Senin, 20 Mei 2024

Merindukan Spider-Man yang Dulu

Ini mungkin pendapat tidak populer (unpopular opinion) terkait Spider-Man. Aku nyaman melihat Spider-Man diperankan Tobey Maguire. Aku juga nyaman melihat Spider-Man diperankan Andrew Garfield. Tapi aku tidak nyaman melihat Spider-Man diperankan Tom Holland.

Spider-Man sudah terkenal sebagai “superhero paling manusiawi”. Dia hidup sederhana, dengan penampilan bersahaja, terkesan introver, sering canggung saat berinteraksi dengan orang asing—termasuk dengan wanita yang dicintainya—ciri-ciri umum sebagian besar kita; orang biasa.

Itulah sesuatu yang dimiliki Spider-Man, yang tidak dimiliki rata-rata superhero lain, sehingga dia lekat dengan sebutan “superhero paling manusiawi”. Dia tak punya orang tua, tinggal bersama paman-bibinya yang relatif miskin, suka belajar, dan berusaha hidup normal seperti orang lain.

Saat diperankan Tobey Maguire atau Andrew Garfield, Spider-Man memiliki karakter aslinya semacam itu, dan sosoknya mampu menyentuh hati terdalam kita. Peter Parker, di balik jubah Spider-Man, seperti memberi tahu kita, “Aku sepertimu, hidup kita sama, dan kamu juga bisa sepertiku.”

Spider-Man—yang diperankan Tobey Maguire atau Andrew Garfield—menghangatkan hati kita, menarik jiwa kanak-kanak dalam diri kita untuk kuat, optimis, dan tetap menjadi orang baik meski hidup sederhana. Dia pahlawan dalam arti sesungguhnya, hingga jutaan orang mencintainya.

Tapi semua kesan itu lenyap ketika Spider-Man diperankan Tom Holland—atau, setidaknya, aku merasa begitu. Sebagai penggemar Spider-Man, aku merasa tidak mengenali Peter Parker yang diperankan dia, aku merasa asing dengan Spider-Man yang diperankan dia. Semuanya berbeda.

Semua perbedaan itu, bisa jadi, karena Spider-Man versi Tom Holland telah diplot sejak awal untuk bergabung dengan semesta Avengers. Akibatnya, Spider-Man harus “disesuaikan” dengan para superhero lain di Avengers, meski untuk itu sama artinya membuang ciri-ciri dan kepribadian asli sang superhero. 

Spider-Man versi asli adalah Spider-Man penyendiri.

Itu ciri penting yang hilang dari tokoh Spider-Man, ketika diperankan Tom Holland—superhero yang soliter, berubah jadi superhero dalam kawanan. Hal itu masih “diperparah” dengan sentuhan magis Tony Stark, yang menjadikan Spider-Man nyaris tak terkalahkan. How ironic! 

Hanya Spider-Man versi Tom Holland yang memiliki kekuatan ajaib dari kostum yang dikenakannya, karena kostum itu dirancang Tony Stark. Dengan kostum yang “ajaib”—penuh senjata tersembunyi—Spider-Man jadi semacam Iron Man. Dia tidak lagi memiliki sisi manusiawi.

Padahal, yang menjadikan kita merasa dekat dengan Spider-Man, karena dia begitu manusiawi. Meski sangat kuat karena memiliki kekuatan super, dia tetap bisa jatuh, terluka, dan butuh pertolongan orang lain. Semua “keindahan manusiawi” itu lenyap saat diperankan Tom Holland.

Dalam Spider-Man versi Tobey Maguire, jutaan orang menangis saat melihat dia pingsan setelah berusaha menghentikan kereta api yang melaju tak terkendali. Lalu tangan-tangan orang lain berusaha memeganginya, agar dia tak terjatuh, lalu menggotongnya, menunggu dia sadar dari pingsannya.

Dalam Spider-Man versi Andrew Garfield, sekali lagi jutaan orang menangis saat melihatnya terjatuh saat berusaha naik gedung tinggi, karena kakinya terluka. Lalu dia berlari terpincang-pincang, di atas puncak gedung, dan kembali terjatuh... lalu tangan-tangan orang lain menolongnya.

