Kamis, 20 Juni 2024

Membeli Durian

Kemarin dapat durian sangat enak. Sekarang dapat durian lagi yang lebih besar dan lebih enak. Subhanallah....

Rejeki bocah soleh? Bukan. Well, mungkin lebih tepat disebut rejeki bocah yang sering kangen mbakyunya. Apeu.

Membeli durian, bagiku, mungkin mirip judi. Kalau dapat yang tidak enak, jadi penasaran. Kalau dapat yang enak, jadi ketagihan. Kenyataannya, membeli durian memang kadang mirip judi. Kita tidak bisa yakin apakah pilihan sudah benar, dan baru tahu belakangan saat dibuka di rumah.

Kadang-kadang, kita dapat durian yang tampak bagus, dengan aroma wangi semerbak. Tapi waktu dibuka di rumah, ternyata biasa saja, bahkan ada kalanya malah busuk hingga tak bisa dimakan. Sebaliknya, kadang kita dapat durian yang "tidak meyakinkan", tapi ternyata sangat nikmat.

Ini aku ngemeng durian yang dibeli di pinggir jalan, ya. Bukan yang dijual di swalayan. Ya, di swalayan juga ada durian, dan biasanya durian montong yang sudah terkenal enak. Kalau beli durian di swalayan tidak perlu pilah-pilih, karena sudah terjamin enak. Tinggal dikilo saja.

Tapi sebagai penggemar durian, terus terang aku sudah bosan dengan durian montong, karena nikmatnya gitu-gitu aja. Ini mungkin kelebihan sekaligus kelemahan durian montong. Di satu sisi, durian montong terjamin enak. Tapi di sisi lain, enaknya bisa diprediksi bahkan bisa dihafal.

Satu dua kali menikmati durian montong pasti akan takjub dengan kenikmatannya. Tapi setelah berkali-kali, biasanya kita akan bosan, karena nikmatnya ya gitu-gitu aja. Nikmat yang bisa diprediksi. Aku bahkan hafal/bisa membayangkan kenikmatannya tanpa menyentuh wujud duriannya.

Berbeda dengan beli durian di pinggir jalan—kita tidak bisa yakin seperti apa rasa atau kenikmatannya, dan itu menjadikan aktivitas membeli serta menikmati durian lebih menyenangkan. Ada yang nikmat, ada yang hambar, ada yang nikmaaaaat banget, ada juga yang nikmat campur pedes.

Bahkan sama-sama nikmat pun, durian di pinggir jalan memiliki sensasi kenikmatan berbeda, karena memang berasal dari induk (tempat dan pohon) yang berbeda. Bisa jadi, inilah yang membuat banyak orang terus ketagihan membeli durian di pinggir jalan. Termasuk aku, tentu saja.

Rasa durian yang biasanya paling diburu para penggemar durian adalah "nikmat campur pedes". (Istilah pedes terkait hal ini mungkin kurang tepat, tapi sepertinya tidak/belum ada istilah lain yang lebih bisa mewakili). Intinya, nikmat campur pedes adalah puncak kenikmatan durian.

Bagaimana menemukan durian yang enak? Ini bisa menjadi hal yang gampang-gampang susah, dan membutuhkan pengalaman. Kalau masih pemula, pertama pastikan durian yang akan dibeli punya kulit yang mulus tanpa noda kehitaman. Kedua, dekatkan ke hidung, dan pastikan aroma/wanginya.

Berdasarkan pengalaman, dua hal itu bisa menjadi cara sederhana untuk mengenali durian yang nikmat. Jika kurang yakin, minta si penjual membuka kulitnya sedikit, hingga wanginya jelas tercium. Kalau perlu, sentuh daging durian, dan pastikan benar-benar lembut dan emesssshh. Apeu.

Saran lain, dan bisa jadi ini saran penting, belilah durian di tempat yang cukup terang, agar tidak mengalami nasib buruk seperti yang kualami berikut ini:

Penjual Durian yang Tidak Mencerminkan Registrasi » https://bit.ly/2UJYdED 

Well, selamat menikmati durian, kalau suka!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2019.

Omong-omong Soal Hobi

Lagi kepikiran. Sepertinya, salah satu hal yang membedakan manusia dengan binatang adalah hobi. Manusia mengenal hobi, sementara binatang tidak. Dan terpikir soal hobi, sepertinya hobi adalah sesuatu yang unik, menarik, sekaligus aneh, bahkan kadang tak masuk akal.

