Semoga Tuhan melindungimu, Jessica.
Dan semoga kebenaran membebaskanmu.
Takdir kadang sangat tak terduga, seperti klimaks yang tiba-tiba. Seperti takdir yang terjadi lima tahun lalu, yang belakangan melemparkan Jessica Kumala Wongso ke balik dinding penjara.
Lima tahun yang lalu, pada 6 Januari 2016, Jessica janjian dengan dua temannya, untuk bertemu di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Dua teman itu adalah Wayan Mirna Salihin dan Hanny Boon Juwita.
Jessica tiba lebih dulu di kafe, dan dia memesan tiga minuman—untuk dirinya sendiri, dan untuk dua temannya. Tiga minuman yang dipesan Jessica waktu itu adalah dua koktail untuk dirinya dan Hanny, serta kopi vietnam untuk Mirna.
Sesaat setelah itu, dua teman Jessica datang, dan mereka duduk di satu meja. Mirna meminum kopi vietnam yang telah dipesankan untuknya, dan, tak lama kemudian, dia tak sadarkan diri. Mirna lalu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Terkait peristiwa itu, polisi turun tangan—mereka memeriksa kafe, para pegawai, CCTV, juga memeriksa Jessica, Hani, dan keluarga Mirna. Singkat cerita, Jessica ditetapkan sebagai tersangka. Peristiwa itu terjadi pada 29 Januari 2016, dan dasar persangkaan adalah menaruh racun sianida dalam kopi yang diminum Mirna.
Pada 15 Juni 2016, sidang pertama untuk kasus itu digelar. Belakangan, butuh 32 kali persidangan, sampai akhirnya majelis hakim memutuskan Jessica bersalah, dan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara. Peristiwa itu terjadi pada 27 Oktober 2016.
Sebelumnya, di persidangan ke-28, yang terjadi pada 13 September 2016, Jessica membacakan pledoi (nota pembelaan) di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sambil berurai air mata, dia menyatakan tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan, bahwa dia tidak membunuh Mirna, bahkan punya niat saja tidak.
Tapi pledoi dan air mata Jessica tidak mengubah keputusan majelis hakim yang tetap memutuskan dia bersalah, serta menjatuhkan hukuman yang sampai saat ini masih dijalaninya.
Berikut ini transkrip lengkap nota pembelaan Jessica yang ia bacakan pada 13 September 2016 silam (saya transkrip seutuhnya, dengan sedikit perbaikan dan penambahan tanda baca di sana-sini, agar lebih nyaman dibaca, tanpa ada sedikit pun perubahan substansi).
Saya ada di sini, karena dituduh meracuni teman saya, Mirna. Saya tidak menyangka kalau pertemuan di tanggal 6 Januari tersebut adalah saat terakhir saya bertemu Mirna, apalagi saya dituduh membunuhnya. Namun saya sadar, tidak ada yang luput dari kehendak Tuhan yang Maha Esa. Dan selama ini saya diberi kekuatan yang sangat luar biasa untuk menghadapi cobaan ini.
Mirna adalah teman yang baik, karena memiliki sifat yang ramah, baik hati, dan jujur dengan teman-temannya. Selain itu, dia juga sangat humoris, kreatif, dan pandai.
Walau kita jarang bertemu karena tinggal di negara yang berbeda, tetap sangat mudah untuk menghabiskan waktu berjam-jam bercanda dan mengobrol pada saat bertemu.
Tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa Mirna datang dari keluarga yang siap menekan dan mengintimidasi siapapun yang mereka percaya telah berbuat hal yang buruk, walau tanpa penjelasan yang pasti.
Itu membuat saya berpikir, apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna? Bagaimanapun juga, saya tidak membunuh Mirna. Jadi seharusnya tidak ada alasan untuk memperlakukan saya seperti sampah. Saya mengerti kesedihan mereka, dan saya pun merasa sangat kehilangan. Tapi saya pun dituduh membunuh, yang saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan itu dengan kata-kata.
