Ini mungkin pendapat tidak populer (unpopular opinion) terkait Spider-Man. Aku nyaman melihat Spider-Man diperankan Tobey Maguire. Aku juga nyaman melihat Spider-Man diperankan Andrew Garfield. Tapi aku tidak nyaman melihat Spider-Man diperankan Tom Holland.
Spider-Man sudah terkenal sebagai “superhero paling manusiawi”. Dia hidup sederhana, dengan penampilan bersahaja, terkesan introver, sering canggung saat berinteraksi dengan orang asing—termasuk dengan wanita yang dicintainya—ciri-ciri umum sebagian besar kita; orang biasa.
Itulah sesuatu yang dimiliki Spider-Man, yang tidak dimiliki rata-rata superhero lain, sehingga dia lekat dengan sebutan “superhero paling manusiawi”. Dia tak punya orang tua, tinggal bersama paman-bibinya yang relatif miskin, suka belajar, dan berusaha hidup normal seperti orang lain.
Saat diperankan Tobey Maguire atau Andrew Garfield, Spider-Man memiliki karakter aslinya semacam itu, dan sosoknya mampu menyentuh hati terdalam kita. Peter Parker, di balik jubah Spider-Man, seperti memberi tahu kita, “Aku sepertimu, hidup kita sama, dan kamu juga bisa sepertiku.”
Spider-Man—yang diperankan Tobey Maguire atau Andrew Garfield—menghangatkan hati kita, menarik jiwa kanak-kanak dalam diri kita untuk kuat, optimis, dan tetap menjadi orang baik meski hidup sederhana. Dia pahlawan dalam arti sesungguhnya, hingga jutaan orang mencintainya.
Tapi semua kesan itu lenyap ketika Spider-Man diperankan Tom Holland—atau, setidaknya, aku merasa begitu. Sebagai penggemar Spider-Man, aku merasa tidak mengenali Peter Parker yang diperankan dia, aku merasa asing dengan Spider-Man yang diperankan dia. Semuanya berbeda.
Semua perbedaan itu, bisa jadi, karena Spider-Man versi Tom Holland telah diplot sejak awal untuk bergabung dengan semesta Avengers. Akibatnya, Spider-Man harus “disesuaikan” dengan para superhero lain di Avengers, meski untuk itu sama artinya membuang ciri-ciri dan kepribadian asli sang superhero.
Spider-Man versi asli adalah Spider-Man penyendiri.
Itu ciri penting yang hilang dari tokoh Spider-Man, ketika diperankan Tom Holland—superhero yang soliter, berubah jadi superhero dalam kawanan. Hal itu masih “diperparah” dengan sentuhan magis Tony Stark, yang menjadikan Spider-Man nyaris tak terkalahkan. How ironic!
Hanya Spider-Man versi Tom Holland yang memiliki kekuatan ajaib dari kostum yang dikenakannya, karena kostum itu dirancang Tony Stark. Dengan kostum yang “ajaib”—penuh senjata tersembunyi—Spider-Man jadi semacam Iron Man. Dia tidak lagi memiliki sisi manusiawi.
Padahal, yang menjadikan kita merasa dekat dengan Spider-Man, karena dia begitu manusiawi. Meski sangat kuat karena memiliki kekuatan super, dia tetap bisa jatuh, terluka, dan butuh pertolongan orang lain. Semua “keindahan manusiawi” itu lenyap saat diperankan Tom Holland.
Dalam Spider-Man versi Tobey Maguire, jutaan orang menangis saat melihat dia pingsan setelah berusaha menghentikan kereta api yang melaju tak terkendali. Lalu tangan-tangan orang lain berusaha memeganginya, agar dia tak terjatuh, lalu menggotongnya, menunggu dia sadar dari pingsannya.
Dalam Spider-Man versi Andrew Garfield, sekali lagi jutaan orang menangis saat melihatnya terjatuh saat berusaha naik gedung tinggi, karena kakinya terluka. Lalu dia berlari terpincang-pincang, di atas puncak gedung, dan kembali terjatuh... lalu tangan-tangan orang lain menolongnya.
Sayangnya, adegan-adegan ajaib yang manusiawi semacam itu tak ada lagi dalam Spider-Man versi Tom Holland. Dengan kostum ajaib buatan Tony Stark, Spider-Man versi Tom Holland sudah terlalu kuat, hingga tak mungkin kalah, tak mungkin terluka, dan tak butuh pertolongan orang lain.
Aku merindukan Spider-Man yang dulu, yang “mirip denganku”.