Sabtu, 20 Desember 2025

Surat dari Kekasih

Barang kenangan memiliki daya untuk membangkitkan rasa sentimental. Karenanya, banyak orang yang sampai membuang atau membakar barang-barang kenangan terkait pacarnya, ketika putus dengan si pacar. Tujuannya agar bisa move on, melanjutkan hidup tanpa terus dibayang-bayangi si mantan. Namun, kadang-kadang, ada barang kenangan yang terselip entah di mana, lalu tanpa sengaja kita menemukannya, dan teringat kembali pada si mantan.

Setidaknya, itulah yang saya alami tempo hari.

Tempo hari, saya bersih-bersih rumah. Sebenarnya, niat semula bukan mau bersih-bersih rumah, tapi ingin menggerakkan badan, agar otot-otot tubuh tidak kaku dan dapat berfungsi optimal kembali, setelah lama hanya berbaring karena sakit.

Seminggu di rumah sakit, saya hanya berbaring-baring. Karena ada jarum infus di tangan, saya tidak bisa bebas bergerak. Pulang dari rumah sakit, saya tinggal di rumah ortu sampai seminggu, dan saya kembali hanya berbaring-baring, karena badan lemas usai operasi. Setelah itu pulang ke rumah saya sendiri, dan masih tetap berbaring-baring, karena badan masih lemas. Waktu itu, saya hanya kuat berjalan keluar rumah untuk beli bakso yang biasa lewat. Kekuatan fisik saya seperti hilang, karena otot-otot kaku, akibat tidak ada aktivitas fisik hampir sebulan. 

Karena itulah saya terpikir untuk menggerakkan badan, melatih otot untuk bergerak kembali, meski dengan aktivitas ringan, agar tubuh kembali normal.
 
Karena badan masih lemas, aktivitas “gerak badan” yang bisa saya lakukan waktu itu baru sebatas merapikan pakaian di lemari. Baju-baju yang tadinya tidak rapi, saya tata kembali. Isi lemari yang tadinya semrawut akhirnya bisa kembali rapi, dan pakaian yang tadinya tidak pernah terpakai kini bisa saya pakai lagi.

Meski aktivitas itu sangat ringan—hanya merapikan baju-baju di lemari—tapi setidaknya badan saya mulai bergerak, otot-otot mulai bekerja, meski setelah itu saya harus kembali istirahat, berbaring-baring kembali, karena kelelahan.

Setelah urusan pakaian beres dan isi lemari telah rapi, saya menantang diri sendiri untuk melakukan aktivitas yang lebih berat, yaitu menata dan merapikan buku-buku di rumah. Itu bukan aktivitas ringan!

Saya memiliki koleksi ribuan buku, sebagian ada di rak, sebagian lagi ada dalam tumpukan kardus—karena kehabisan tempat di rak—sebagian lain lagi “pating slebar” di mana-mana. Saya mulai membereskan buku-buku itu, membersihkannya dari debu, menatanya kembali di rak. Kardus-kardus berisi buku, yang tadinya bertumpuk tidak karuan, saya pindahkan ke ruangan lain yang lebih baik. Sementara buku-buku yang “pating slebar” saya kumpulkan kembali di tempatnya. 

Butuh waktu seminggu lebih mengurusi buku-buku itu, sampai akhirnya benar-benar rapi. Capek? Sangat! Tapi saya puas, karena barang kesayangan saya—yaitu buku-buku di rumah—akhirnya dapat tertata kembali dengan rapi. Seiring dengan itu, otot-otot saya mulai lentur, badan perlahan-lahan kembali kuat (tidak mudah lelah), dan kondisi kesehatan saya terus membaik. Di titik itu, saya tidak hanya bisa melangkah keluar rumah untuk beli bakso yang lewat, tapi juga bisa pergi ke warung makan yang relatif jauh!

Setelah isi lemari dan buku-buku sudah beres, saya berkata pada diri sendiri, “Coba sekarang bersihkan rumah, dari depan sampai belakang.”

Dengan kondisi badan yang belum sehat sepenuhnya, itu benar-benar tugas berat! Karena “membersihkan rumah” artinya membereskan semua hal, dari ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, tempat kerja, dapur, kamar mandi, dan lain-lain, sampai membersihkan rumput di halaman!

