnya karena tertarik pada judulnya, atau karena kebetulan ada pameran buku yang memberikan diskon besar dan kemudian tertarik membelanjakan sebagian uangnya untuk membeli buku.

Biasanya pula, daftar wajib buku yang mereka baca adalah buku-buku yang terkenal di kalangan masyarakat, atau ditulis artis, atau yang penulisnya telah menjadi semacam selebriti. Dari sana, jika memang kesukaan membaca itu berlanjut, selera mereka akan berkembang lebih jauh. Jika semula mereka hanya membaca karena tren atau karena penulisnya terkenal, lama-lama mereka akan membaca tanpa faktor-faktor itu.

Umumnya pula, pembaca pemula membatasi bacaannya pada satu genre. Misalnya hanya membaca novel remaja, atau buku-buku tertentu. Stagnasi semacam itu biasanya akan berjalan hingga lama, tergantung kemampuan mereka dalam mengkhatamkan buku yang bisa dibacanya. Jika kemampuan membaca mereka terbatas, biasanya pembatasan genre semacam itu akan berlangsung lama. Sebaliknya, jika mereka aktif membaca, sehingga buku yang dikhatamkan lebih banyak, mereka pun perlahan-lahan akan memperluas genre bacaannya.

Dari sana pula, seiring makin banyak buku yang dibaca, mereka akan semakin tahu seperti apa buku yang bagus—dalam arti sebenarnya. Dan jika kecintaan mereka terus berlanjut, mereka pun akan sampai pada tahap yang disebut “kutu buku”.


Kutu Buku


Pertanyaan: “Bagaimana kita tahu seseorang tergolong kutu buku atau bukan?”

Jawaban: “Tanyakan kepadanya seratus buku terakhir yang dibacanya. Jika seratus buku terakhir yang dibacanya tidak tergolong buku-buku mainstream, kita bisa yakin dia memang kutu buku.”

Para kutu buku tidak membaca puluhan atau belasan buku. Mereka membaca ratusan sampai ribuan buku. Karena itulah mereka disebut “kutu”, karena begitu dekatnya mereka dengan buku. Karena itu pula, para kutu buku biasanya bukan orang yang baru kemarin sore mengenal buku—mereka telah menyetubuhi buku selama bertahun-tahun, lintas genre bacaan, bahkan kadang lintas bahasa.

Karena lamanya mengenal buku, mereka pun tahu mana buku yang bagus dan mana yang tidak, terlepas bagaimana penilaian masyarakat. Mereka membaca buku tanpa terpengaruh oleh kehebohan di kalangan masyarakat, tetapi karena kesadaran sendiri untuk memilih dan membaca suatu buku. Artinya, buku yang tidak dikenal masyarakat bisa jadi merupakan buku yang bagus bagi mereka. Sebaliknya, mereka juga belum tentu membaca buku yang dihebohkan oleh masyarakat.

Bagi para kutu buku, yang disebut “buku bagus” semata-mata karena buku itu memang bagus, bukan karena buku itu dipromosikan dengan gencar atau karena masyarakat menghebohkannya. Dalam hal ini, penilaian antara kutu buku dan yang bukan kutu buku bisa jadi berbeda seratus delapan puluh derajat. Tentu saja wajar, karena yang satu hanya mengenal beberapa buku, sementara yang satu lagi telah mengenal ribuan buku.

….
….

Berdasarkan penjelasan atas tiga golongan tersebut, sekarang saya ingin menjawab pertanyaan yang mengawali catatan ini. Mengapa buku-buku yang saya anggap terbaik sering kali buku-buku yang tidak terkenal?

Saya menyusun daftar sepuluh buku terbaik itu bukan untuk masyarakat luas yang belum tentu mengenal buku, juga bukan untuk para pembaca pemula. Saya menyusun daftar buku terbaik itu untuk para kutu buku.

 
;