Sebelum kejadian, saya tidak mendapatkan firasat apapun yang menunjukkan kalau hari itu akan mengubah hidup banyak orang. Semua hal yang saya lakukan dan tidak saya lakukan dibesar-besarkan, seluruh rakyat Indonesia menghakimi saya. Semua tuduhan kejam, berdasarkan tuduhan yang saya tidak mengerti. Tapi membuat semua orang percaya kalau saya seorang pembunuh.
Keluarga saya dipojokkan, dan kami dibuat sangat menderita. Yang Mulia, sulit untuk menjelaskan apa yang benar-benar saya rasakan atas kejadian ini. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Apa benar ini gara-gara kopi? Tapi satu hal yang saya tahu dan yakini, saya tidak menaruh racun dalam kopi yang diminum Mirna.
Seringkali saya berpikir, apa ada hal yang bisa saya lakukan lebih baik di hari itu untuk mengubah semuanya? Pikiran ini membuat saya sangat sedih dan tertekan. Dalam waktu yang cukup lama, saya tidak bisa berupaya untuk membela diri. Walaupun kenyataan hidup saya sangat mengerikan, tapi saya yakin Tuhan mendengar doa saya, karena ini doa orang benar yang tertindas.
Pada hari kematian Mirna, mimpi buruk saya dan keluarga saya dimulai. Sejak di rumah duka, saya sudah dituduh menaruh sesuatu di kopi Mirna, lalu polisi tanpa seragam dan identitas mulai berdatangan ke rumah. Bahkan keluarga sekitar terganggu. Wartawan mulai datang ke rumah, dan akhirnya saya tampil di media dan dicemooh.
Setelah itu saya ditangkap di hotel, dimana saya dituduh lagi mencoba untuk kabur, padahal waktu itu kami hanya mencari ketenangan dan kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di rumah lagi. Untuk keluar membeli makan saja sulit. Mulai hari penangkapan, tekanan dari polisi semakin terlihat. Mereka terus menerus menyuruh saya untuk mengaku dengan rekaman CCTV sebagai senjata.
Yang Mulia, tidak peduli seberapa berat, sedih, tertekan dan hancur, apapun dan siapapun tidak akan bisa membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan, dan tidak mungkin akan saya lakukan.
Saya ditempatkan di satu sel yang ukurannya tidak lebih 1,5 x 2,5 meter. Saya diperingatkan, tahanan lain akan melakukan hal yang tidak baik terhadap saya. Tidak ada satu barang pun yang saya miliki, dan tidak boleh dikunjungi keluarga sampai lima hari ke depan. Satu-satunya benda yang ada di sana adalah sepotong pakaian kotor di lantai. Sewaktu saya berbaring di sana, saya menangis, dan bertanya apa yang sudah saya lakukan, sehingga saya diperlakukam seperti ini.
Saya mencoba mencari orang lain, karena saya sangat takut berada di sana. Saya tidak berani membayangkan bagaimana perasaan orang tua saya. Lalu saya coba mengintip dari satu-satunya celah, untuk berkomunikasi, yaitu lubang kecil di pintu besi. Tapi tidak ada seorang pun di sana.
Pada malam berikutnya, direktur pimpinan umum yang menjabat saat itu, datang ke sel saya, dan mengajak ke satu ruangan. Dengan disaksikan penjaga dari luar ruangan, dia mulai berbicara dengan bahasa Inggris, bahwa dia merendahkan harga dirinya untuk datang ke tahanan. Lalu dia meminta saya mengakui tuduhan yang diberikan kepada saya, dengan dalih sudah memeriksa rekaman CCTV. Pada intinya, dia mau mengatakan, kalau saya mau mengakui maka saya akan divonis tujuh tahun, bukan hukuman mati atau seumur hidup.
Lalu saya kembali ke sel. Di sana saya berharap untuk bangun dari mimpi buruk ini, dan berpikir kenapa mereka sangat yakin kalau saya menaruh racun di kopi tersebut. Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud semua ini.