Tapi karena keinginan menggerakkan tubuh, saya mulai melakukan hal itu, meski perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hari demi hari, sesuai kondisi badan. Saya mulai membersihkan dan merapikan tempat tidur, lalu ruang belakang, merapikan dapur, membereskan ruang tengah, ruang tamu, dan sesekali membersihkan rumput di halaman depan serta samping rumah. Meski sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan. Kalau capek, saya istirahat. Meski capeknya tidak sesering sebelumnya.

Selama membersihkan dan menata kembali isi rumah, dari depan sampai belakang, saya juga memilah mana barang-barang yang harus dibuang, mana yang bisa diloakkan, dan mana yang perlu disimpan. Dalam aktivitas itulah, tanpa sengaja saya menemukan dua amplop terselip di antara barang-barang lain. Ketika saya buka dua amplop itu, isinya surat dari pacar saya dulu.  

Tubuh saya tiba-tiba membeku.

Dua surat dari pacar itu menandai dua moment penting dalam hubungan kami, bertahun lalu. Saya membuka amplop surat itu, membaca isinya, dan seketika memori saya memutar rekaman peristiwa dari masa lalu. Peristiwa-peristiwa yang indah, saat memiliki seseorang yang saya cintai dan mencintai saya... ketika saya merasa begitu berharga karena dicintai setulus hati.

Saat “melihat” rekaman peristiwa demi peristiwa dari masa lalu, yang tergambar begitu jelas dalam ingatan, saya menyadari bahwa dia kekasih terbaik yang pernah saya miliki. Dia tahu saya apa adanya, menerima saya apa adanya, mencintai saya apa adanya. Fakta bahwa kami kemudian putus, itu kesalahan saya, karena lebih mementingkan visi pribadi daripada memastikan hubungan kami. Dan setiap kali menyadari hal itu... saya kadang terpikir ingin memutar waktu.

Tahun-tahun panjang telah berlalu, dan dia kini telah memiliki kehidupan sendiri, sementara saya kadang bertanya-tanya, “Apakah aku sudah move on sepenuhnya?”

Sebenarnya, saya sudah move on, dan telah melupakan semua yang di belakang, karena sangat fokus pada masa sekarang. Tapi setiap kali “tersandung kenangan”—seperti menemukan dua surat tadi—saya seperti tersedot ke masa lalu, karena memori saya merekam setiap peristiwa dengan begitu jelas bahkan detail, apalagi terkait seseorang yang menempati ruang istimewa dalam ingatan. Dan saya tidak punya kemampuan menghapus ingatan itu, hingga masih bisa mengingat wajahnya, suara tawanya, cara bicaranya, ekspresi marah dan cemburunya.

Ketika teringat semua itu, saya kadang tertawa sendiri, kadang pula ingin mengulanginya kembali.

Saya membaca dua surat itu sambil ditikam kenangan demi kenangan... lalu memasukkan kembali dua surat itu ke dalam amplopnya, meski tidak yakin apakah harus tetap menyimpan atau membuangnya. Mungkin saya terlalu sentimentil, hingga sering merasa berat untuk membuang barang-barang terkait orang yang pernah dicintai. 

Mungkin sekarang saya akan tetap menyimpannya, sebagai pengingat bahwa saya punya hati. Dan mungkin, suatu hari kelak, saya bisa melepaskan barang-barang kenangan itu, ketika seseorang—entah siapa dan entah dimana—membuat saya jatuh cinta, sekali lagi.

....
....

Well, rumah saya yang tadinya berantakan kini lebih rapi. Rumput-rumput di sekitar rumah juga telah hilang. Lampu-lampu yang tadinya padam karena kabelnya digerogoti tikus, kini kembali menyala terang. Di atas semuanya, saya merasakan badan kembali sehat, dan itu yang terpenting.

Jejak

Kau yang telah menciptakan jejak ini, yang telah kautinggalkan. Namun jejak ini tertinggal di sini. Bersamaku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 September 2012.

Memilih

Hidup, aku percaya, adalah soal pilihan. Tapi memilih, demi Tuhan, kadang-kadang sangat sulit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Februari 2012.

Pilih Pacaran atau Mengejar Impian

Bagi banyak orang, mengejar cita-cita dan menjalin hubungan pacaran adalah dua hal yang tidak bisa dilakukan berbarengan, karena akan memecah fokus. Padahal kita butuh fokus untuk melakukan pencapaian. Jangankan menggapai sesuatu yang besar, bahkan sekadar menulis catatan ini saja butuh fokus!

