Kalimat pertama hanya menjadi serangkai kata.
Langkah pertama hanya menjadi awal mula.
Tapi kesadaran dan konsistensi mengubah segalanya.
Anak Twitter, kalau ngomongin privilese, sering kali mendefinisikannya secara sempit. Padahal privilese tidak sesempit yang kita pikirkan. Bahkan sekadar memahami adanya privilese itu pun sebenarnya sudah privilese, karena ada banyak orang lain yang sama sekali tidak tahu!
Privilese itu kan artinya “hak istimewa”—sesuatu yang kita miliki, yang memungkinkan kita untuk mendapatkan/mengakses sesuatu, yang tidak dimiliki orang lain. Maknanya tentu sangat luas, tidak sebatas keluarga atau pendidikan saja. Bisa membaca catatan ini pun sudah privilese.
Bisa main Twitter dan mengakses internet itu privilese, karena ada orang-orang yang tidak bisa mendapatkannya karena beragam alasan. Misalnya karena tidak ada akses atau sumber daya/kemampuan yang memadai.
Banyak orang yang sama sekali tidak punya komputer dan ponsel, apalagi akses internet. Dan mereka menjalani kehidupan tanpa hal-hal yang kita miliki (komputer/ponsel/akses internet), juga tanpa mengetahui hal-hal yang kita dapatkan (informasi dan aneka pengetahuan).
Banyak pula orang yang memiliki ponsel dan tersambung ke internet, tapi tidak tahu bahwa internet itu luas. Mereka hanya tahu bahwa internet itu ya Facebook. Kalau mereka membuka Facebook, mereka menganggap telah mengakses internet. Ada, bahkan banyak, yang seperti itu.
Tinggal di tempat yang tenang, hening, minim kebisingan, itu privilese! Karena suasana semacam itu memungkinkan orang belajar dengan tenang, dan menjalani hidup dengan khusyuk. Itu privilese yang tidak saya miliki. Tempat tinggal saya terus bising nyaris tanpa henti.
Saya tidak menikah, karena ingin menjalani hidup di rumah sendirian, dalam ketenangan, keheningan, tanpa suara dan keributan. Tapi suara-suara dari luar—yang dikeraskan loudspeaker atau toa—terus menerus masuk ke rumah, dan saya sulit mendapat keheningan.
Jadi, kalau kamu kebetulan tinggal di tempat yang tenang, hening, minim kebisingan, itu privilese, dan terus terang saya iri dengan privilese yang kamu miliki. Kamu pasti bisa belajar dan bekerja dengan tenang, bisa membaca buku tanpa terganggu, dan bisa menjalani hidup dengan khusyuk.
Diam-diam, kita sebenarnya punya banyak privilese, kalau dipikir-pikir. Tapi karena pelangi selalu ada di atas kepala orang lain, kita pun lebih mampu—dan lebih biasa—meributkan privilese yang tampak dimiliki orang lain; daripada menikmati, menggunakan, dan mengembangkan privilese yang kita miliki.
....
....
Seseorang pernah bertanya, “mengapa orang miskin tetap miskin?”, dan saya menjawab panjang lebar—dari rusaknya sistem sampai privilese yang tidak dimiliki.
Dia menggeleng, dan berkata, “Yang menyebabkan orang miskin tetap miskin, sebenarnya, karena tidak tahu bahwa mereka miskin.”
Pernyataan itu, jujur saja, menjungkirbalikkan semua logika di kepala saya. Sistem yang buruk atau bahkan rusak memang menciptakan kemiskinan. Ketiadaan privilese juga ikut mewariskan kemiskinan. Tapi di atas semua itu, penyebab kemiskinan adalah ketiadaan kesadaran!
Seseorang baru menyadari siapa dirinya—di mana posisinya—setelah dia tahu tentang itu. Orang bodoh baru tahu dirinya bodoh setelah dia menyadarinya. Selama dia tidak menyadari dirinya bodoh, sampai kapan pun dia tetap akan bodoh, dan sulit diajak belajar. Wong tidak sadar!
Hal serupa terjadi pada kemiskinan. Entah kita tahu atau tidak, ada banyak orang miskin yang tidak sadar mereka miskin. Biasanya, orang-orang itu tinggal di komunitas yang sama, sehingga tidak ada pembanding. Karena tidak ada pembanding, mereka tidak pernah tahu.
Orang bodoh yang tidak sadar dirinya bodoh, biasanya merasa pintar. Dan orang yang merasa pintar biasanya sulit diajak belajar. Begitu pula orang miskin yang tidak sadar dirinya miskin. Bagaimana mereka terpikir untuk berjuang dan memperbaiki nasib, misalnya, kalau merasa miskin saja tidak?