Sayangnya, adegan-adegan ajaib yang manusiawi semacam itu tak ada lagi dalam Spider-Man versi Tom Holland. Dengan kostum ajaib buatan Tony Stark, Spider-Man versi Tom Holland sudah terlalu kuat, hingga tak mungkin kalah, tak mungkin terluka, dan tak butuh pertolongan orang lain.

Aku merindukan Spider-Man yang dulu, yang “mirip denganku”.

Diri Sendiri

Kenyataannya, yang paling bisa diandalkan di dunia ini hanyalah diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2014.

Bisnis Paling Menguntungkan

Dulu, zaman togel belum online dan secanggih sekarang, ada orang-orang yang jualan angka ramalan togel, yang dijamin “pasti jos”. Tiap kali melihat penjual angka-angka ramalan itu, aku ketawa sendiri. Karena, kalau memang angka-angka itu “pasti jos”, kenapa tidak dia beli sendiri?

Orang menjual angka-angka yang dia sebut “pasti jos dan menghasilkan kemenangan besar”. Kalau memang dia yakin begitu, kenapa dia harus repot-repot menawarkannya ke orang-orang lain? Kenapa tidak dia beli sendiri saja angka-angka yang “pasti jos” itu, dan nikmati kemenangannya?

Anehnya, selalu ada orang-orang yang mau-maunya beli angka ramalan togel, dan percaya saja kalau angka-angka itu “pasti jos”, lalu membeli togel dengan angka-angka itu. Jika kebetulan “jos”, dia makin percaya. Jika ternyata tak terbukti, dia akan berpikir, “Mungkin belum rezekinya.”

Jualan ramalan togel sepertinya bisnis yang menyenangkan, ya? Karena, ketika ramalan itu terbukti, orang yang membeli akan semakin percaya. Tapi ketika ramalan tidak terbukti, si penjual tinggal ngomong, “Ya namanya juga togel, nggak ada kepastian. Bisa untung, bisa rugi.” 

Bisnis paling menguntungkan memang jualan sesuatu yang terdengar indah, tapi, jika ternyata gagal atau tak terbukti, si pembeli yang disalahkan. Sebenarnya, itu lebih tepat disebut penipuan.

Mengubah Diri, Mengubah Dunia

Ada kalimat terkenal, berbunyi, “Dulu, waktu masih muda, aku ingin mengubah dunia. Tapi lalu aku sadar dunia tidak bisa diubah. Aku lalu menurunkan impianku, dan ingin mengubah negaraku. Tapi ternyata sulit. Aku turunkan lagi impianku, dan ingin mengubah keluargaku, tapi ternyata mengubah keluarga pun rasanya sulit. Belakangan, aku menyadari, seharusnya aku mengubah diriku sendiri terlebih dulu, lalu berusaha mengubah keluargaku. Setelah itu, aku bisa mulai berusaha mengubah negaraku, dan, siapa tahu, aku bisa mengubah dunia?”

Khayalan naif banyak orang adalah “ingin mengubah dunia”, tapi lupa untuk mengubah dirinya sendiri. Padahal, jika seseorang punya impian tentang perubahan, hal pertama yang harus diubah adalah dirinya sendiri terlebih dulu. Tanpa itu, semua impian adalah khayalan kosong.

Selalu mudah melihat ketidakberesan di luar sana, tapi tidak semua orang bisa melihat ketidakberesan di dalam dirinya sendiri. Selalu mudah menggaungkan “perubahan” atas hal-hal di luar dirinya, tapi tidak semua orang bersedia menerima kenyataan bahwa dirinya terlebih dulu yang harus diubah.

Hari Mulia

#MenolakLupa 

Hari ini, juga hari-hari lainnya, adalah hari mulia dan berharga. Karena kita belum pernah menjalani hari ini sebelumnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2014.

Stalking

Yang stalking hati-hati, jangan sampai kepencet favorit. #Euh


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2012.

