Kamis, 20 Agustus 2020

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit

Terkait orang lain, aturan hidupku sederhana:
Aku akan memperlakukanmu,
tepat sama seperti caramu memperlakukanku.


Sebagian orang, dan kita mungkin termasuk di dalamnya, punya kebiasaan buruk yang tak disadari, yaitu suka mempersulit hal-hal sederhana, atau memperumit hal-hal sepele. Akibatnya, sesuatu yang sebenarnya sederhana, sepele, bahkan remeh-temeh, berubah jadi masalah serius—dalam kasus tertentu, bahkan jadi masalah besar hingga timbul fitnah, perpecahan, permusuhan, dan segala macam.

Mari gunakan ilustrasi yang remeh dan sederhana, yang bisa jadi pernah menimpa banyak orang.

Bayangkan kita punya teman bernama X. Secara berkala, X suka dolan ke rumah kita, dan menghabiskan waktu untuk mengobrol layaknya teman. Lalu, suatu waktu, X tidak pernah muncul sama sekali.

Ketika menghadapi hal semacam itu, reaksi kita bisa beragam, dan akan menunjukkan seperti apa mental kita sesungguhnya. Biasanya, peristiwa semacam itu akan melahirkan tiga jenis orang dengan mental dan karakter masing-masing.

Yang pertama adalah orang yang cuek, namun berbaik sangka, “Ah, mungkin X sedang sibuk dengan urusannya. Toh nanti dia juga bakal muncul lagi.”

Yang kedua adalah orang baik yang proaktif. Ketika X lama tidak muncul seperti biasa, dia—sebagai teman—merasa khawatir, lalu berinisiatif mendatangi X, memastikannya baik-baik saja. “Bagaimana kabarmu? Lama sekali tidak melihatmu, dan aku merasa kehilangan.”

Yang ketiga adalah orang yang ribut di belakang. Ketika X tidak lagi dolan ke rumahnya, orang jenis ketiga biasanya melahirkan prasangka. “Mungkin X sudah menemukan teman yang lebih baik dariku, jadi dia sekarang lupa denganku.” 

Karena adanya prasangka semacam itu, orang jenis ketiga tidak jarang sampai memburuk-burukkan X di depan teman-teman lain, seolah X telah berbuat jahat kepadanya. Padahal intinya sepele, yaitu X tidak lagi dolan ke rumahnya, dan dia sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi.

Di antara ketiga jenis orang tersebut, termasuk yang manakah kita?

Jenis pertama—yang cuek namun berbaik sangka—biasanya orang yang menganggap hidup sudah rumit, jadi tidak perlu dibikin rumit. Toh masalahnya sepele, cuma X yang tidak datang. Kalau memang kita punya kepentingan dengan X, tinggal datangi saja langsung, atau kirim pesan lewat ponsel, atau meneleponnya langsung. Simpel, sederhana, tanpa masalah.

Orang jenis pertama biasanya juga bisa berubah menjadi jenis kedua, yaitu orang baik yang proaktif. Semula, meski cuek, orang jenis pertama bisa saja menghubungi X, atau meluangkan waktu untuk mendatangi X secara langsung. Tak peduli jenis pertama atau kedua, mereka orang-orang yang menempatkan sesuatu sesuai proporsinya. Hal sederhana dihadapi dengan pola pikir yang sama sederhana.

Yang bermasalah adalah orang jenis ketiga, yang menghadapi sesuatu dengan ribut sendiri di belakang. Wong masalahnya dengan X—yang tidak lagi dolan ke rumahnya—tapi ributnya di belakang X. Meski mungkin tidak masuk akal, sayangnya banyak sekali orang semacam itu, dan dari sanalah lalu muncul gremang-gremeng tidak jelas, prasangka yang tak bertanggung jawab, yang kadang bahkan menjurus fitnah.

X tidak lagi dolan ke rumah kita seperti biasa, alasannya bisa banyak sekali. Bisa karena sibuk, bisa karena sakit, bisa karena tiba-tiba pergi ke tempat jauh, dan sederet alasan lain. Tetapi, alih-alih berpikir sederhana seperti itu, orang jenis ketiga justru mengembangkan teori-teori rumit, yang semakin menjauhkan dirinya dengan X.

Kalau kita memang tak tahu kenapa X tidak lagi dolan ke rumah, sebenarnya ada cara yang sangat mudah untuk mengetahui dan memastikannya. Cukup datangi langsung, dan tanyakan kepadanya! Mudah, simpel, sederhana, sepele!

“Halo, X. Lama sekali tidak melihatmu. Semoga kamu baik-baik saja.”

Sikap semacam itu menunjukkan itikad baik. Ketika kita menunjukkan sikap yang baik, X tentu akan menanggapi dengan cara yang sama baik, dan dia akan menjelaskan alasannya kenapa sudah lama tidak lagi dolan ke rumah kita, dan hubungan kita dengan X pun akan tetap baik-baik saja.

Tetapi, ribut sendiri di belakang menunjukkan kita beritikad buruk. Alih-alih langsung menemui X dan menanyakan kenapa dia tidak lagi dolan seperti biasa, kita malah mengembangkan prasangka yang bisa jadi keliru, bahkan sampai berkoar-koar ke orang-orang lain seolah X telah melakukan kesalahan kepada kita. Sekali lagi, fitnah berasal dari situ, dan persepsi salah tentang orang lain sering kali juga berawal dari situ.

