Kamis, 07 Maret 2013

Berkunjung ke Rumah Nenek

Tempe keripik ini enak sekali.
Pembuatnya pasti seorang empu.
@noffret


Sejak kecil, saya senang setiap berkunjung ke rumah nenek. Saya suka sambutannya yang selalu ramah, saya suka perlakuannya yang sangat manis, juga saya suka tempe keripik yang selalu disuguhkan nenek setiap kali saya datang mengunjunginya. Nenek yang akan saya ceritakan ini bukan nenek saya secara langsung, tapi adik nenek saya.

Jadi begini. Nenek saya—dari pihak ayah—punya adik perempuan. Nenek saya sudah meninggal dunia ketika saya masih SD. Namun, adik perempuan nenek masih hidup lama sampai saya cukup dewasa, sehingga saya pun sangat mengenalnya. Bahkan, adik nenek itu pula yang kemudian saya anggap nenek saya. So, untuk sebutan “nenek” dalam catatan di bawah ini, yang saya maksud adalah “adik nenek” saya.

....
....

Sewaktu kecil, saya sangat dekat dengan ayah. Jadi, setiap kali ayah akan berkunjung ke rumah saudara atau famili, saya selalu diajak. Termasuk ketika berkunjung ke rumah nenek, yang tinggal cukup jauh dari tempat kami. Saya telah menyukai nenek sejak masih kecil sekali. Biasanya, saat ayah dan saya berkunjung ke rumah nenek, saya hanya diam, sementara ayah bercakap-cakap dengan nenek dan kakek. Saya diam saja, karena masih sangat kecil, belum tahu apa-apa. Tapi saya suka berada di tengah-tengah mereka.

Nenek punya usaha pembuatan tempe keripik. Meski punya beberapa karyawan, kakek dan nenek tak mau berpangku tangan. Jadi, saat ayah dan saya mengunjungi mereka, biasanya saya akan melihat nenek sedang mengiris tempe tipis-tipis, sementara kakek sedang sibuk mengurusi sesuatu menyangkut usaha mereka. Lalu keduanya akan menghentikan pekerjaan untuk menyambut kedatangan kami dengan senyum dan keramahan yang tak akan pernah saya lupakan hingga dewasa.

Biasanya, kami akan duduk di ruang tengah. Saya, ayah, kakek, dan nenek. Kakek akan menyuguhkan tempe keripik yang renyah buatan mereka, sementara nenek membuatkan teh buat kami. Setelah itu ayah asyik bercakap-cakap dengan mereka, sementara saya diam, menikmati saat-saat itu.

Yang tidak pernah saya lupakan adalah sikap nenek kepada saya. Meski waktu itu saya masih sangat kecil—masih duduk di bangku TK—nenek memperlakukan saya dengan hormat, seolah saya orang dewasa. Meski saya diam saja selama mereka mengobrol, nenek selalu menyempatkan untuk mengajak saya bercakap-cakap. Biasanya dia akan mengajukan pertanyaan sederhana, semisal bagaimana teman-teman di TK, dan saya akan menjawabnya sambil malu-malu.

Kelak, ketika dewasa, saya mengetahui sikap nenek selama waktu-waktu itu adalah wujud “memanusiakan manusia”. Ketika kecil dulu, dengan segala sikap saya yang kekanak-kanakan, saya pastilah bukan orang yang layak dianggap penting bagi nenek atau bagi orang dewasa lainnya. Tetapi nenek menunjukkan kepada saya, melalui sikapnya, bahwa dia menganggap saya penting. Di sela-sela keasyikan ngobrolnya dengan kakek dan ayah, dia masih menyempatkan diri untuk mengajak saya bercakap-cakap, meski saya menjawabnya dengan malu-malu.

Usaha percakapan yang dilakukan nenek kepada saya pastilah bukan hal penting. Bahkan objek percakapan kami pun tidak bisa dibilang penting, toh nyatanya kami hanya membicarakan hal-hal yang remeh-temeh semisal bagaimana sekolah saya, atau seperti apa guru dan teman-teman saya. Tetapi upaya nenek yang terkesan tidak penting itu memberikan kesan yang sangat kuat dalam diri saya. Saya sangat menyukai nenek!

Saya menyukai sikapnya yang menghormati keberadaan saya. Dalam ingatan yang samar-samar, bagi saya neneklah orang pertama yang menunjukkan kepada saya tentang pentingnya memanusiakan manusia, tak peduli sekecil apa pun manusianya. Waktu itu, nenek mungkin telah berusia 50-an tahun, sementara saya masih berusia 4 atau 5 tahun. Ada selisih puluhan tahun di antara kami. Tapi meski ada jarak usia yang amat jauh seperti itu, nenek tidak menganggap saya kecil. Dia memperlakukan saya dengan hormat.