Mau Ngewe Aja Pakai Mutar-Mutar

Sebagai hetero, kadang aku mikir hubungan cowok-cewek tuh emang ribet, bahkan rumit. Cowok mau ngajak ngewe, misalnya, harus mutar-mutar dulu; ngajak ngamer, lah. Ngajak ngafe, lah. Ngajak karaoke, lah. Padahal tujuannya ya ngajak ngewe. Dan si cewek bisa jadi sebenarnya paham.

Kenapa cowok tidak to the point aja, mengatakan langsung kalau dia ngajak ngewe? Karena si cewek mungkin akan ngamuk! Jadi, meski sama-sama paham dan sama-sama mau, cowok harus mutar-mutar dulu, karena cewek biasanya menuntut gitu. Pokoknya, semakin mutar-mutar semakin baik.

Ya suka-suka mereka, sih, wong mereka yang melakukan. Kalau memang sudah sama-sama dewasa dan sama-sama mau, ya itu urusan mereka. Cuma, aku males aja kalau harus gitu. Ribet! Yang dituju sebenarnya Z, tapi harus mutar dulu dari A ke B, lalu ke C, dan seterusnya. Gak ada waktu!

Kalau dipikir-pikir, latar belakang semacam itulah yang melahirkan aksi "modus" yang banyak dilakukan cowok-cowok. Mereka gak [bisa] terus terang mengatakan maksudnya (dalam kasus ini ingin ngewe), jadi mereka mutar-mutar pakai aneka modus dan rayuan, demi maksudnya tercapai.

Kalau cowok to the point ngemeng ingin ngewe, si cewek pasti nolak, bahkan bisa jadi akan ngamuk. Tapi kalau cowok pakai modus dan rayuan dulu—disertai janji-janji indah—bisa jadi si cewek mau. Tapi kalau sejak awal tujuannya cuma ingin ngewe, akhirnya si cewek merasa tertipu.

Consent itu penting, tapi kalau sesuatu terjadi berdasarkan modus dan rayuan dan aneka janji, di situ tidak ada consent, karena salah satunya terpedaya. Consent baru terjadi ketika dua pihak sama-sama tahu dan sama-sama sadar mengenai apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi.

Ketika si cowok ngewe sebatas ngewe, sementara si cewek berpikir mereka akan pacaran atau menikah, misalnya, maka itu bukan consent! Kalau mau pakai perbandingan, ONS bahkan lebih layak disebut aktivitas yang dilakukan dengan consent, karena keduanya menyadari apa yang terjadi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Januari 2020.

Masalah Kita

Masalah kita; meributkan banyak hal yang terjadi, tapi tidak pernah meluangkan waktu untuk memikirkan mengapa semua itu terjadi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2014.

Tak Pernah Berubah

Di dunia ini, yang tak pernah berubah hanya Saleem Iklim. Suaranya tetap serak-serak basah. Terpujilah Tuhan yang telah menciptakan Saleem.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2014.

Katanya

Katanya, lebih mudah meredam keinginan, daripada menghentikan sesuatu yang telah kita lakukan. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Uapnya Luar Biasa

Iya.

Jumat, 10 Mei 2024

Startup, Investasi, dan Bakar Uang

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, dan teringat sesuatu.

Bagi yang sudah kenal (akrab) internet sebelum tahun 2000, kemungkinan besar kenal AstagaCom dan KafegaulCom. Dua portal yang merupakan saudara kandung itu dulu tenar banget di dunia maya. Pengguna internet sepertinya belum dianggap gaul kalau belum kenal dua situs itu.

Di luar dua portal itu, ada situs-situs lain yang sama populer, di antaranya KoridorCom, IndoexchangeCom, dan PlasaCom. Mereka semua pernah jaya di zamannya, dan mungkin tidak ada satu pun dari mereka yang pernah berpikir bahwa suatu saat akan kolaps!

AstagaCom bubar di tengah jalan. Pernah bangkit lagi, bubar lagi. Bangkit lagi, dan bubar lagi. Konon, situs ini sudah menghabiskan 6 juta dolar, untuk upaya memperpanjang hidup, meski tetap kolaps. Sekarang AstagaCom memang bangkit lagi dan masih aktif, tapi tidak sebesar dulu.

