Kucing-kucing di dekat rumahku sedang ramai bertengkar.
Yang kupikirkan bukan topik pertengkaran mereka,
tapi kosakata yang mereka gunakan.
Saat kita sedang berkendara di jalan raya, kadang ada kucing melintas seenaknya. Peristiwa semacam itu bisa berujung celaka, entah bagi si kucing atau bagi si pengendara yang kebetulan apes.
Saya sudah beberapa kali mendapati peristiwa semacam itu. Kadang, kucing terlindas kendaraan, karena si pengendara tidak mampu mengendalikan kecepatan saat kucing melintas, hingga si kucing akhirnya mati. Biasanya, si pengendara akan bertanggung jawab dengan cara mengurus penguburannya. Saya bahkan pernah mendapati ada pengendara mobil yang melepas bajunya sebagai pembungkus jasad kucing yang ia tabrak, sebelum kemudian menguburnya secara layak.
Ada banyak mitos seputar kucing, dan kita sama-sama tahu. Jadi tidak aneh kalau ada orang yang sampai ketakutan saat tak sengaja menabrak kucing di jalan, apalagi kalau si kucing sampai mati. Karenanya pula, saat seorang pengendara tanpa sengaja melihat kucing melintas di depannya, sebisa mungkin ia akan berusaha mengendalikan kendaraan, agar tidak sampai menabrak si kucing.
Peristiwa itu pula yang saya saksikan, kemarin, ketika sedang berkendara sendirian untuk makan malam.
Saya sedang berkendara perlahan, ketika dari belakang muncul CBR melaju kencang. Sekitar 10 meter di depan, CBR itu tiba-tiba mengerem mendadak, dan terbanting. Motor itu tidak langsung diam, dan sempat menyeret pengendaranya di atas aspal. Apa yang terjadi?
Saya menghentikan motor, lalu turun dan bermaksud menolong.
Bersama dua orang yang kebetulan ada di lokasi kejadian, saya ikut membantu pengendara yang jatuh tadi. Kami angkat motor yang menindih badannya, lalu mengangkat si korban yang tergeletak di aspal. Dia seorang pria, mungkin berusia 25-an, dan jelas terluka cukup parah akibat kecelakaan tadi. Kain celana di samping lututnya sampai sobek, dan terlihat rembesan darah.
Bersama seseorang, saya membawa korban ke pinggir jalan. Sementara satu orang lagi menuntun CBR si korban, dan, entah kenapa, dia memarkirnya tepat di samping motor saya.
Saya bertanya pada si korban, apa yang terjadi. Dia menjelaskan, tadi ada kucing melintas di depannya, dan seketika dia menghentikan motornya yang melaju kencang. Sepertinya dia kesulitan mengendalikan laju motor, hingga terbanting.
Keberadaan kucing yang melintas itu dibenarkan oleh dua orang yang ikut menolong, yang sejak awal memang sedang nyangkruk di sana. Karenanya, mereka pun langsung paham kalau si korban jatuh gara-gara menghindari kucing.
Dalam waktu seketika, para pengendara yang kebetulan melintas di sana mulai melambatkan laju kendaraan, sebagian lain sampai berhenti, ingin tahu apa yang terjadi. Peristiwa kecelakaan selalu menarik perhatian orang. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi, dan kami—saya serta dua orang yang menolong tadi—mencoba menjelaskan.
Lalu muncul sebuah pikap putih, dan ikut berhenti. Sopirnya turun—seorang pria tinggi besar, dengan rambut ikal kecokelatan, mungkin berusia 50-an—sepertinya juga penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Tetapi, berbeda dengan orang-orang lain yang bertanya baik-baik mengenai apa yang terjadi, sopir pikap ini langsung “ngamuk”.
“Ini sudah kesekian kalinya!” seru sopir pikap itu, saat mendekat ke arah kami yang sedang mengerumuni korban kecelakaan.
“Ini sudah kesekian kalinya saya melihat orang kebut-kebutan seenaknya di jalan raya, sampai kecelakaan begini! Berkendara itu mbok yang bener! Jalan raya kok dipakai ajang balapan! Kalau sudah kecelakaan begini, baru sadar kan, gimana sakitnya?”