Jadi, kalau kita kebetulan termasuk miskin, dan sadar bahwa kita miskin, itu privilese! Oh, well, sadar bahwa kita miskin itu privilese, karena ada banyak orang miskin yang sama sekali tidak sadar bahwa mereka miskin. Sadar bahwa kita miskin memungkinkan kita bergerak maju.
Karena sadar bahwa kita miskin, kita jadi punya pijakan atau arah pikiran yang lebih baik, salah satunya berpikir lebih kreatif untuk meningkatkan taraf hidup. Itu sesuatu yang tidak dimiliki orang-orang miskin lain, yang sama sekali tidak sadar mereka miskin. Dengan kata lain; privilese.
So, menurut saya, sebelum ngoceh panjang lebar soal sistem dan omong ndakik-ndakik lain, ada baiknya kita bertanya, “Apakah orang-orang miskin yang konon kita perjuangkan nasibnya itu benar-benar menyadari bahwa mereka miskin, ataukah mereka justru tidak sadar bahwa mereka miskin?”
....
....
Dulu, waktu masih selo, saya pernah mati-matian mengajak orang-orang untuk belajar, tapi mereka tidak pernah mau, atau ogah-ogahan. Semula, saya berpikir cara mengajak yang saya gunakan keliru, atau tidak tepat. Tetapi, meski saya telah menggunakan aneka cara berbeda, mereka tetap tidak mau diajak belajar.
Belakangan saya menyadari bahwa mereka tidak mau diajak belajar bukan karena cara ajakan yang keliru, tapi karena mereka tidak merasa butuh belajar. Dengan kata lain, sudah merasa pintar! Kalau orang sudah merasa pintar, bahkan Dajjal sekali pun akan kesulitan mengajak mereka belajar. Wong sudah merasa pintar!
Pengalaman seperti itu, jujur saja, sudah berkali-kali saya alami, dan terus terang saya sudah kecewa, bahkan patah hati, hingga sampai taraf tidak peduli.
Kini, ketika saya telah sangat sibuk, kadang ada sekelompok orang menemui saya, mengatakan “kami ingin belajar”, dan saya menyambut mereka dengan terbuka. Meski sangat sibuk, saya berusaha meluangkan waktu untuk orang-orang itu, dan menyediakan waktu seminggu sekali untuk bertemu, berkumpul—di mana pun mereka ingin. Bisa di rumah saya, atau di tempat lain yang mereka suka. Intinya, saya menghargai orang-orang yang mau belajar. Dan kami lalu belajar bersama, tentang apa saja, dengan santai dan tawa ceria. Mereka tidak membayar serupiah pun, mereka hanya perlu meluangkan waktu.
Pada awalnya, mereka semua sangat antusias, seolah tahun depan akan bisa menguasai dunia. Tetapi, pada akhirnya, semua berakhir sama. Antusiasme mereka perlahan pudar, dan yang datang di acara pertemuan semakin sedikit, untuk kemudian hilang sama sekali. Apa alasannya? Sederhana; mereka lebih dikuasai kemalasan daripada mempertahankan hasrat belajar.
Untuk bisa kaya, kita butuh proses, kerja keras, dan perjalanan waktu yang tidak sebentar. Begitu pula, untuk bisa cerdas, kita butuh proses, belajar keras, dan waktu yang lama. Tapi para pemalas tidak sadar, dan ingin cepat cerdas sekaligus kaya secepat merebus mi instan!
Karena fenomena semacam itu telah terjadi berulang kali, akhirnya saya pun menyadari, bahwa bukan tugas saya—juga bukan tugasmu—untuk mencerdaskan siapa pun, itu tugas masing-masing orang pada dirinya sendiri. Setiap orang harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Kalau seseorang ingin lebih pintar, pertama-tama dia harus menundukkan kemalasannya, kebodohannya, keterbelakangannya. Selama dia masih menjadi budak kemalasan, kebodohan, dan keterbelakangannya sendiri, bahkan para malaikat di surga tidak bisa apa-apa.
Kesadaran mengenai hal ini, jujur saja, menjadikan saya “tidak peduli”, dan itulah latar kenapa saya lebih suka ngomong sendiri.
Dua ribu tiga ratus sebelas tahun yang lalu, seorang bocah sok pintar menemui Socrates, dan menyatakan ingin belajar. “Saya ingin tahu semua yang Anda ketahui,” katanya dengan pongah.
Socrates membawa bocah itu ke pinggir sungai, lalu memegangi kepala si bocah, dan menenggelamkannya ke air, sampai cukup lama, sampai hampir mampus.
Setelah bocah itu megap-megap karena kehabisan napas, Socrates menarik kepalanya dari dalam air, dan berkata, “Kalau kamu punya hasrat belajar sebesar hasratmu untuk bernapas saat kepalamu tenggelam di air tadi... silakan temui aku lagi. Dan sebelum itu, persetan denganmu.”