Senin, 10 Juni 2024

Gak Pede Nyapa Orang

Aku nggak pede menyapa orang lain, karena khawatir membuatnya terganggu atau nggak nyaman. Jadi kalau kamu berpikir aku akan menyapamu—dan pikiran itu membuatmu terganggu—sudah jelas kamu keliru. 

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juni 2014.

Gak Pede Nyapa Orang

Kamu menungguku nyapa dulu? Kamu bisa menunggu sampai kiamat, kalau mau. Bukannya gak mau nyapa, tapi aku benar-benar gak tahu gimana caranya.

Entah kenapa, aku sering gak yakin—atau gak pede—kalau mau nyapa seseorang yang masih asing. Kayak di Twitter, misalnya. Tiap kali mau nyapa, aku mikirnya, “Ntar gimana kalau dia gak suka, atau bikin dia gak nyaman?” Jadi, daripada bikin masalah, aku lebih suka diam aja.

Aku baru yakin saat nyapa seseorang, jika ada sesuatu yang memang benar-benar perlu kukatakan. Kalau ada hal jelas yang memang harus aku katakan, aku gak peduli nyapa/ngomong ke siapa pun, kenal atau gak kenal. Di dunia nyata ataupun di dunia maya, aku pede melakukannya.

Intinya, aku gak pede kalau sekadar nyapa basa-basi gak penting, khususnya dengan orang yang relatif asing atau belum akrab. Karena, ya itu tadi, aku khawatir kalau bikin dia terganggu atau gak nyaman. Daripada harus berspekulasi dengan respons orang lain, aku lebih memilih diam.

Sekadar cerita. Aku punya tempat makan langganan, dan biasa makan malam di sana sendirian. Saking seringnya makan di sana, sampai orang-orang—yang kukenal ataupun gak kukenal—suka menemuiku di sana, untuk berbagai keperluan. Dan aku senang-senang aja menerima mereka.

Suatu malam, saat lagi udud usai makan, aku mendapati dua pria di meja sebelah, bolak-balik menatap ke arahku. Biasanya, orang yang menemuiku di sana akan mendatangi setelah aku selesai makan. Jadi aku mengira mereka juga akan datang setelah melihatku selesai makan.

Tapi dua pria-entah-siapa itu tidak datang. Mereka hanya sesekali menengok ke arahku, lalu tampak berbisik-bisik kayak orang bingung. Sampai akhirnya ududku habis, dan aku beranjak pergi dari sana, dua pria itu masih membeku di tempatnya semula. Dan kisah ini belum selesai.

Di malam lain, saat aku kembali makan di sana, dua pria itu kembali ada di meja sebelah. Lagi-lagi mereka menatap ke arahku seperti orang bingung, dan tidak ada apapun yang terjadi. Lama-lama aku paham, mereka mungkin ingin menemuiku untuk suatu keperluan, tapi ragu-ragu.

Sampai empat kali peristiwa itu terjadi. Dan mereka tetap sama—hanya menatap ke arahku, tampak bingung, tapi tidak melakukan apapun. Di sisi lain, aku juga gak tahu—atau gak yakin—apa yang harus kulakukan. Jadi aku pura-pura gak tahu aja, dan tetap menikmati udud seperti biasa.

Ketika akhirnya ududku habis, dan aku melangkah keluar, dan melewati meja mereka, aku sempat membatin, “Kalian bisa menunggu sampai kiamat, kalau mau.”

 
;