Sialnya, orang-orang yang berkerumun di situ semuanya bapak-bapak—cuma saya dan si korban kecelakaan yang masih muda. Akibatnya, sopir pikap tadi menujukan pandangannya ke arah saya, seolah saya “tersangka utama” dalam kasus itu.
Seorang bapak di situ mencoba menjelaskan pada sopir pikap, “Mas ini (sambil menunjuk korban kecelakaan) bukan jatuh karena balapan.”
Tapi sopir pikap malah makin garang, “Lha itu buktinya!” (Sambil nunjuk CBR korban yang diparkir tepat di samping motor saya. Mungkin dia berpikir, ada dua motor sport parkir di pinggir jalan raya, dan seseorang terluka parah akibat kecelakaan. Apa lagi penyebabnya kalau bukan balap liar?)
Dalam hati saya misuh-misuh.
Sopir pikap masih memandangi saya dengan tatapan tidak menyenangkan. Lalu saya mencoba menjelaskan kepadanya, “Dia (sambil nunjuk korban kecelakaan yang bersandar pada pintu toko) bukan teman saya, dan kami tidak balapan.”
Sopir pikap murka, “Sampai teman sendiri tidak diakui! Gini kejamnya dunia balap liar. Waktu temannya kena kecelakaan, mau aman sendiri. Takut kalau ada polisi?”
Rasanya saya ingin mengambil batu dari neraka untuk menyumpal mulut sopir pikap sialan ini. Tapi sebelum sempat saya mencari batu, korban kecelakaan ikut buka suara, dan mencoba menjelaskan sambil menahan kesakitan, “Saya memang tidak kenal dengan mas itu (sambil menunjuk ke arah saya). Kami tadi jalan sendiri-sendiri. Tiba-tiba ada kucing lewat, terus saya berusaha mengendalikan motor biar tidak nabrak kucing. Tapi akibatnya malah saya jatuh.”
Setelah mendengar penjelasan itu, sopir pikap tampaknya mulai percaya. “Kucing!” katanya kemudian.
Setelah itu, mungkin karena merasa bersalah akibat ngamuk-ngamuknya barusan, sopir pikap tampak memperhatikan si korban kecelakaan, dan menyarankan agar ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Dia bersedia mengantar.
Akhirnya, kami menggotong korban kecelakaan ke bak pikap, membaringkannya di sana. Sementara motornya kami titipkan pada salah satu toko yang bersedia.
Sampai di situ, saya pikir urusan selesai, dan saya akan melanjutkan perjalanan untuk mencari makan malam. Tapi sopir pikap tadi meminta saya agar menemaninya ke rumah sakit. “Biar ada saksi, kalau-kalau saya nanti dituduh menabraknya!” ujarnya.
Meski agak dongkol, saya merasa tidak punya pilihan, jadi saya pun menurut. “Saya mengikuti dari belakang.”
Sopir pikap itu membawa si korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat, dan saya membuntuti dari belakang dengan motor.
Sesampai di rumah sakit, kami menghubungi IGD, dan si korban kecelakaan dipindah ke brankar. Kami menjelaskan apa yang terjadi pada pihak rumah sakit, dan mereka tampak langsung paham.
Korban kecelakaan tadi masih sadar, dan bisa diajak berbicara. Jadi, saat dia akan didorong masuk, saya pamitan, “Mas, saya tinggal tidak apa-apa, ya.”
“Iya, Mas,” sahutnya. “Biar nanti saya hubungi keluarga saya. Terima kasih sudah mengantar ke sini.”
Setelah itu, sopir pikap ikut pamitan, dan dia mengatakan sesuatu yang tidak saya sangka-sangka, “Lain kali, Mas, kalau nemu kucing di jalanan gitu, tabrak saja! Daripada malah masuk rumah sakit gini. Kucing!”
Saya merasa, sopir pikap ini tipe orang yang kalau ngomong tidak boleh didebat. Jadi saya diam saja, dan melangkah perlahan menuju motor di parkiran... untuk melanjutkan rencana makan malam.