Senin, 20 November 2023

Hati yang Tersakiti

Dulu, tiap Selasa sore, ada pasar tiban di dekat tempat tinggalku. Aku sering datang ke sana, dan beli tahu aci. Kadang ada teman yang mergoki, yang meledek, “Kamu tuh kayak bocah, jajannya tahu aci!” 

Dan aku tertawa saja, karena nyatanya aku memang bocah.

Pasar tiban itu rutin ada di sana, bertahun-tahun. Sampai, suatu ketika, jalanan di sekitar pasar tiban rusak parah, akibat sering tergenang banjir. Aspal yang semula mulus berubah rusak dan berlubang-lubang akibat air yang terus menggenang, dan itu sampai lama sekali.

Akibat jalanan rusak, pasar tiban jadi sepi, karena orang-orang mungkin enggan melewati jalanan rusak yang tergenang air. Akibatnya pula, pasar tiban yang semula rutin muncul tiap Selasa sore, kemudian hilang. Keramaian ala rakyat itu pun lenyap, akibat jalanan rusak.

Waktu-waktu berlalu, jalanan di sana tetap rusak, tetap tergenang air, dan pasar tiban telah lama hilang. Lalu, suatu waktu kemudian, jalanan yang rusak parah itu diperbaiki, ditinggikan, dan ada pos khusus yang dibangun untuk mengatur debit air, agar tak terjadi banjir.

Kini, jalanan yang semula rusak parah telah berubah mulus, dengan beton cor yang sangat kuat, dan tak lagi tergenang air. Lalu lintas kembali lancar, orang-orang kembali nyaman lewat sana. Dan apakah pasar tiban yang dulu muncul di sana kembali muncul? Tidak!

Sekarang, tiap Selasa sore, jalanan di sana tetap lengang, tidak ada pasar tiban, tidak ada keramaian ala rakyat seperti dulu. Dan, kupikir, seperti itulah hubungan kita dengan orang lain. Sekali hubungan itu rusak, kita tidak pernah bisa mengembalikan hubungan yang dulu.

Orang mungkin bisa meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan, serupa jalan yang diperbaiki setelah rusak parah. Tetapi, meski jalan yang rusak itu telah berubah menjadi jalan yang mulus, selalu ada hal-hal yang tak pernah kembali... seperti hati yang tersakiti.

 
;