Disadari atau tidak, kebanyakan kita sebenarnya diminta memilih; fokus pada tujuan hidup (yang artinya menjauhi hubungan pacaran), atau menjalin hubungan pacaran (tapi harus mengorbankan cita-cita). Sulit mendapatkan keduanya sekaligus.

Bagaimana solusinya? 

Jawaban mudah; solusinya adalah memilih! 

Sayangnya, kehidupan kita sering kali tak semudah itu, kan? Kita ingin menggapai cita-cita dan tujuan hidup, tapi seiring dengan itu juga ingin menjalin hubungan (affection) dengan seseorang. Apes-apesnya, jatuh cinta!

Jatuh cinta itu apes bagi orang yang sedang mengejar impian atau cita-cita. Lebih apes lagi, orang yang membuatnya jatuh cinta juga jatuh cinta kepadanya. Dalam kondisi keapesan semacam itu, banyak dari kita yang “kalah”, kemudian lupa pada impian atau cita-cita, dan memilih pacaran.

Syukur-syukur kalau hubungan pacaran itu membuatnya (mereka) bahagia. Tapi bagaimana kalau tidak? 

Bertolak dari pertanyaan itu, saya memikirkan suatu hubungan yang “bukan sekadar teman, tapi juga bukan pacaran”. Artinya, menjalin hubungan, tapi tidak ada tuntutan.

Apa nama atau sebutan untuk hubungan semacam itu? Entahlah, saya tidak tahu. Jadi, saya membayangkan dua orang saling tertarik, lalu menjalin hubungan spesial—karena sama-sama butuh afeksi—tapi juga tidak mau saling terikat, karena sama-sama sibuk mengejar impian masing-masing.

Bukankah, setidaknya dalam pikiran saya, hubungan semacam itu lebih menyenangkan sekaligus membebaskan? Kita bisa tetap fokus mengejar impian, cita-cita, atau ambisi pribadi, dan seiring dengan itu juga memiliki hubungan spesial tapi tanpa drama dan tuntutan macam-macam.

Apakah di Indonesia ada hubungan semacam itu? Sekali lagi, saya tidak tahu. Tapi, saya pikir, apa salahnya kalau kita—((((kita?))))—coba?

Akan Sampai

Segala hal akan sampai pada batasnya. Semua awal akan sampai pada akhir. Perjalanan akan sampai pada pulang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Januari 2012.

Hukum Besi Tak Terlihat

Wanita ini cantik, bahkan media-media internasional menjulukinya “the most gorgeous politician”. Namanya Ayelet Shaked. Dia seorang politisi, aktivis, ilmuwan komputer, bahkan menjadi Menteri Kehakiman. Asal kau tidak tahu bagaimana kelakuannya, kau pasti akan mengaguminya.

Ada hukum besi di banyak media internasional: "Kalau dia sejalan dengan misi kita, dukung dan berikan image positif. Berikan pula aneka penghargaan, agar dunia mengaguminya. Kalau dia tidak sejalan dengan misi kita, hancurkan."

Apakah ini mengingatkanmu pada seseorang yang lain?

Ingin merusak sebuah negara? Mudah! Begini caranya.

Tempatkan orangmu di posisi terhormat lewat pemberitaan di media-media milikmu, dan beri setumpuk penghargaan padanya, hingga dunia benar-benar percaya kepadanya. Setelah itu, masukkan orangmu ke negara yang ingin kauhancurkan.
‏ 
"Saat ini, dalam sejarah dunia, tidak ada kebebasan pers. Kalian tahu itu, dan saya tahu itu. Tidak ada satu pun di antara kalian yang berani menulis pendapat secara jujur. Dan kalau kalian melakukannya, kalian tahu pendapat itu tidak akan pernah dicetak." —John Swinton, jurnalis


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2019.

Bad News is Good News

Membaca berita akhir-akhir ini kok makin mengerikan. Orang-orang tua diberitakan korupsi. Yang muda diberitakan ngedrugs, pencabulan... 

Memang, bad news is good news. Berita tentang orang-orang baik dan salih mungkin tak laku dijual. Apa menariknya orang yang baik dan salih?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Februari 2012.

Mau Tidur Agak Sore

Mau tidur agak sore, biar kayak orang-orang yang hidupnya normal.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2019.