Kalau orang punya hobi membaca buku, misalnya, mungkin masih dianggap wajar dan biasa. Begitu pula hobi-hobi semacamnya. Tapi ada beberapa hobi yang mungkin agak aneh dan tak masuk akal. Dulu, aku pernah baca ada orang yang punya hobi “pura-pura mati”. Itu piye?

Hobi tampaknya menunjukkan identitas manusia, orang per orang, sekaligus mengukuhkan sifat manusia yang subjektif. Dalam hobi, bisa dibilang tidak ada objektivitas, karena masing-masing pemilik hobi biasanya akan menganggap hobinya yang paling asyik.

Yang hobi baca buku tentu menganggap aktivitas baca buku sangat menyenangkan. Tapi yang tidak suka baca buku bisa jadi berpikir, “Apa asyiknya membaca buku?” Begitu pula orang yang punya hobi pura-pura mati. Pasti menurutnya aktivitas itu sangat menyenangkan.

Ada orang yang punya hobi mengoleksi merpati balap—jenis merpati yang biasa diikutkan lomba. Harga merpati jenis itu mencapai puluhan juta. Namanya hobi, dia tidak peduli menghabiskan uang sampai ratusan juta demi memiliki merpati-merpati balap yang hebat.

Untung hobiku sederhana, cuma baca buku sambil menikmati teh hangat dan udud. Ngono wae, aku sudah bahagia. Aku bersyukur menjadi orang rumahan, yang senang tinggal di rumah, dan memiliki hobi yang bisa dinikmati di rumah. Tenang, dan minim masalah.

Makanya, terus terang, aku heran—campur kagum—pada orang-orang yang hobi traveling, keluyuran ke berbagai tempat, dari wilayah hutan sampai perkotaan, menghabiskan banyak waktu, energi, dan biaya besar. Sekali lagi, namanya juga hobi, mereka tentu senang.

Yang hobi traveling tentu menganggap perjalanan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Sementara yang tidak hobi, menganggap perjalanan sebagai sesuatu yang melelahkan. Hobi, kenyataannya, adalah subjektivitas manusia dalam menikmati kebahagiaan.

Ya, dulu aku juga kadang pergi ke tempat-tempat tertentu, tapi itu semata-mata urusan kerja—bukan traveling. Begitu urusan pekerjaan selesai, aku pulang. Sejujurnya, aku kurang bisa menikmati perjalanan. Sejujurnya pula, aku lebih bisa menikmati aktivitas ndusel. Apppeuuuhh!

Terlepas apa pun hobimu, sepertinya kita perlu bersyukur memiliki hobi. Dan kita perlu bersyukur karena masing-masing orang—setidaknya sejauh ini—tidak ada yang saling menyalahkan hobi orang lain. Karena nyatanya setiap manusia punya cara sendiri untuk bahagia.

Waktu dan Tempat

Ada waktu dan tempat untuk semuanya. Yang diperlukan hanyalah belajar dan percaya.

Ada waktu dan tempat untuk segalanya. Yang dibutuhkan hanyalah bekerja dan percaya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Juli 2012.

Orang-orang Brengsek

‘Halah, gitu doang masukin hati.’

Susah sih emang berhadapan sama orang yang enggak punya hati. Isi perutnya, usus doang. —@dsuperboy


Susahnya, orang-orang kayak gitu benar-benar ada, dan bisa jadi ada di sekitar kita. Terang-terangan menyinggung perasaan orang lain, dan, ketika orang yang disinggung benar-benar tersinggung, mereka malah menuduh “mudah tersinggung”.

Lebih goblok lagi, ketika menyadari kelakuannya telah menyinggung perasaan orang lain, mereka bukannya menyadari lalu minta maaf (karena terlalu tinggi hati), tapi memilih pura-pura tak tahu, atau malah menuduh, “Dia memang orangnya mudah tersinggung.”

Lalu, ketika orang yang disinggung memilih diam, karena malas berurusan dengan orang-orang semacam itu, mereka lalu menuduh "tidak mau memaafkan".

Lha minta maaf saja tidak, mengakui kesalahan juga tidak, malah menuduh orang lain tidak mau memaafkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 November 2022.

Ironi

Ironi adalah ketika ketiadaan dianggap ada, dan kekosongan dianggap makna.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Juli 2012.