Sementara saudara kandungnya, KafegaulCom, sampai sekarang masih kolaps, dan tak pernah bangkit lagi. Nama domainnya dijual seharga 1.700 dolar, tapi tampaknya tidak laku. Padahal dulu, di era jayanya, nilai situs ini pasti sangat tinggi.

Nasib serupa dialami IndoexchangeCom yang sekarang juga kolaps dan lenyap. Begitu pula KoridorCom yang ambruk meski telah menghabiskan biaya 2 miliar untuk pembangunannya. KoridorCom memang masih aktif, tapi sudah berbeda dengan yang dulu (mungkin sudah ganti kepemilikan).

Yang paling tragis mungkin PlasaCom. Di zamannya, PlasaCom menjadi salah satu mercusuar dunia maya. Situs ini bahkan menyediakan email gratis yang digunakan banyak orang Indonesia. Sekarang? Kolaps, sudah hilang, dan berganti nama menjadi BlanjaCom. Nasibnya serupa Friendster.

Sebelum kolaps, PlasaCom sempat mengubah diri menjadi portal semacam Line Today. Selama waktu-waktu itu, aku sempat berpikir—dan berharap—mereka mampu memperpanjang napasnya. Tapi ternyata memang tak mudah memperpanjang hidup "jiwa yang sekarat". Aku berduka untuk mereka.

Anggap saja semua situs yang kusebut tadi adalah start up, dan bermain start up artinya "membakar uang". Dan tidak ada jaminan uang yang kita bakar bisa kembali. Dalam hal ini, membangun situs termasuk start up berbiaya mahal, yang mungkin tak masuk akal bagi sebagian orang.

Aku teringat pada situs-situs kuno itu hingga menulis ocehan ini, karena tadi ngobrol sama beberapa orang terkait start up yang baru mereka luncurkan. Mereka sudah menghabiskan 400 juta (dan aku tidak yakin ini jumlah besar), hanya untuk "mengenalkan nama kami ke masyarakat".

Kalau untuk "mengenalkan diri" saja sudah menghabiskan 400 juta, berapa total uang yang telah mereka bakar, khususnya untuk membangun infrastruktur start up?

"Lebih dari empat kalinya," mereka menjawab. Dan sekali lagi aku tidak yakin itu jumlah yang besar.

Start up memang bisa dibangun dengan biaya nyaris nol, tapi jelas butuh waktu lama untuk tumbuh. Agar cepat berkembang, harus ada banyak uang yang dibakar. Tapi itu pun tidak memberi jaminan sebuah start up pasti tumbuh besar dan hidup. Situs-situs kuno bisa menjadi pelajaran.

Di luar start up, investasi apa yang terjamin menghasilkan keuntungan besar? Tergantung siapa yang kita tanya.

Robert Kiyosaki: Investasi properti
Warren Buffet: Investasi saham
Harold Hamm: Investasi minyak
Amancio Ortega: Investasi ritel pakaian
Ustad: Investasi akhirat

‏ 
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 April 2019.

Kebiasaan Baik

Memulai kebiasaan membaca buku itu berat. Menjaga kebiasaan membaca buku juga berat. Tapi yang paling berat adalah... kau berhenti dari kebiasaan membaca buku, lalu ingin memulainya lagi.

Kebiasaan yang terputus di tengah jalan sering membuat orang enggan memulainya kembali.

Kebiasaan yang baik, tak peduli semudah dan seringan apa pun seperti membaca buku, biasanya berat. Setidaknya lebih berat dibanding kebiasaan bengong atau kebiasaan malas-malasan. Dan manusia tidak lahir bersama kebiasaan baik—ia yang membentuknya sendiri seumur hidup.

Sebenarnya, kalau mau objektif, tidak ada kebiasaan baik yang berat—yang ada hanyalah perasaan berat saat mulai membiasakannya. Ambil contoh yang sepele; kebiasaan bangun pagi. Itu mudah, bagi yang biasa melakukan. Tapi luar biasa berat dan sulit bagi yang tidak/belum terbiasa.