Masalahnya sederhana. Hadapi dengan pola pikir sederhana, dan tunjukkan sikap yang sama sederhana. Wong masalah yang jelas-jelas rumit saja bisa dihadapi dengan sederhana, kenapa masalah sederhana justru dibikin rumit?

Semula, saya pikir ketololan semacam itu hanya dilakukan orang per orang. Ternyata tidak. Bahkan sebuah perusahaan pun bisa melakukan ketololan yang sama!

Ada kisah tentang seorang penulis yang semula sering mengirim tulisan ke sebuah media online—terlepas diterima atau ditolak. Lalu, suatu waktu, penulis itu tidak pernah lagi mengirim tulisan ke media tersebut. Masalahnya sepele; dia sedang sibuk dengan urusannya sendiri. Sebegitu sibuk, sampai tidak punya waktu untuk menulis ke media tadi.

Tetapi, ternyata, pihak media tidak menanggapi hal sederhana itu dengan pola pikir sederhana. Mereka justru mengembangkan teori macam-macam yang justru melenceng jauh dari kebenaran dan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Alih-alih berpikir sederhana, “mungkin dia sedang sibuk”, media tadi malah berpikir kalau si penulis marah, kecewa, egois—entah apa alasannya. Bukankah itu tak masuk akal?

Lebih tak masuk akal lagi, media tadi justru ribut di belakang. Bukannya langsung menghubungi si penulis, media online tadi malah menghubungi penerbit-penerbit yang pernah menerbitkan buku si penulis, bahkan sampai menghubungi situs yang pernah memuat profil si penulis.

Tidak cukup sampai di situ, media online tadi bahkan memantau akun Twitter si penulis, dan memperhatikan dengan siapa saja si penulis berinteraksi. Setelah itu, media tadi menghubungi orang-orang yang berinteraksi dengan si penulis—laki-laki juga perempuan—dan meminta orang-orang itu agar memancing komunikasi dengan si penulis, yang intinya agar si penulis kembali terhubung dengan media online tadi. Entah apa yang mereka katakan pada orang-orang di Twitter tersebut.

Kok ribet amat?

Wong masalahnya sepele; si penulis tidak lagi mengirim tulisan ke media mereka. Kalau memang pihak media ingin tahu alasannya, ada cara yang sangat mudah, sepele, dan sederhana. Cukup minta salah satu redaktur untuk mengirim e-mail pada si penulis, dan menanyakannya langsung!

“Sudah lama Anda tidak mengirim tulisan ke media kami, dan itu membuat kami kehilangan. Saya berharap Anda dalam keadaan baik-baik saja, dan, kalau kebetulan punya waktu luang, jangan lupa untuk mengirim tulisan kembali ke media kami.”

Bukankah itu sangat mudah, sekaligus menunjukkan sikap profesional?

Dengan sikap proaktif yang menunjukkan itikad baik semacam itu, si penulis punya kesempatan untuk menjelaskan alasan kenapa dia tidak lagi mengirim tulisan ke media bersangkutan. Dengan adanya keterbukaan sikap semacam itu, si penulis bisa memberi jawaban jelas, sehingga masing-masing pihak tidak saling salah paham. Sekali lagi, bukankah itu lebih baik, lebih mudah, dan lebih sederhana?

Tetapi, alih-alih menggunakan cara yang sangat mudah dan sederhana itu, media online tadi justru memilih cara yang sulit, rumit, dan ribut sendiri di belakang. Dari menyuruh orang lain kirim e-mail, menghubungi penerbit, meminta orang-orang di Twitter memancing interaksi, mengirim kode-kode menjengkelkan, sampai repot menghubungi dan memanipulasi situs lain. Wong sesuatu yang jelas-jelas sepele kok dibikin rumit.

Akibatnya, bukan hal baik yang didapat, tapi justru sebaliknya. Siapa yang menjamin si penulis akan tetap respek dan memiliki prasangka baik pada media bersangkutan? Siapa yang menjamin si penulis masih punya ketertarikan mengirim tulisan ke media rese dan posesif semacam itu? Siapa yang menjamin si penulis tetap sudi berhubungan dengan media yang jelas-jelas melanggar privasinya?

Interaksi antarmanusia memiliki aturan yang sederhana: Kalau kita memang ingin berkomunikasi dengan seseorang, maka kitalah yang harus berinisiatif! Kalau kita ingin berkomunikasi dengan seseorang, tapi justru berharap orang itu yang memulai komunikasi, itu tolol, konyol, sekaligus gila! Kita yang punya kepentingan, tapi berharap orang lain yang harus berinisiatif.

Kalau saya memang punya kepentingan dengan seseorang, saya akan menghubungi orang bersangkutan, dan menyampaikan maksud saya dengan baik, sopan, dan jelas. Perkara orang itu merespons atau tidak, itu hak dia. Kalau dia merespons dengan baik, saya akan melanjutkan. Jika responsnya negatif, saya berhenti. Mudah, simpel, sederhana.

Kalau saya tidak pernah menghubungimu, alasanya juga sederhana; saya tidak punya kepentingan apa pun denganmu.

Wong paling ngono wae dibikin ribet.

 
;