Pikiran Bocah

Aku akan menjadi Magneto!

Sebagai bocah, hanya itu yang kutahu.

Hujan Turun

Tepat sekali hujan turun di malam tahun baru. Memberiku alasan untuk tetap nyaman tinggal di rumah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Desember 2011.

Enak di Rumah

Yang dicari orang-orang di luar itu, apa sih? Berdesakan, berjubelan, bising terompet dan suara motor.... Enakan di rumah, hangat, nyaman.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Desember 2011.

Rabu, 10 Desember 2025

Akar Masalah Anak-anak di Dunia

Salah satu ciri orang kuno yang masih terbawa banyak orang hingga di zaman sekarang adalah tidak tahu apa itu privasi. Jadi, boro-boro menghargai privasi, wong tahu saja tidak! Nenek kita, atau bahkan orang tua kita, belum tentu tahu konsep privasi. Sad but true.

Faktanya, perbedaan paling mencolok antara keluarga berpendidikan dan keluarga tidak/kurang berpendidikan adalah cara mereka memperlakukan privasi masing-masing anggota keluarganya. 

Orang tua yang berpendidikan tahu dan menghargai privasi anak mereka, begitu pun sebaliknya.

Contoh paling sederhana terkait cara orang tua menghargai privasi anak adalah tidak masuk kamar si anak, jika si anak tidak ada di kamarnya. Jika si anak ada di kamar, dan orang tua perlu sesuatu, mereka akan mengetuk pintu kamar si anak, atau minta izin terlebih dulu, bukan langsung membuka pintunya atau menerobos begitu saja.

Jadi, kalau kita ingin tahu apakah orang tua kita mengerti dan menghargai privasi kita atau tidak, perhatikan hal sederhana itu. Orang tua beradab [dan biasanya berpendidikan] tahu dan menghargai privasi anak-anak mereka, hingga anak-anak merasa aman dan tenang tinggal di rumah.

Sayangnya, tidak semua orang tua memahami konsep privasi, khususnya privasi anak-anaknya. Ada ibu yang, tiap anaknya tidak di rumah, memanfaatkan hal itu untuk memasuki kamar anaknya. Bukan bersih-bersih, tapi membongkar-bongkar kamar si anak. Namanya bongkar-bongkar, bisa jadi dia menemukan hal-hal yang bersifat pribadi, misal catatan buku diary.

Kemudian, ini yang paling aneh sekaligus memalukan, dia menceritakan aksi bongkar-bongkar kamar anaknya—dan hal-hal yang ia temukan di kamar anaknya—ke orang-orang lain, tak peduli siapa pun yang ngobrol dengannya. Mungkin aneh, tapi benar-benar terjadi.

Ketika orang tua tidak tahu apa itu privasi, dan tidak menghargai privasi anaknya, bahkan mengumbar privasi anaknya ke orang-orang lain, apa yang lalu terjadi? Benar sekali, si anak akan merasa tidak aman di dalam rumah, dan tidak lagi percaya pada orang tuanya! 

Ini salah satu akar masalah “anak-anak bermasalah” di mana pun di dunia! Mereka merasa tidak aman di dalam rumah, jadi mereka mencari rasa aman di luar rumah. Mereka tidak percaya pada orang tuanya sendiri, jadi mereka mencari orang lain yang bisa mereka percaya. 

Anak-anak di mana pun tidak membutuhkan orang tua yang sangat pintar, yang bisa menjelaskan rumus-rumus rumit matematika atau fisika dan asal usul alam semesta. Yang dibutuhkan anak-anak mana pun hanyalah orang tua yang bisa dipercaya, tanpa setitik pun keraguan!

Anak-anak di mana pun tidak membutuhkan rumah semegah istana atau seluas hotel bintang lima. Rumah yang dibutuhkan anak-anak di mana pun adalah rumah yang membuat mereka merasa aman dan tenteram tinggal di dalamnya. Rumah yang menghargai privasi mereka.

Hanya orang tua yang bisa dipercaya, dan rumah yang memberi rasa aman! Cuma itu yang dibutuhkan anak-anak di dunia!

Sayangnya, tidak semua anak beruntung memiliki hal sederhana semacam itu. Banyak dari mereka yang memilih menjauh dari orang tua karena menganggap orang tua tak bisa dipercaya.Dan banyak anak yang memilih keluar dari rumah orang tuanya, karena menganggap rumah orang tua justru tempat paling tidak aman di dunia! 

