Baca dan perhatikan berita di bawah ini, dan ingatlah sampai,
setidaknya, satu tahun yang akan datang. Ingatan memberikan
pelajaran, tapi Homo sapiens adalah makhluk pelupa.
—@noffret
Satgas berharap, temuan kasus positif Covid-19
yang disebabkanvarian baru virus corona sebaiknya
tidak disikapi dengan ketakutan yang berlebihan.
—@kompascom
Dan omong-omong soal Covid-19 yang tak juga selesai ini...
Terlepas dari petaka yang telah ditimbulkannya, Covid-19 adalah virus yang ajaib, khususnya jika dilihat dari sudut pandang sains. Ia mampu bermutasi dengan sangat cerdik sekaligus cepat, dari waktu ke waktu, dari satu orang ke orang lain, dan menghasilkan efek yang berbeda-beda.
Jika kita mengingat kembali saat pertama kali Covid-19 muncul—dalam arti dikenal dunia—dampak yang diakibatkannya bisa dibilang biasa saja. Sebegitu biasa, sampai menkes waktu itu—Terawan—terkesan menggampangkan. Bagaimana pun, dia dokter, jadi dia “tahu apa yang dihadapinya”.
Sayangnya, Terawan—sebagaimana umumnya orang-orang lain di masa itu—hanya melihat apa yang terlihat. Ketika Covid-19 menyerang seseorang, waktu itu, dampaknya memang “biasa saja”. Setelah dirawat dengan baik, pasien pun sembuh, dan sehat kembali seperti sediakala. Tapi benarkah?
Sejak awal, aku tidak percaya kalau Covid-19 cuma “gitu-gitu aja”. Karena itulah, setahun yang lalu, Maret 2020, aku menulis ocehan ini.
Kau tertular corona, masuk rumah sakit dan diisolasi sambil memperkuat imunitas tubuh, lalu corona hilang sendiri? Kalau masih mengira atau berpikir seperti itu, kau perlu belajar lebih banyak! Tanpa bermaksud menakuti, wabah ini tidak seringan yang mungkin dipikir orang-orang.
Kalau “sekadar” tertular Covid-19, jujur saja, aku tidak terlalu khawatir. Itu mirip kita tertular flu—biasa saja. Yang kukhawatirkan adalah dampaknya. Sialnya, dampak itu tidak langsung terlihat.
Yang paling kurisaukan sebenarnya bukan tertularnya, tapi dampak yang ditimbulkannya. Tertular corona mungkin tidak menimbulkan kesakitan (secara fisik), tapi bagaimana dengan dampak yang ditimbulkannya? Tidak tahu soal ini, membuktikan bahwa kita perlu belajar lebih banyak.
Dampak tertular Covid-19 itu tersembunyi, diam-diam, sementara pasien yang sembuh merasa sehat kembali. Sekian waktu kemudian—dan ini bisa sangat lama—si pasien mulai merasakan dampak akibat tertular virus keparat itu. Tanyakan pada orang pertama yang tertular, dan kita akan tahu!
Orang pertama di Indonesia yang tertular Covid-19 adalah Sita Tyasutami (pasien 01), Maria Darmaningsih (pasien 02), dan Ratri Anindyajati (pasien 03). Ketika tertular, mereka “biasa saja”, dalam arti tidak tampak seperti kena penyakit berat, apalagi mereka menjalani hidup sehat.
Mereka bertiga lalu dinyatakan sembuh, dengan terapi yang juga “biasa saja”—makanan bergizi, asupan suplemen, cukup istirahat, etc—ingat, waktu itu belum ada vaksin! Intinya, mereka bertiga sembuh. Bahkan Menkes Terawan, waktu itu, merayakan kesehatan mereka dengan seremoni.
Dan apakah mereka tetap sehat seperti sediakala? Pada mulanya, iya. Lalu waktu-waktu berlalu, dan mereka merasa baik-baik saja. Satu tahun kemudian, dampak tersembunyi itu mulai menampakkan diri. Satu tahun setelah mereka sembuh, media menghubungi mereka, dan inilah yang terjadi.
Pasien 01 dihubungi lewat telepon, dan dia mengatakan (verbatim), “Selama sampai bulan Desember itu [artinya setahun sejak terkena Covid-19], aku nggak ada kenapa-kenapa, normal aja kesehatanku. Nah, Januari 2021 ini mulai lemas dan sakit-sakitan lagi, sampai berminggu-minggu.”
Ia melanjutkan, “Terus kalau ngomong banyak kayak sekarang, teleponan gitu, aku juga ngos-ngosan. Jadi staminaku tidak kayak dulu lagi.”
Yang perlu diperhatikan di sini, Pasien 01, 02, dan 03, adalah orang-orang dari kalangan menengah atas yang menjalani gaya hidup sehat.
Tetapi bahkan menjalani gaya hidup sehat pun, mereka masih tetap terkena dampak latennya.
Sebenarnya, ada dampak lain yang terjadi pada mereka, tapi tak perlu kutuliskan di sini, karena bisa panjang sekali—kalian bisa searching sendiri kalau penasaran, karena banyak beritanya.
Intinya, yang ingin kukatakan, Covid-19 mirip Kuda Troya—menyimpan bahaya di balik sesuatu yang tampak biasa-biasa saja. Dan kenyataan itu akhirnya terbukti seiring penelitian demi penelitian mengungkapkannya. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, dampak Covid-19 bisa mengerikan.
Hal mengerikan pertama adalah kerusakan paru-paru. Agar aku tidak dituduh menakut-nakuti, sila cari sendiri. Hal mengerikan kedua dan seterusnya... well, sebaiknya kalian juga cari sendiri. Dan akhirnya, inilah dampak “terakhir”—armageddon—Covid-19 bisa menyebabkan impotensi.
Dr. Ranjith Ramasamy, direktur program urologi reproduktif, menuliskan penelitian itu di World Journal of Men's Health, dengan judul “Endothelial Dysfunction Can Cause Erectile Dysfunction: Histopathological, Immunohistochemical, and Ultrastructural Study of the Human Penis”.
Apakah "dampak terakhir" itu mengingatkan kita pada sesuatu?
Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai beberapa hari sebelum kiamat. Tapi ududku sudah habis. Jadi cukup sampai di sini, dan ingatlah selalu untuk hati-hati.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Mei 2021.