Bagaimana

Kalau aku memasukkan sebongkah batu ke jurang, mungkin akan terlihat sia-sia. Tapi bagaimana jika aku terus melakukannya setiap hari?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2012.

Aku Mencintaimu

"Aku mencintaimu," kata si perempuan. 

"Apa...?!" sahut si laki-laki. "Kau mau mengutukku?!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2012.

Lupa Bahagia

"Kamu kenapa?" | Dia menjawab, "Aku sudah lupa bagaimana rasanya bahagia." | Dan diam-diam aku berdoa, "Semoga Tuhan benar-benar ada."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2012.

Takdir

Ketika takdir mulai ikut bermain, sesuatu yang paling mustahil pun menjadi mungkin.

Takdir itu seperti Joker. Ia terselip dan tersembunyi dalam tumpukan kartu, kemudian muncul tak terduga sambil menari-nari.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Juli 2012.

Ndlodroh

Iyo.

Senin, 10 Juni 2024

Gak Pede Nyapa Orang

Aku nggak pede menyapa orang lain, karena khawatir membuatnya terganggu atau nggak nyaman. Jadi kalau kamu berpikir aku akan menyapamu—dan pikiran itu membuatmu terganggu—sudah jelas kamu keliru. 

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juni 2014.

Gak Pede Nyapa Orang

Kamu menungguku nyapa dulu? Kamu bisa menunggu sampai kiamat, kalau mau. Bukannya gak mau nyapa, tapi aku benar-benar gak tahu gimana caranya.

Entah kenapa, aku sering gak yakin—atau gak pede—kalau mau nyapa seseorang yang masih asing. Kayak di Twitter, misalnya. Tiap kali mau nyapa, aku mikirnya, “Ntar gimana kalau dia gak suka, atau bikin dia gak nyaman?” Jadi, daripada bikin masalah, aku lebih suka diam aja.

Aku baru yakin saat nyapa seseorang, jika ada sesuatu yang memang benar-benar perlu kukatakan. Kalau ada hal jelas yang memang harus aku katakan, aku gak peduli nyapa/ngomong ke siapa pun, kenal atau gak kenal. Di dunia nyata ataupun di dunia maya, aku pede melakukannya.

Intinya, aku gak pede kalau sekadar nyapa basa-basi gak penting, khususnya dengan orang yang relatif asing atau belum akrab. Karena, ya itu tadi, aku khawatir kalau bikin dia terganggu atau gak nyaman. Daripada harus berspekulasi dengan respons orang lain, aku lebih memilih diam.

Sekadar cerita. Aku punya tempat makan langganan, dan biasa makan malam di sana sendirian. Saking seringnya makan di sana, sampai orang-orang—yang kukenal ataupun gak kukenal—suka menemuiku di sana, untuk berbagai keperluan. Dan aku senang-senang aja menerima mereka.

Suatu malam, saat lagi udud usai makan, aku mendapati dua pria di meja sebelah, bolak-balik menatap ke arahku. Biasanya, orang yang menemuiku di sana akan mendatangi setelah aku selesai makan. Jadi aku mengira mereka juga akan datang setelah melihatku selesai makan.

Tapi dua pria-entah-siapa itu tidak datang. Mereka hanya sesekali menengok ke arahku, lalu tampak berbisik-bisik kayak orang bingung. Sampai akhirnya ududku habis, dan aku beranjak pergi dari sana, dua pria itu masih membeku di tempatnya semula. Dan kisah ini belum selesai.

Di malam lain, saat aku kembali makan di sana, dua pria itu kembali ada di meja sebelah. Lagi-lagi mereka menatap ke arahku seperti orang bingung, dan tidak ada apapun yang terjadi. Lama-lama aku paham, mereka mungkin ingin menemuiku untuk suatu keperluan, tapi ragu-ragu.

Sampai empat kali peristiwa itu terjadi. Dan mereka tetap sama—hanya menatap ke arahku, tampak bingung, tapi tidak melakukan apapun. Di sisi lain, aku juga gak tahu—atau gak yakin—apa yang harus kulakukan. Jadi aku pura-pura gak tahu aja, dan tetap menikmati udud seperti biasa.

Ketika akhirnya ududku habis, dan aku melangkah keluar, dan melewati meja mereka, aku sempat membatin, “Kalian bisa menunggu sampai kiamat, kalau mau.”