Inilah akar masalah anak-anak di dunia. Anak-anak yang dikhianati orang tuanya sendiri, anak-anak yang membenci rumah mereka.

Ketimpangan Doktrin Orang Tua dan Anak

Relasi orang tua dan anak adalah hubungan yang timpang—tidak hanya usia, tapi juga doktrin. Sedari kecil, kita dididik untuk hormat dan berbakti pada orang tua, misalnya. Tapi kita belum pernah—atau setidaknya sangat jarang—mendengar ada orang tua diminta menghormati anak-anaknya.

Tentu saja, sebenarnya, orang tua juga dituntut untuk bersikap baik dan hormat pada anak-anaknya. Tapi entah kenapa, ajaran itu tidak pernah atau sangat jarang disampaikan. Akibatnya, hubungan anak dan orang tua tidak imbang.

Sedari kecil, kita dididik—lebih tepat didoktrin—untuk berbakti pada orang tua, dengan segala atributnya (baik, hormat, menyayangi, dll). Dulu, orang tua kita juga pasti didoktrin hal serupa, dan begitu seterusnya. Bisa melihat sesuatu di sini? Yang didoktrin terus menerus adalah si anak.

“Jangan pernah menyakiti hati orang tuamu.” Kita sepakat, ajaran itu bagus sekali. Yang masih perlu kita pertanyakan, kenapa orang tua tidak pernah diberi tahu, “Jangan pernah menyakiti hati anak-anakmu”? Padahal anak, sebagaimana orang tua, juga bisa sakit hati, marah, benci, dan terluka.

Ada banyak orang tua yang sepertinya lupa bahwa anak-anaknya adalah manusia, sama seperti dirinya. Yang sama-sama butuh didengarkan, butuh dimengerti, dan diperlakukan dengan baik. Tapi karena yang didoktrin terus menerus tentang “berbakti” hanya si anak, orang tua jadi terlena.

Di mana-mana, kita tentu sering mendengar orang tua berkata pada anak-anaknya, “Makanya, kalau dinasihati orang tua tuh didengerin!” Tapi pernahkah para orang tua memikirkan bahwa ada kalanya mereka juga perlu mendengarkan hal-hal yang [ingin] dikatakan anak-anaknya?

Di dunia yang gila ini, ada miliaran orang tua yang merasa dirinya benar dan pasti benar, khususnya ketika berhadapan dan berinteraksi dengan anak-anaknya. Mereka ingin didengarkan, ingin dipatuhi, ingin dihormati... tanpa menyadari apakah mereka layak menerimanya.

Dilahirkan untuk Dikutuk

Takdir terbaik adalah tidak dilahirkan, kata Soe Hok Gie, dan tampaknya kalimat itu memang relevan—setidaknya sampai sekarang. Kita semua memang dilahirkan untuk dikutuk. Kita bukan siapa-siapa di dunia yang semrawut ini, selain hanya angka, tumpuan beban, dan kutukan.

Bagi orang tua, kita adalah tumpuan beban, dari beban masalah yang mereka bikin sendiri, sampai beban ketika mereka tua. Bagi agama, kelahiran kita cuma menambah jumlah mereka. Bagi negara, kita hanya bagian statistik pemilu. Bagi kapitalisme, kita hanya sekrup-sekrup.

Dan bagi bumi... kita semua adalah kutukan, koreng luka, makhluk perusak yang tiada duanya sepanjang masa. 

Risau

"Kalau tujuanmu ingin membuatku risau," katanya, "aku telah lama berhenti merisaukan apa pun." | Aku bersyukur menjadi temannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Lagu Stevie B

Lagu-lagunya Stevie B ini kok tetap enak didengar sampai sekarang, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Maret 2012.

Sering Begini

Baru sadar ini malam Minggu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2019.

Tak Pernah Selesai

Yang membuat kisah cinta tak pernah selesai adalah... kita sering mengharapkan orang yang tak bisa dimiliki.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 September 2012.

Abjad dan Kata-kata

Jumlah abjad tak pernah bertambah, tapi kata-kata yang bisa disusunnya tak pernah habis, kalimat yang dibangunnya tak pernah selesai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2012.