Jadi, salah satu kenangan manis saya ketika masih kecil dulu adalah ketika sekolah libur, lalu saya akan merengek kepada ayah, “Ayah, ayo kita mengunjungi nenek!”

Ayah jarang menolak. Lalu kami pun berkunjung ke rumah nenek. Selama perjalanan menuju rumah nenek, saya selalu menikmati pemandangan yang kami lewati, bahkan setiap jengkal jalan yang kami lalui. Mungkin, di saat-saat itulah saya pertama kali mengenal arti kerinduan. Dan ketika menyaksikan nenek membukakan pintu rumahnya sambil tersenyum menyambut kami, kerinduan saya kepadanya rasanya terbayar lunas.

Mengunjungi nenek menjadi semacam ritual saya bersama ayah, dan ritual itu terus berlangsung sampai saya lulus SD. Kemudian, ketika saya cukup besar—mulai duduk di bangku SMP—kadang-kadang saya mengunjungi nenek bersama seorang teman sekolah. Biasanya karena saya sudah sangat kangen pada nenek. Dan nenek juga selalu menyambut kedatangan saya dengan ramah, dengan penuh hormat, seperti biasa.

Selama mengunjunginya waktu-waktu itu, sebenarnya saya lebih banyak diam. Bahkan saya tidak tahu apa yang akan saya katakan kepadanya. Karena saya masih kecil. Karena saya belum tahu apa-apa. Juga karena saya pemalu. Neneklah yang selalu aktif menanyakan sesuatu, dan kemudian saya menjawabnya. Itu, sebenarnya, tidak bisa dibilang percakapan yang menyenangkan. Tetapi nenek tidak pernah menunjukkan sikap bosan, dia selalu menunjukkan sikap menyenangkan yang membuat saya merasa nyaman di dekatnya.

Bagi saya, mengunjungi nenek tidak semata-mata karena ingin bercakap-cakap dengannya. Tapi juga karena ingin mendapatkan ketenteraman dan rasa nyaman ketika bersamanya. Maka saya pun tak pernah lupa mengunjunginya. Sewaktu SMA, kebetulan seorang teman sekolah saya tinggal tidak jauh dari rumah nenek. Jadi, setiap kali saya dolan ke rumahnya, saya selalu mampir ke rumah nenek.

Selama bertahun-tahun itu, tidak pernah satu kali pun nenek menunjukkan sikap tidak baik kepada saya. Dia selalu menyambut kedatangan saya dengan keramahan yang membuat saya senang. Selama waktu-waktu itu saya tidak menyadari bahwa itulah kekuatan terbesar yang dimiliki setiap manusia untuk menundukkan hati manusia lainnya. Keramahan, dan sikap hormat.

Nenek mengajarkannya kepada saya, dan terus mengajarkan, bahkan tanpa mengucapkannya. Dia mengajarkan pelajaran penting itu dalam diam, dalam sikap yang ditunjukkannya langsung kepada saya. Nenek tidak pernah kuliah, tidak pernah belajar psikologi, bahkan tidak lulus SD. Tetapi dia memahami pelajaran penting yang seharusnya dipahami setiap manusia beradab, yakni sikap ramah dan rasa hormat kepada manusia lainnya.

Meski waktu itu saya masih kecil, khususnya jika dibandingkan usia nenek yang jauh di atas saya, sikapnya kepada saya tidak pernah mengecilkan. Dia menunjukkan sikap menghargai yang sama, seperti yang ia tunjukkan kepada ayah atau kepada orang dewasa lainnya. Ia tahu cara memanusiakan manusia. Ia tahu pentingnya rasa hormat. Dan ia menunjukkannya dengan sikap yang tanpa cela—sebentuk sikap yang kelak akan saya ingat sebagai pelajaran penting dalam menghadapi manusia.

Tidak lama setelah saya lulus SMA, nenek meninggal dunia, menyusul kakek yang lebih dulu tiada. Tak perlu dikatakan, saya sangat sedih, dan merasa kehilangan. Bukan hanya kehilangan nenek yang sangat akrab dengan saya, tapi juga merasa kehilangan seorang panutan.

Di akhir masa hidupnya, saat memandanginya terbaring tak sadar karena sakit, saya tidak hanya merasa sedang menatap seorang nenek yang saya kasihi, tetapi juga sedang menatap saat-saat terakhir seseorang yang telah menanamkan pelajaran penting dalam hidup saya. Pelajaran tentang rasa hormat. Pelajaran tentang memanusiakan manusia.

Selama masa-masa kesedihan setelah nenek meninggal, bahkan hingga saat ini, sering kali saya membayangkan. Kelak, saat kami sampai di surga, saya akan kembali mengunjungi nenek di sana. Dan, kali ini, saya tahu apa yang akan saya katakan kepadanya. Saya sangat merindukannya.

 
;