Mari Kita Tunda

Seseorang pernah berkata, "Mari kita tunda semuanya sampai lebaran. Termasuk maaf-maafan." | Dia meninggal tadi siang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2012.

Melepaskan

Yang paling berat dalam hidup adalah melepaskan, meski dengan itulah kita memahami hidup.

Melepaskan saja kadang-kadang tak cukup, karena kita juga dituntut merelakan. Dalam kerelaan, mungkin, tak pernah ada kehilangan.

Apakah ranting kehilangan ketika bunga terlepas terbawa angin? Mungkin tidak. Untuk setiap bunga yang jatuh, ada beberapa yang tumbuh.

Apakah langit kehilangan setelah hujan berjatuhan? Mungkin tidak, karena air dimurnikan menjadi embun dan kembali kepada langit.

Aku belajar bahwa melepaskan adalah cara menerima karunia lebih besar, dan merelakan adalah pintu memasuki kejernihan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Juli 2012.

Merasa Manusia

Jika kita berpikiran terbuka, fisika adalah pseudosains, karena tidak "reproducible" di semesta-lain dengan hukum-alam yang berbeda. —@Okihita


Jika cara berpikirnya seperti itu, aku khawatir kita semua hanyalah pseudohuman; merasa diri manusia, tapi sebenarnya bukan manusia.

Tidak, aku tidak sedang membantah pemikiran orang lain. Aku hanya sedang khawatir. Karena nyatanya banyak manusia yang merasa dan mendaku diri sebagai manusia, tapi sebenarnya bukan manusia. Dehumanisasi? Mereka sendiri yang melakukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Desember 2022.

Kenal Lagu-lagu Richard Marx

Ada yang bilang, "Kalau kamu kenal lagu-lagu Richard Marx, masa remajamu keren!"

Aku kenal, bahkan suka, lagu-lagu Richard Marx, tapi masa remajaku biasa saja. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 November 2022.

Ingin Reading a Book

Ingin "reading a book" sama kamuuuuh. Apeuh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 April 2019.

Gak Bisa Bayangin

Gak bisa bayangin perasaan mbak ini. Suaminya selingkuh dengan ibunya. Karena itu ayah dan ibunya lalu bercerai, dan dia sendiri juga bercerai dengan suaminya, yang lalu menikah dengan ibunya. 

Kisah nyata kadang lebih gila dan tak masuk akal dari novel fiksi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Desember 2022.

Suka Lihat Lalapan

Aku bukan vegetarian. Tapi saat makan sehari-hari, aku lebih suka makan makanan yang alami (sebisa mungkin tanpa daging). Jadi selalu suka kalau lihat makanan/masakan ala lalapan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 November 2022.

Tumpukan Omong Kosong

Tumpukan omong kosong yang mereka sebut "pacaran".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Desember 2022.

Terhadap

Oooh... terhadap.

Sabtu, 01 Juni 2024

Ocehan di Twitter Bukan Karya Jurnalistik

Pengin tidur siang, tapi cuma gelisahan. Daripada bengong, iseng buka Twitter, dan TL rupanya sedang ramai dengan berita pemukulan oleh Satpol PP. Sebagian netizen mengarahkan pandangannya pada si penyebar berita, dan itu kupikir kontraproduktif.

So, aku jadi gatal ingin ngoceh.

Twitter adalah media sosial, dan ocehan di Twitter—dalam bentuk apa pun—bukan karya jurnalistik (kecuali si penulis menyatakan secara tegas bahwa ocehannya adalah karya jurnalistik, dan dia mematuhi standar serta rambu-rambu jurnalistik). 

Kenyataan ini mengandung konsekuensi.

Karena twit atau ocehan di Twitter bukan karya jurnalistik, kita (pengguna Twitter) tidak harus memenuhi standar jurnalistik ketika ingin menyebarkan berita, khususnya berita yang memang urgent (mendesak) untuk segera disebarkan. Misalnya kasus kekerasan, seperti yang viral tadi.

Kasus-kasus semacam itu memang harus disebarkan, agar mendapat perhatian luas, dan kita—pengguna Twitter—tidak wajib memenuhi standar jurnalistik yang baku untuk menyebarkannya. Asal berita yang kita sebarkan didukung bukti kuat (misal foto, video, atau saksi), itu sudah cukup.