Perubahan

Kalau biasa makai Microsoft Office 2000, terus pindah ke Office 2010, rasanya seperti mendapat kutukan. Dan IQ tiba-tiba turun drastis.

Perubahan sering kali membuat kita gagap. Bahkan jika tidak ada perubahan dalam hidup, komputer kita kadang berubah. Dan membuat terkejut.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Februari 2012.

Adaptasi Itu Berat

Perubahan, katanya, membawa kita ke arah yang lebih baik. Tapi kenyamanan, sering kali, terasa lebih baik. Adaptasi itu berat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Februari 2012.

Kah Kah

“Apakah kamu kah kah, hm?”

Kah kah? 

Oh... kah kah.

Senin, 01 Desember 2025

Menjenguk Orang Sakit

Salah satu etika yang saya pikir jarang dipahami kebanyakan orang adalah etika menjenguk orang sakit. Banyak orang menjenguk orang sakit saat masih dirawat di rumah sakit, sementara sakitnya tergolong parah. Menurut saya, itu kurang tepat. Yang baik adalah menunggu orang sakit itu pulang dari rumah sakit terlebih dulu, baru kita menjenguk ke rumahnya. Hal ini, khususnya, jika kita tidak punya hubungan keluarga dengan si orang sakit.

Ketika seseorang sakit, dan ia dirawat di rumah sakit, kondisinya sering kali tidak memungkinkan untuk menerima kedatangan orang yang datang menjenguk, apalagi jika ramai-ramai, apalagi jika yang datang bukan keluarganya. Bukannya senang, bisa jadi ia malah terganggu atau tidak nyaman.

Kalaupun kita “maksa” ingin menjenguk seseorang yang sakit di rumah sakit—terlepas apa pun alasannya—ada baiknya untuk minta izin terlebih dulu pada keluarga si sakit. Jika pihak keluarganya mengizinkan, silakan datang. Jika tidak diizinkan, sebaiknya tunggu si sakit pulang dulu ke rumahnya.

Orang yang pulang dari rumah sakit belum tentu sudah sembuh. Bisa jadi kondisinya membaik dan dokter mengizinkannya pulang. Di saat itulah kita bisa menjenguk ke rumahnya. Biasanya, si sakit dalam keadaan sadar, dan bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Biasanya pula, si sakit senang dengan kunjungan tersebut.

Beda ketika seseorang masih dirawat di rumah sakit. Umumnya, perawatan di rumah sakit melibatkan infus, selang oksigen, dan lain-lain, yang menyebabkan kondisi pasien tidak nyaman untuk dilihat. Kalau kita yang melihatnya saja tidak nyaman, apalagi si pasien yang menjalani? Jika dalam kondisi semacam itu kita menjenguknya, bisa jadi pasien merasa tidak nyaman atau terganggu.  

Ada pula orang masuk rumah sakit dan menjalani operasi, misalnya. Ketika menjalani operasi, pasien akan dibius agar kehilangan kesadaran. Ketika terbangun dari operasi—karena operasinya sudah selesai—pengaruh obat bius mungkin belum hilang, dan kadang si pasien melakukan atau mengatakan hal-hal yang “aneh”, “ajaib”, atau malah “tidak sopan” dan lain sebagainya. 

Ketika pasien dalam kondisi semacam itu lalu kita menjenguknya, itu sangat tidak tepat. Si pasien, yaitu orang yang kita jenguk, tidak dalam keadaan siap menerima kunjungan orang lain. Karena bisa jadi si pasien [dan keluarganya] akan merasa malu, terganggu, atau tidak nyaman.

Tempo hari, ketika saya masuk rumah sakit, sedari awal saya sudah paham bahwa saya akan menjalani operasi. Jadi, sejak dari rumah, sebelum berangkat ke rumah sakit, saya berpesan pada keluarga agar tidak memberi tahu siapa pun kalau saya masuk rumah sakit. Tujuannya agar tidak ada yang menjenguk saya selama di rumah sakit.

Operasi medis membutuhkan pembiusan; kadang bius lokal, kadang bius total. Dalam kasus saya, pembiusan total dilakukan hingga saya benar-benar tidak sadar. Operasi itu berlangsung lancar. Namun, usai operasi dan saya dikembalikan ke kamar perawatan, efek biusnya mungkin belum hilang. Akibatnya, saya “meracau” tanpa sadar.

