Nemu ini, dan baru tahu, ternyata Fadli Zon dan Fahri Hamzah telah berteman sejak masih bocah. Terlepas dari urusan politik, selalu salut pada orang-orang yang mampu melanggengkan pertemanan hingga puluhan tahun.
Omong-omong soal pertemanan. Ada suatu masa ketika aku punya pikiran seperti kebanyakan orang; milikilah teman sebanyak-banyaknya. Ada banyak hal positif—yang belakangan nyaris terdengar seperti doktrinasi—mengenai pentingnya memiliki banyak teman. Dan itulah yang kulakukan.
Aku pernah punya banyak teman, dari teman jauh sampai teman dekat. Ironisnya, teman-teman yang dekat ini belakangan justru menimbulkan masalah. Pengkhianatan, menikam dari belakang, dan meninggalkan luka amat dalam; sesuatu yang kusesali karena pernah mengenal mereka.
“Yang tidak membunuhmu akan menguatkanmu.” Mungkin benar. Sejak itu aku menyadari tidak bisa mengandalkan teman atau siapa pun, selain diriku sendiri. Dan perasaan serta keyakinan itu menguatkanku. Aku tak peduli lagi dengan pertemanan, toh mereka menghilang saat dibutuhkan.
Sejak itu dan seterusnya, bahkan hingga saat ini, aku benar-benar tak tertarik dengan pertemanan, karena sudah terlalu trauma, dan terluka. Kini, aku hanya memiliki segelintir teman, yang jumlahnya bisa dihitung jari. Tapi kami benar-benar saling percaya, dan itu sudah cukup.
Tentu saja ada banyak orang yang kukenal dan mengenalku, khususnya di dunia nyata, tapi aku menganggap mereka hanya “sebatas kenal”, bukan teman. Aku lebih memilih tetap menjaga jarak. Bagiku, itu lebih aman, daripada membiarkan mereka “masuk” dan kemudian menimbulkan luka.
Mungkin aku tak beruntung dalam urusan pertemanan, dan yang kualami belum tentu sama dengan semua orang. Yang jelas, aku telah mendapat pelajaran pahit dari pertemanan, dan aku telah trauma, dan terlalu terluka. Sebenarnya, aku bahkan nyaris kehilangan kepercayaan pada siapa pun.
Dulu aku percaya ketulusan, sampai kemudian ketulusanku cuma dimanfaatkan. Dulu aku percaya pertemanan, sampai kemudian pertemanan membuahkan pengkhianatan. Trauma serta luka itulah yang lalu membuatku lebih menikmati kesendirian... dan tak peduli lagi dengan urusan pertemanan.
Seorang mbakyu berkata, “Kenangan itu seperti pisau tajam, Hannibal. Selama kau mengingatnya, selama itu pula kau akan terluka.”
Mungkin benar. Yang jadi masalah, Hannibal Lecter tak pernah lupa.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Oktober 2020.