Ada teman biasa nge-gym 3 jam setiap hari, dan telah melakukannya bertahun-tahun. Bagi dia, itu sangat ringan bahkan menyenangkan. Tapi bagiku, yang tidak terbiasa, jelas sangat berat.

Sebaliknya, dia menganggap baca buku 3 jam setiap hari sangat berat, tapi bagiku sangat mudah.

Ada banyak kebiasaan baik yang bisa dimiliki siapa pun, tinggal kita mau memilikinya atau tidak. Dan memiliki kebiasaan baik artinya bertarung melawan [kemalasan] diri sendiri, dan pertarungan itu biasanya terjadi seumur hidup. Tidak apa-apa, kau akan mendapat lawan yang sepadan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 April 2019.

Obat Putih

Sekadar mengingatkan, punya obat merah atau Betadine di rumah itu penting. Karena luka kadang muncul di waktu tak terduga.

Ini aku lagi meneteskan obat merah ke luka di jari, dan berpikir, "Kenapa ada obat merah tapi tidak ada obat putttiiiiiiihhh?" Apeuh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 April 2019.

Pertanyaan Kepada Cewek

Dear cowo

Kami gasuka ya kamu tanyanya lagi apa? Udah makan belum?

Emangnya kita balita apa

@intanorii


Aku tidak pernah tanya "lagi apa?" atau "udah makan belum?" pada cewek! Yang kutanyakan, "Apakah kamu setuju jika String Theory disebut cabang fisika teoretis yang menggabungkan mekanika kuantum dan Relativitas Umum menjadi teori kuantum gravitasi?"

Tapi dia malah bengong!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 April 2019.

Menyesal

“Asli saya menyesal. Kalau saja saya tahu menikah ternyata seberat ini, saya tidak akan buru-buru menikah.”

Percakapan Pagi Hari » https://bit.ly/2VVyw0r 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 April 2019.

Mutar-mutar Tidak Jelas

Menurutku, cara terbaik untuk tahu seseorang pintar atau goblog adalah dengan melihat apakah dia bicara to the point atau mutar-mutar. Semakin banyak dia mutar-mutar, biasanya semakin goblok. Ciri yang paling mudah dikenali dari orang pintar adalah to the point!

Dalam percakapan, khususnya dalam diskusi/debat yang membutuhkan argumentasi, kadang-kadang kita memang butuh “memutar”—dalam arti menjauh dari topik inti yang sedang dibahas—tapi itu memiliki tujuan khusus yang terarah, yaitu mengajukan argumentasi yang kuat.

Cara semacam itu dipraktikkan banyak filsuf, ilmuwan, intelektual, atau rata-rata orang cerdas ketika mengajukan pemikiran-pemikiran mereka. Teknik semacam itu mirip petarung yang menjauhi lawannya sejenak—bukan untuk kabur—tapi untuk menyiapkan serangan telak. 

Berbeda dengan orang tolol. Ciri paling mencolok orang tolol adalah ditanya A, tapi jawabannya Z—tidak nyambung sama sekali. Mereka juga suka bicara mutar-mutar untuk mengesankan diri mereka pintar, tapi mutar-mutarnya tidak memiliki ujung jelas, hanya mutar-mutar.

Secara pribadi, aku lebih suka bercakap-cakap dengan orang yang berbicara dengan cara sederhana, menggunakan bahasa sederhana, dan, kalaupun harus membahas hal-hal rumit, berusaha menyampaikannya dengan sederhana, yang lebih mudah dipahami dalam percakapan.

Sangat melelahkan berbicara dengan orang yang suka ndakik-ndakik, ngomong mutar-mutar tapi tidak jelas ujung pangkalnya. 

Saat berbicara, aku menganut prinsip pribadi; “Jujurlah, dan jangan berusaha membuat orang lain terkesan. Jika mereka terkesan, itu urusan mereka.”  