Kalian mungkin pernah mendengar cerita “aneh” atau “lucu” tentang orang-orang yang baru terbangun [sadar] dari operasi medis. Ada yang bertingkah tak karuan, ada yang menanyakan hal-hal tak masuk akal, ada pula yang tiba-tiba berbicara dalam bahasa asing.

Di Belanda, misalnya, ada kasus unik semacam itu yang sempat viral pada Mei kemarin. Seorang remaja laki-laki menjalani operasi karena lututnya cedera. Sebagai warga Belanda, ia biasa berbicara dalam bahasa Belanda, menjalani operasi di Belanda, di rumah sakit di Belanda. Namun, saat tersadar dari operasi, ia tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris, dan merasa dirinya berada di Amerika! Kasus semacam itu disebut foreign language syndrome (FLS), yang kadang terjadi pada pasien operasi.

Saya pun mengalami hal semacam itu, karena mungkin efek bius operasi belum hilang sepenuhnya. Saya terbangun dari ketidaksadaran usai operasi setelah dipindahkan ke kamar perawatan. Ketika sadar, saya tidak langsung mengenali ada di mana, tapi saya melihat adik saya yang waktu itu menemani. Lalu saya mengatakan hal-hal aneh dan tak masuk akal. Adik saya kebingungan, karena tidak paham apa yang saya bicarakan.

Ketika hal itu berlangsung, saya benar-benar tidak sadar!

Belakangan, saya baru tahu soal itu ketika adik saya menceritakannya kepada saya, beberapa hari setelah kami pulang ke rumah. Saya terkejut mendengarnya. Saya mencoba mengingat-ingat peristiwa itu, tapi benar-benar tidak ingat!

Sekarang bayangkan jika saya masih dalam kondisi semacam itu, kemudian ada orang datang menjenguk. Bisa jadi, tanpa sadar, saya melakukan atau mengatakan hal-hal yang akan membuat malu, tidak nyaman, atau bahkan bisa menyakiti perasaan orang yang menjenguk tadi, padahal saya tidak sedang dalam kondisi sadar sepenuhnya, dan tidak sadar pula dengan yang saya lakukan atau saya ucapkan.

Karena itulah sejak awal saya sudah wanti-wanti pada keluarga, agar tidak memberi tahu siapa pun kalau saya masuk rumah sakit. Agar tidak ada yang menjenguk ke sana!

Ketika kemudian saya pulang [ke rumah orang tua], banyak tetangga yang datang menjenguk. Ketika itu terjadi, kondisi saya sudah “waras”, dalam arti bisa diajak berkomunikasi secara sadar. Para penjenguk merasa nyaman, saya yang dijenguk juga merasa senang.

Jadi, kalau boleh menyarankan, jenguklah orang sakit setelah ia pulang ke rumah, bukan saat masih dirawat di rumah sakit. Kalaupun “maksa” mau menjenguk ke rumah sakit, mintalah izin terlebih dulu pada keluarganya. 

Menulis soal ini, saya teringat pada almarhum Saleem Iklim, penyanyi terkenal Malaysia era ’90-an. Di akhir kehidupannya, Saleem dirawat di rumah sakit. Karena artis terkenal, kabar Saleem dirawat di rumah sakit pun cepat menyebar, dan banyak wartawan berdatangan, termasuk dari Indonesia.

Saya kurang tahu Saleem sakit apa, waktu itu. Yang jelas, kondisinya di rumah sakit terlihat memprihatinkan, jauh beda dengan penampilannya yang biasa kita lihat saat menyanyi. Ketika kerumunan wartawan mengelilingi tempat tidurnya di rumah sakit, Saleem berkata, “Tolong jangan ada yang memotret saya, karena saya tidak nyaman dengan kondisi saya sekarang.”

Dasar wartawan, ternyata ada yang memotret Saleem waktu itu, mungkin secara diam-diam. Dan dasar wartawan bangsat, foto itu kemudian muncul di situs berita, lalu menyebar ke mana-mana. Itu benar-benar tidak beretika!

Ketika seseorang sakit, apalagi relatif parah dan dirawat di rumah sakit, ia tidak sempat memikirkan penampilan, tidak sempat menyiapkan diri untuk bertemu dengan orang-orang yang mungkin datang, bahkan kadang tidak sepenuhnya sadar. Itulah kenapa menjenguk orang sakit sebaiknya setelah ia pulang ke rumah, atau—kalau memang mau menjenguknya ke rumah sakit—mintalah izin terlebih dulu pada keluarganya, beri tahu kapan akan datang, agar si sakit setidaknya punya persiapan dan kesadaran bahwa ia akan dikunjungi.

