Dalam obrolan bersama Daniel Mananta, Atta Halilintar mengaku diam-diam tertekan berada di puncak popularitasnya. Kalau bisa, dia berkata, dia ingin kembali ke hidupnya yang dulu. "Gua pengin kembali ke gua yang dulu, bisa kerja, dapat duit, senang, udah. Nggak gini-gini banget."
Yang membuat Atta tertekan, berdasarkan pengakuannya pada Daniel Mananta, karena ada banyak hal yang sebenarnya tidak dia sukai, bahkan membuatnya tertekan, akibat popularitas. Dari kehidupannya yang terus disorot, sampai munculnya aneka kasus yang tiba-tiba berdatangan.
Atta Halilintar, yang disebut “YouTuber Nomor 1” dengan “penghasilan terbanyak di Asia”, yang bisa mengganti cat Lamborghini semudah mengganti cat kuku, diam-diam tertekan karena popularitas.
Kedengarannya agak “menakjubkan”, ya?
Popularitas itu paradoks; dan ini sesuatu yang tidak dipahami kebanyakan orang. Rata-rata kita—sebenarnya bukan “kita”, tapi “kalian”, karena saya tidak termasuk—berharap populer, dan karena itu berupaya dengan segala cara agar mendapat popularitas. Dan di situlah awal masalahnya.
Popularitas itu menyenangkan, hanya saat seseorang berada di AMBANG BATAS SEBELUM PUNCAK. Begitu seseorang sampai di puncak popularitas, ia akan terbunuh perlahan-lahan. Sejarah sudah membuktikan berkali-kali.
Marilyn Monroe depresi ketika di puncak popularitas, saat dia diam-diam sering menangis di bathtub, sendirian, dan berpikir tak punya seorang pun teman. Kita tahu bagaimana kisah lanjutannya. Begitu pula Kurt Cobain, Janis Joplin, atau artis-artis K-Pop, daftarnya panjang.
Popularitas itu seperti candu. Mula-mula, kita mencicipi. Terasa enak, dosisnya mulai tambah. Kita ingin terus, terus, dan terus, meniti tangga popularitas. Semakin besar popularitas, fly yang terjadi makin menyenangkan. Dan kita pun mulai berambisi tiba di puncak popularitas.
Masalah pun dimulai. Ketika orang belum sampai di puncak popularitas, ia akan terus mengejar. Dan begitu sampai di puncak, kejenuhan bahkan depresi dan putus asa mulai menjalar... meski mungkin pelakunya menyimpan diam-diam. Jika tidak percaya, sila tanya Atta Halilintar.
Mengapa popularitas bisa menimbulkan masalah pada pemiliknya? Bagi saya sederhana saja; karena popularitas adalah kondisi yang menempatkan seseorang pada ketergantungan penilaian orang-orang di luar dirinya. Siapa pun akan tertekan jika ditempatkan di posisi semacam itu.
Mari gunakan analogi sederhana. Jika hidupmu tergantung pada penilaian 10 orang di sekelilingmu, kamu mulai tidak nyaman. Jika hidupmu disorot 100 orang di sekelilingmu, kamu mulai tertekan. Sekarang gandakan angka itu menjadi 1.000, 100.000, 1.000.000... dan seterusnya.
Ini permainan sederhana. Kita tempatkan seseorang di tengah-tengah sorotan. Semakin banyak yang menyorot, dia akan semakin tidak nyaman. Dan itulah popularitas. Sebagai “ganti rugi” atas ketidaknyamanan itu, dia mendapat banyak uang.
Sudah paham logika dan cara permainannya?
Jangan salah paham, saya tidak bermaksud mengatakan popularitas itu buruk. Yang saya maksudkan, popularitas memiliki konsekuensi, salah satunya adalah ketidaknyamanan, karena hilangnya privasi. “Itu nggak nyamannya. Orang tahu sampai ke celana gua,” kata Atta Halilintar.
Menjadi populer (mengejar popularitas) atau menjadi orang biasa yang tidak populer, adalah soal pilihan, dengan konsekuensi masing-masing. Punya popularitas memungkinkan orang mendapat aneka privilese dan penghasilan besar, misalnya, tapi juga disorot banyak orang.
Sementara tidak punya popularitas memungkinkan orang menikmati kehidupan bebas dan leluasa, karena memang tidak populer dan tidak dikenali di mana-mana. Mungkin nyaman, tapi mungkin pula—dan biasanya—penghasilannya tidak sebesar orang-orang yang memiliki popularitas.
Paling enak, tentu saja, menjadi orang biasa yang bebas keluyuran ke mana pun tanpa dikenali orang-orang... tapi punya penghasilan sebesar orang-orang terkenal. Bagaimana caranya? Yo mbuh, saya tidak tahu.