Kalau menyebarkan berita di Twitter harus memenuhi cover both side, itu namanya kerja jurnalistik—bukan ngetwit! Itu tugas wartawan, bukan tugas netizen! Tugas netizen adalah menyebarkan berita yang memang harus disebarkan (diviralkan), dan wartawan kemudian bisa menindaklanjuti.

Faktanya, banyak kasus yang baru ditindaklanjuti setelah (di)viral(kan), dan itu artinya viral di media sosial adalah pressure kepada pihak-pihak yang memang harus menindaklanjuti, dari para jurnalis (untuk menyebarkannya di media massa) sampai aparat (untuk memeriksa kasus).

Lalu bagaimana jika berita yang kita sebarkan di media sosial—dan kemudian viral—ternyata keliru? 

Makanya, tadi aku bilang, ini mengandung konsekuensi. Karena kita [di Twitter] bukan jurnalis, masalah semacam itu harus kita hadapi sendiri, dan tidak bisa menggunakan dewan pers.

Intinya, setiap orang di media sosial tidak harus memenuhi standar atau kaidah jurnalistik ketika menyebarkan suatu berita, karena memang bukan jurnalis. Dan jika berita yang disebarkan itu keliru (menimbulkan masalah), itu bukan urusan dewan pers—itu urusan kita masing-masing.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juli 2021.

Akar Sebagian Besar Masalah

Akar sebagian besar masalah di dunia ini, disadari atau tidak, adalah orang-orang yang tidak cocok dengan gaya orang lain, lalu berusaha mengubah orang itu agar sesuai keinginan mereka. Itu konyol, kacau, dan menimbulkan aneka masalah, dari yang kecil sampai besar.

Setiap orang menjalani kehidupan berbeda, memiliki pemikiran berbeda, dan menikmati gaya hidup berbeda—bahkan kadang menyebalkan dengan cara berbeda. Selama mereka tidak mengganggu atau merugikan orang lain, biarkan saja. Kalau kita tidak suka atau tidak cocok, tinggalkan.

Tempo hari, misalnya, ada orang yang ketahuan ngibul hingga bikin ramai di Twitter. Andai aksi ngibul orang itu tidak berpotensi merugikan orang lain (karena dikapitalisasi pelakunya), orang-orang lain mungkin akan diam—setidaknya, aku akan diam saja, dan bodo amat.

Bahkan ngibul pun bisa menjadi hak orang lain—siapa tahu dia merasa bahagia dengan aksi ngibul-ngibulnya. Selama aksi ngibul hanya sebatas itu dan tidak [berpotensi] merugikan orang lain, rata-rata kita juga biasanya tidak akan terlalu peduli. Toh apa pentingnya?

Jadi, kalau kita tidak suka seseorang, apa pun alasannya, tidak perlu repot-repot berusaha mengubahnya. Cukup tinggalkan saja. Memangnya siapa kita sampai merasa berhak mengubah seseorang agar sesuai yang kita inginkan? Wong orang lain juga belum tentu cocok sama kita.

Kalau kamu tidak suka gaya seseorang, itu hakmu—terlepas kamu mengatakannya atau tidak. Yang konyol adalah jika kamu tidak suka gaya seseorang, lalu mati-matian berusaha mengubah orang itu agar sesuai yang kamu inginkan. Lha memangnya kamu siapa?

Lebih Menyenangkan

Elaine Tettemer Marshall tinggal di Texas, AS, dan warga di sana mengenalnya sebagai orang biasa yang menjalani kehidupan sederhana, seperti ibu-ibu lain umumnya. 

Yang mengejutkan, Elaine Tettemer Marshall adalah orang terkaya nomor 4 di Amerika. Dia memiliki harta lebih dari 12,7 miliar dolar, atau lebih dari Rp100 triliun! Dan para tetangganya sama sekali tidak tahu kenyataan itu, karena Elaine memang sangat sederhana.

Elaine Marshall tidak pernah pamer kekayaan, dan menjalani kehidupan bersahaja seperti orang-orang kebanyakan, serta sangat menjauhi publisitas. Kalau kita berpasasan dengannya, kita pasti berpikir dia ibu-ibu biasa. Selama bertahun-tahun, tidak ada yang tahu siapa dia.

Terungkapnya jati diri Elaine Marshall, gara-gara ada jurnalis dari ABC News dan Bloomberg, yang “iseng” mempelajari nilai saham minoritas di Koch Industries, salah satu perusahaan besar di AS. Dari penelusuran itu, mereka menemukan nama “yang sama sekali tidak dikenal”, yaitu Elaine Marshall.