Pakai Bahasa Indonesia Saja

Sekadar saran. Kalau bikin thread penting atau menyampaikan info penting, mbok pakai bahasa Indonesia saja, tidak usah maksa pakai bahasa Inggris. Karena selalu ada kemungkinan sebagian orang tidak/belum fasih bahasa Inggris, hingga kesulitan menerima informasi yang diberikan.

Sering ada thread/informasi PENTING yang berseliweran di TL-ku, tapi terus terang aku malas me-retweet, sebagai bentuk protes kepada penulisnya. Kalau thread/informasi itu ditulis orang Indonesia dan ditujukan pada orang Indonesia, mestinya menggunakan bahasa Indonesia.

Di Twitter memang ada gejala aneh. Kalau merasa yang akan disampaikan itu PENTING, penulisnya akan menggunakan bahasa Inggris. Padahal, justru karena itu PENTING, mestinya ditulis menggunakan bahasa Indonesia, agar SEMUA ORANG bisa memahami dengan jelas dan tidak salah tangkap.

Ada juga orang yang kalau berdebat akan [tiba-tiba] menggunakan bahasa Inggris, meski sejak awal pakai bahasa Indonesia. Biasanya, hal itu terjadi karena TIDAK PERCAYA DIRI DENGAN UCAPAN/ARGUMENTASINYA SENDIRI.

Kalau kamu biasa ngemeng pakai bahasa Indonesia, lalu berdebat dan tiba-tiba menggunakan bahasa Inggris, mungkin kamu berpikir akan tampak lebih pintar. Benarkah begitu? Tidak! Orang lain justru akan menilaimu tidak percaya diri, dan kamu mencoba menutupinya dengan bahasa Inggris.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 April 2019.

Hukum Rata-rata

Letakkan orang yang kemampuannya rata-rata di tengah orang-orang bodoh, dia akan terlihat pintar. 

Letakkan orang yang kemampuannya rata-rata di tengah orang-orang pintar, dia akan terlihat bodoh. 

Jadi kalau kita merasa dianggap pintar, lihat dulu lingkungan kita.

Asal Usul Kemeja

Baru tahu. 

Istilah ‘kemeja’ berasal dari bahasa Portugis, yaitu ‘camisa’, yang berarti ‘baju atau pakaian atas untuk pria’.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 April 2019.

Howone Semromong

Howone semromong, kata orang Jawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 April 2019.

Wop Blas

Iyo.

Rabu, 01 Mei 2024

Tidak Bangga Jadi Introver

Meski judulnya mungkin lebay, dan membuatku—sebagai introver—tidak nyaman, tapi isinya sangat... sangat mewakili.

Tidak Bangga Jadi Introver

Aku tidak bangga menjadi introver, terus terang saja. Karena kerap membuat orang lain salah sangka, bahkan membuat orang-orang menatap/menilaiku secara berbeda. Kalau bisa, aku ingin seperti orang-orang ekstrover (yang mayoritas), sehingga orang lain menganggapku "orang biasa".

Kutipan dari artikel tadi, "Bagi banyak introvert, waktu menyendiri dari teman yang cerewet atau lebay bisa membuat mereka jauh lebih mandiri dan bebas dari tekanan sosial."

Itu benar sekali. Menghadapi kecerewetan dan ke-lebay-an itu sangat menekan batin dan menjengkelkan.

Rata-rata teman dekatku adalah orang-orang kalem, tidak banyak tingkah, dan tidak suka cari perhatian. Aku nyaman bersama orang-orang semacam itu, dan karena itulah kami bisa menjadi teman. Tapi karena orang semacam itu hanya sedikit, temanku pun tergolong sedikit. Tidak apa-apa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2019.

Kultum (Kuliah Tujuh Milenium)

Yang ngasih kultum masih segar bugar, yang menyimak kultum sudah pada modar.

Orang terakhir di muka bumi yang masih tertinggal tampak sekarat, dan, sementara kultum masih berlangsung, orang itu tampak tersengal-sengal mengatakan kalimat terakhirnya, “O... ora penting blas!”

