Selasa, 01 September 2020

Ayub di Tengah Wabah

Yang jarang diungkap dari ribut-ribut wabah Corona:

Seusai wabah Corona mereda di China, dan lockdown dicabut, kasus perceraian meningkat.

Selama lockdown di berbagai negara diberlakukan, khususnya di Asia, tingkat KDRT meningkat.

Bagaimana itu bisa terjadi?

Sangat sederhana!

Ketika lockdown/karantina diberlakukan, semua orang terus berkumpul di rumah masing-masing—suami, istri, dan anak-anak (kalau ada). Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, mereka terus bersama. Hal itu, ditambah tekanan stres akibat wabah corona, menjadikan sumbu emosi memendek.

Di hari-hari biasa, suami atau istri (atau keduanya) berpisah untuk bekerja. Mereka baru berkumpul kembali setelah jam kerja—ada batas pertemuan dan perpisahan yang memungkinkan mereka membangun "jarak", dan masing-masingnya menikmati kesendirian. Itu kebutuhan dasariah manusia.

Ketika lockdown terjadi gara-gara wabah Corona, "jarak" yang mestinya ada di antara suami-istri itu dihilangkan, hingga keduanya sama sekali tidak punya jarak apa pun, karena dipaksa terus bersama siang malam. Dalam kondisi semacam itu, gesekan dan letupan sangat mudah terjadi.

And then, itulah yang terjadi. Tingkat KDRT di wilayah Asia—di negara-negara yang melakukan lockdwon—meningkat. Sementara di China, ketika lockdown dicabut, gugatan perceraian seketika menumpuk di pengadilan.

Dalam hal ini, inti masalahnya bukan Corona, tapi stres dan kebosanan.

Dan INILAH kesalahan massal yang dilakukan miliaran orang di dunia, yaitu mengira perkawinan seindah pacaran!

Pacaran itu indah dan menyenangkan, siapa pun setuju. Kenapa? Karena keduanya masih dibatasi jarak, dan hanya bertemu sewaktu-waktu. Dari situlah muncul kerinduan.

Tapi perkawinan sama sekali berbeda dengan pacaran, karena jarak yang semula ada, diretas dan dihilangkan. Ketika itu terjadi, kerinduan berubah menjadi kebosanan. Karenanya, membayangkan perkawinan akan seindah pacaran adalah kesalahan fatal yang bisa dilakukan anak manusia.

Ada jutaan orang di dunia—kalau saja mereka mau jujur—yang memiliki anak(-anak) semata karena ingin membunuh kebosanan, dan agar punya kesibukan. Karena mereka jenuh dalam hubungan dengan pasangan, melewati hari demi hari yang cuma gitu-gitu. Dalam pikiranku, itu serupa kutukan.

Perkawinan itu indah—kapan? Saat tercetak di undangan! Begitu undangan itu mulai dilupakan, sebagian perkawinan terguncang, dihantam badai penyesalan, ditikam kebosanan, digerogoti frustrasi, dan aneka perasaan menyesakkan lain yang tidak akan pernah mereka ceritakan kepadamu.

Dua manusia tidak bisa disatukan terus menerus! Itu hukum alam, dan kita tidak akan bisa mengalahkan hukum itu!

Karenanya, sebagian perkawinan yang selamat, biasanya karena suami istri membangun jarak yang sehat. Tidak bersama terus menerus. Ada masa-masa jeda, "pisah sejenak".

Dalam pikiranku, seorang lelaki membutuhkan kesabaran seorang Ayub untuk bisa melanggengkan perkawinan. Tapi bahkan Ayub pun tak mampu melakukannya—ketika istrinya memilih pergi, dan kesabarannya terluka. Dan Tuhan tahu, itu "pisah sejenak" bagi keduanya, agar kembali bersama.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2020.

 
;