Gara-gara itulah, nama Elaine Marshall lalu masuk daftar orang-orang terkaya di Amerika—menempati peringkat ke-4, dengan harta lebih dari Rp100 triliun—dan sejak itu pula orang-orang di sekelilingnya menyadari bahwa mereka bertetangga dengan seorang miliuner.

....
....

Menjalani dan menikmati kehidupan sederhana padahal kaya-raya, jauh lebih menyenangkan... daripada menjalani kehidupan yang tampak mewah padahal sering pusing mikir uang. 

Uang tidak bisa membeli kebahagiaan—itu benar. Karena yang bisa adalah uang yang banyak!

Kepentingan

Orang-orang mengira aku tidak punya kepentingan. Thank you! Aku anggap itu pujian, tapi sebenarnya aku juga punya kepentingan. Aku bahkan telah mengatakannya berkali-kali, secara terang-terangan. Dan kepentinganku tak pernah berubah; meruntuhkan peradaban.

Dalam perspektifku, peradaban lama akan lebih mudah diruntuhkan untuk diganti peradaban baru yang lebih baik, jika orang-orang mendapat pencerahan serta kesadaran. Dan cara paling logis untuk melakukan pencerahan massal adalah lewat pendidikan berkesinambungan.

Thanos mengumpulkan Infinity Stones, Kurt Hendrick menyiapkan nuklir, sementara Bertrand Zobrist menciptakan virus. Tujuan mereka sama... tapi ada cara yang jauh lebih baik, yaitu memberikan pencerahan, pendidikan, dan kesadaran pada manusia... untuk melakukannya sendiri.

Aku memahami, visi yang kubayangkan tidak akan terjadi dalam waktu singkat, sebagaimana yang dilakukan Thanos atau Bertrand Zobrist. Aku juga memahami bahwa perjalanan ke depan bisa saja berbeda dari yang kupikirkan. Karena semuanya memang butuh proses.

Dr. Zobrist memiliki tesis, dan tidak ada antitesis yang cukup masuk akal untuk membantahnya. Tetapi, setidaknya, tesis itu dapat direvisi agar lebih baik. 

“We are a minute to midnight.”

Pencipta dan Ciptaannya

Dalam Avengers: Age of Ultron, Tony Stark menciptakan Ultron yang ia pikir akan dapat digunakannya untuk melindungi dunia dari [kemungkinan] kehancuran. Itu ide radikal dalam ilmu pengetahuan, dan teman-temannya menentang, karena sangat riskan juga terlalu berbahaya.

Tapi Tony Stark tidak peduli, dan Ultron akhirnya benar-benar terwujud. Seperti yang dikhawatirkan bocah-bocah Avengers, Ultron terlalu berbahaya, dan akhirnya bahaya itu benar-benar datang. Ultron mengkloning diri serta pikirannya, lalu menjelma jadi pasukan robot mematikan.

Ironis, bagaimana entitas robot yang diciptakan berbalik menyerang penciptanya, dan sang pencipta harus berdarah-darah dalam upaya menundukkannya. Satu negara, Sokovia, rusak parah akibat peperangan brutal Tony Stark bersama Avengers, melawan ambisi Ultron dan pasukannya. 

Yang lebih ironis, Avengers tidak mampu mengalahkan Ultron, sampai akhirnya menciptakan entitas lain dengan unsur berbeda—Vision. 

Tanpa bantuan Vision, mungkinkah Avengers mampu mengalahkan Ultron? Sepertinya tidak, karena nyatanya Visionlah yang “mengakhiri segalanya”.

Keyakinan

Keyakinan bukan keyakinan sebelum melewati ujian kebenaran. Dan kebenaran bukan kebenaran sebelum dibenturkan pada kenyataan.

Kehilangan Arah

Semua yang kita baca hanyalah bukti bahwa dunia sedang kehilangan arah. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Maret 2012.

Pelajaran Hari Ini

Pelajaran penting hari ini: Berhentilah mendebat, belajarlah memahami. Yang kita pikir benar bisa jadi kekeliruan besar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 September 2012.

Wis Pokoke

Urip kok isine wis pokoke.

Lemah Rasa

Lemah rasa kakiku melangkah pergi, menuju ke destinasi tak pasti... #nyanyi


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

 
;