Tolol

Tolol adalah orang yang berpikir tak bisa hidup tanpa orang lain. Lebih tolol lagi yang berpikir orang lain tak bisa hidup tanpa dirinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Ocehan di Hari Buruh

Mumpung Hari Buruh, aku ingin ngoceh “soal perburuhan”, siapa tahu bermanfaat bagi sesama buruh. Well, nyatanya sebagian besar kita—untuk tidak menyebut semua—memang buruh, kok. Meski mungkin buruh kreatif yang bekerja di ruangan adem dan “sok bukan buruh”.

Aku kadang dapat job (istilah keren untuk "pekerjaan") dari beberapa perusahaan di Indonesia, baik yang terkenal maupun yang namanya baru kukenal. Sering kali, job yang mereka sodorkan "tidak masuk akal". Mereka kirim brief siang ini, dan pekerjaan harus selesai malam nanti.

Dulu, pertama kali mendapat job seperti itu, aku membatin, "Sistem kerja sialan apa ini? Mereka pikir aku mesin atau bagaimana?"

Tapi lalu aku berpikir dan berkata pada diri sendiri, "Kamu bisa melakukannya, dan itu mudah bagimu. Kenapa harus marah? Kerjakan saja, dan bereskan!"

Jadi, itulah yang kulakukan. Meski batas waktu yang mereka berikan sangat mepet (dan mungkin sulit dipenuhi orang lain), aku menyelesaikan seperti yang mereka inginkan.

Mungkin karena mereka puas dengan kinerjaku, job-job lain berdatangan, dengan "sistem kerja kilat" yang sama.

Belakangan aku tahu, ternyata job-job yang dikirim untukku kebanyakan sudah ditolak banyak orang (mungkin karena dianggap sulit atau karena memang waktunya tidak mencukupi). Bagi si pengirim job (yang mewakili perusahaannya), aku semacam "dewa penyelamat" dari deadline-keparat.

Agar ocehan ini lebih bisa dipahami, masing-masing perusahaan punya pekerja khusus yang tugasnya mencari dan menemukan para pekerja kreatif. Para "pekerja khusus" itu biasanya saling kenal dengan pekerja khusus dari berbagai perusahaan lain, karena mereka punya pekerjaan serupa.

Tampaknya, dari situlah mereka bisa tahu aku, hingga mengirim job untukku. Mereka hanya punya brief dan deadline, tapi mungkin sulit menemukan orang tepat yang bisa membereskan. Dari obrolan di antara sesama, mereka lalu menemukan namaku, dan job-job itu lalu mengalir untukku.

Kadang-kadang aku takjub dengan hal ini. Aku tidak pernah melamar kerja ke perusahaan mana pun, dan aku tidak pernah mengenalkan/mempromosikan diri dalam bentuk apa pun. Tapi pekerjaan-pekerjaan itu mengalir untukku, tanpa ribut-ribut, dan semoga saja tidak akan berhenti. Amin.

Yang paling menakjubkan dari semua ini adalah... kami tidak pernah bertemu, dan artinya kami juga tidak saling kenal! Mereka hanya menyodorkan brief dan deadline lewat email, dan aku membereskannya. Aku tidak punya jaminan apa pun, selain hasil kerja yang memuaskan mereka.

Oh ya, ada satu orang yang pernah kutemui (pertemuan ini memang tak terhindarkan, karena pekerjaannya memang sangat rumit, dan brief tidak cukup diwakili tulisan). Aku pun (terpaksa) mendatangi kantornya, dan dia menjelaskan panjang lebar sampai aku benar-benar paham.

Setelah aku benar-benar paham, dia menyerahkan kertas kerja, dan bertanya, "Kapan kira-kira ini akan selesai?"

Sambil tersenyum, aku menjawab, "Sebelum kamu bangkit dari tempat dudukmu."

Dia tertawa ngakak, dan tentu saja percaya. Track record kerjaku sudah membuktikannya.

Andai aku tidak terikat perjanjian kerahasiaan kerja, sudah kusebutkan nama-nama perusahaan yang pernah kubereskan "urusan deadline"-nya. Itu portofolio panjang yang membanggakan—setidaknya bagiku—dan, well, sepertinya juga layak disombongkan, meski mungkin dengan sok malu-malu.