Yang Mulia, salah satu pengalaman yang terberat adalah waktu rekonstruksi di Grand Indonesia. Setibanya di sana, saya melihat banyak sekali polisi, baik di luar ataupun di dalam gedung. Apapun tujuan mereka, itu sudah berhasil mengintimidasi.
Dengan memakai baju tahanan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan, saya mendapatkan tatapan sinis dari semua orang, terutama pegawai Kafe Olivier. Tapi yang membuat saya hancur adalah saat melihat Arif dan Hanny dan keluarga mereka. Di balik ekspresi saya yang tenang, saya hanya ingin berteriak kepada mereka kalau saya tidak membunuh Mirna.
Mohon tolong saya, saya sangat menderita. Namun pada saat itu saya hanya bisa menerima perlakuan dan perasaan mereka, dan berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar.
Tidak selesai itu saja, setelah itu saya harus berjalan menuju toko sabun. Di sore hari pada hari Minggu, saya harus melewati pengunjung yang menghujat saya pembunuh berdarah dingin, dan mengambil foto. Sampai sekarang saya tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua itu.
Saat itu saya kembali ke sel dan mengeluarkan semua air mata yang tertahan seharian. Saya tidak mau mempedulikan situasi sel yang sangat tidak nyaman, karena hal ini. Selama masih secara rutin diperiksa di Polda dan di RSCM, walau berat saya tetap mengikuti, dan berharap cepat selesai, dan bisa pulang.
Bagaimanapun stresnya, saya tetap menghormati proses pemeriksaan sesuai prosedur. Semua tuduhan yang berdatangan dari orang-orang yang tidak dikenal dan orang-orang yang dulu saya sayangi, membuat saya merasa tidak ada lagi yang tersisa dalam diri saya. Namun saya yakin semua akan baik-baik saja.
Setelah empat hari dikurung sendiri, saya dipindahkan ke Pondok Bambu. Pertama-tama saya sangat takut, karena begitu banyak orang di sana membuat saya sangat khawatir akan peringatan polisi pada saat saya ditahan.
Setelah keluar dari isolasi di Polda, saya perlahan mulai bisa memepersiapkan diri untuk bisa menghadiri proses sidang yang menyeramkan ini. Menyeramkan, karena tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengadili saya sebagai pembunuh.
Padahal saya tidak melakukan itu. Bahkan saat proses persidangan berlangsung, kehidupan saya pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini dibahas dan menjadi konsumsi publik. Banyak orang yang, dengan sengaja maupun tidak sengaja, menindas dan menekan saya.
Saya tetap bersyukur karena masih ada orang di sekitar saya, yang saya kenal secara pribadi maupun tidak, dengan tulus memberikan dukungan, dan percaya kalau saya tidak bersalah. Dengan dukungan tersebut, saya bisa bersikap tegar dan tersenyum.
Kalau Yang Mulia dapat berhenti sejenak, membayangkan Yang Mulia berada di posisi saya, Yang Mulia akan bisa mengerti kenapa saya bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa semua ini sangat membingungkan, bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti ini terhadap saya. Karena pengalaman ini, hidup saya tidak akan kembali seperti semula.
Namun saya tidak menyesal telah mengenal Mirna. Dia akan selamanya hidup di hati saya sebagai teman yang baik, dan dia tahu kalau saya tidak mungkin meracuni orang. Saya memohon Yang Mulia bisa dengan bijak menilai karakter saya.
Bukan berdasarkan kebohongan. Walaupun sisi baik saya selalu diabaikan di persidangan ini, saya tetap berharap agar Yang Mulia bisa menilai dengan hati yang arif dan bijak dalam menilai karakter saya yang sesungguhnya.
Saya bersumpah kalau saya bukan seorang pembunuh. Saya berada di sini dengan tegar dan kuat adalah bukti yang mutlak kalau Tuhan bersama kita semua. Terima kasih Yang Mulia sudah mendengarkan saya.