Dulu, kalau diajak ketemuan, aku mesti tanya, “Apakah ada foto-foto untuk Instagram? Apakah ada rekaman video untuk diunggah ke YouTube? Apakah ada live-news di media sosial?”
Sekarang tampaknya harus ditambah, “APAKAH ADA JOGET-JOGET TOLOL DI TIKTOK?”
Tolong maafkan karena mengatakan ini, tapi aku benar-benar tidak nyaman jika menghadiri pertemuan, lalu ada sesi foto-foto, lalu dipamerkan di media sosial, seolah dunia harus tahu hanya karena kami bertemu. Memangnya sepenting apa pertemuan itu, hingga dunia harus tahu?
Belum lama, seseorang mengundang ke pertemuan di kafe. Aku tanya, “Apakah kafe itu Instagramable?”
Dia menjawab dengan girang, “Ya, tentu saja!”
“Kalau begitu, cari kafe lain yang tidak Instagramable, biar kalian fokus pada pertemuan, dan bukan malah sibuk foto-foto!”
Jangankan foto-foto, aku bahkan sudah tidak nyaman jika lawan bicaraku mengeluarkan ponsel, lalu perhatiannya terpecah ke layar ponsel, selagi kami sedang berbicara. Itu sesuatu yang tidak akan kulakukan, bahkan umpama aku sedang berbicara pada galon Aqua!
Tentu saja aku tidak mempermasalahkan siapa pun yang suka membuat dan mengunggah foto-foto ke Instagram, atau suka merekam apa pun dan mengunggahnya ke YouTube. Itu hak setiap orang! Tetapi, aku dan orang lain juga punya hak untuk tidak mau melakukannya.
Bagi bocah sepertiku, rasanya [makin] susah sekali bersosialisasi dan berkumpul dengan orang-orang lain, karena setiap acara kumpul-kumpul selalu menghadapi “kewajiban” untuk mengunggahnya ke media sosial, memamerkannya pada dunia, seolah itu bagian ibadah.
Sering kali aku berpikir, kehidupan macam apa sebenarnya yang tengah kujalani ini? Orang melakukan apa pun selalu diiringi hasrat pamer, bahkan ketika melakukan sesuatu yang sangat remeh temeh. Makan mi direkam video, duduk santai difoto, apa pun saja harus dipamerkan.
Katakan saja aku ketinggalan zaman, tapi aku benar-benar rindu kehidupan masa lalu, saat aku bisa menemui siapa pun, berkumpul dengan siapa pun, dan bisa bercakap-cakap dengan menyenangkan, tanpa diganggu aktivitas foto-foto, rekaman video, atau joget tolol di TikTok.
Pada akhirnya, hidup memang soal pilihan. Bagaimana pun, aku harus menghormati pilihan siapa pun yang senang pamer demi alasan “aktualisasi diri”. Yang masih kupersoalkan... kenapa mereka yang suka pamer itu tampaknya sulit menerima pilihanku untuk berbeda?