Dalam urusan kerja, terlepas apa pun pekerjaan kita, aku percaya "mencintai kerja" adalah modal terbesar yang perlu kita miliki. Mencintai pekerjaan memampukan kita melakukan sesuatu yang "mustahil", dan itu akan membentuk reputasi—sesuatu yang tak bisa ditebus dengan apa pun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Mei 2019.

Ingin Belajar Apeu

Jadi ingin belajar. Apppeeeeeeuuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Oktober 2020.

Pada Akhirnya, Hidup Memang Soal Pilihan

Dulu, kalau diajak ketemuan, aku mesti tanya, “Apakah ada foto-foto untuk Instagram? Apakah ada rekaman video untuk diunggah ke YouTube? Apakah ada live-news di media sosial?” 

Sekarang tampaknya harus ditambah, “APAKAH ADA JOGET-JOGET TOLOL DI TIKTOK?”

Tolong maafkan karena mengatakan ini, tapi aku benar-benar tidak nyaman jika menghadiri pertemuan, lalu ada sesi foto-foto, lalu dipamerkan di media sosial, seolah dunia harus tahu hanya karena kami bertemu. Memangnya sepenting apa pertemuan itu, hingga dunia harus tahu?

Belum lama, seseorang mengundang ke pertemuan di kafe. Aku tanya, “Apakah kafe itu Instagramable?” 

Dia menjawab dengan girang, “Ya, tentu saja!” 

“Kalau begitu, cari kafe lain yang tidak Instagramable, biar kalian fokus pada pertemuan, dan bukan malah sibuk foto-foto!”

Jangankan foto-foto, aku bahkan sudah tidak nyaman jika lawan bicaraku mengeluarkan ponsel, lalu perhatiannya terpecah ke layar ponsel, selagi kami sedang berbicara. Itu sesuatu yang tidak akan kulakukan, bahkan umpama aku sedang berbicara pada galon Aqua!

Tentu saja aku tidak mempermasalahkan siapa pun yang suka membuat dan mengunggah foto-foto ke Instagram, atau suka merekam apa pun dan mengunggahnya ke YouTube. Itu hak setiap orang! Tetapi, aku dan orang lain juga punya hak untuk tidak mau melakukannya.

Bagi bocah sepertiku, rasanya [makin] susah sekali bersosialisasi dan berkumpul dengan orang-orang lain, karena setiap acara kumpul-kumpul selalu menghadapi “kewajiban” untuk mengunggahnya ke media sosial, memamerkannya pada dunia, seolah itu bagian ibadah.

Sering kali aku berpikir, kehidupan macam apa sebenarnya yang tengah kujalani ini? Orang melakukan apa pun selalu diiringi hasrat pamer, bahkan ketika melakukan sesuatu yang sangat remeh temeh. Makan mi direkam video, duduk santai difoto, apa pun saja harus dipamerkan.

Katakan saja aku ketinggalan zaman, tapi aku benar-benar rindu kehidupan masa lalu, saat aku bisa menemui siapa pun, berkumpul dengan siapa pun, dan bisa bercakap-cakap dengan menyenangkan, tanpa diganggu aktivitas foto-foto, rekaman video, atau joget tolol di TikTok.

Pada akhirnya, hidup memang soal pilihan. Bagaimana pun, aku harus menghormati pilihan siapa pun yang senang pamer demi alasan “aktualisasi diri”. Yang masih kupersoalkan... kenapa mereka yang suka pamer itu tampaknya sulit menerima pilihanku untuk berbeda?

Makan Kacang

Kalau makan kacang rasanya gak ingin berhenti.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 April 2019.

Sendok-sendok Bertebaran di Depan Rumah-

rumahan.

Nyetel Kaset

Nyetel kaset yang itu-itu saja, lalu dikeraskan dengan loudspeaker hingga kedengaran sampai jauh, dan begitu terus setiap hari.

Manfaate opo?

Mbuh

Mbuh!

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2019.

 
;