Tab Like Orang di Twitter

Di Twitter, ada semacam kecenderungan pada sebagian orang untuk "melihat kepribadian" orang lain melalui tab Likes (Suka) di akunnya. Konon, tab Likes bisa memberitahukan kepribadian si pemilik akun (seperti apa dia sebenarnya). Bisa jadi itu benar, tapi tentu tidak selalu benar.

Memang, banyak dari kita menyimpan "hal-hal yang terkait diri kita" di tab Likes—misal artikel penting, gambar yang indah, pernak-pernik menawan, etc. Me-likes (memasukkan sesuatu ke tab Likes) itu seperti digerakkan alam bawah sadar, semacam representasi yang tidak kita sadari.

Karena latar belakang semacam itu, tab Likes seseorang memang sering kali merepresentasikan dirinya—seperti apa tab Likes-nya, seperti itulah dirinya. Tapi menilai (atau memperkirakan) seseorang hanya berdasarkan tab Likes-nya semata-mata itu sangat riskan, karena rentan keliru.

Dulu, aku pernah mengumpulkan banyak artikel terkait perawatan diri (lebih spesifik; kecantikan). Ada ratusan artikel yang kumasukkan ke tab Likes waktu itu. Jika saat itu ada orang membuka tab Likes di akunku, dan mendapati ratusan artikel kecantikan, kira-kira apa penilaiannya?

Mungkin orang yang membuka tab Likes di akunku waktu itu akan berpikir kalau aku sangat rajin merawat diri (Wrong!). Atau mengira aku bekerja di salon kecantikan (Wrong!). Atau memprediksi aku mengumpulkan banyak artikel itu untuk kutunjukkan ke pacar (Wrong!).

Alasanku mengumpulkan ratusan artikel kecantikan di tab Likes waktu itu, untuk meriset sesuatu yang membuatku penasaran. Yaitu, sebenarnya bagaimana definisi "cantik" di mata wanita? Karena aku mendapati ada perbedaan definisi antara cantik di mata pria dan cantik di mata wanita.

Tak perlu kujelaskan soal itu di sini, karena penjelasannya sangat panjang sekali—mungkin baru selesai tahun 5996. Inti yang ingin kukatakan adalah; yang kita perkirakan terkait orang lain melalui tab Likes di akunnya belum tentu tepat/sesuai seperti yang ada dalam pikiran kita.

Dan hal semacam itu benar-benar pernah terjadi, pernah kualami—itulah kenapa, aku merasa pede menulis ocehan ini.

Dulu, aku pernah me-likes suatu artikel terkait sesuatu, kali ini soal pria. Tujuanku memasukkan artikel itu sepele; nanti kalau selo akan kubaca. Sudah, cuma itu.

Sayangnya, aku tidak segera selo (punya waktu) untuk membaca artikel tadi. Lalu seorang wanita mungkin—dan hampir bisa dipastikan—membuka tab Likes di akunku, dan menemukan artikel itu. Lalu dia merayuku (dalam arti harfiah) dengan "menggunakan" artikel tadi.

And i'm shocked.

Untung ini Twitter. Andai peristiwa itu terjadi di dunia nyata—katakan saja, face to face—kami pasti akan mengalami situasi yang sangat awkward. Dia tidak tahu apa yang dikatakannya; dia hanya mengambil sesuatu dari yang ia kira merepresentasikan diriku, padahal sangat keliru.

“Dont judge a book by its cover.” Mungkin kita juga perlu untuk berhenti menilai (atau mengira, memperkirakan, apalagi menghakimi) seseorang dari tab Likes di akun Twitter-nya. Mungkin itu benar (tab Likes seseorang merepresentasikan dirinya), tapi tidak selalu benar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Agustus 2021.

Terlalu Lempeng

Aku gak kenal Greschinov, juga gak follow akun dia. Cuma, tiap dia bikin geger di Twitter—karena diolok-olok banyak orang, kayak kemarin—aku memikirkan apa kira-kira kesalahan dia... dan gak tahu. Jangan-jangan dia sebenarnya gak salah apa-apa, tapi kita menganggap dia salah?

Kalau menurutku, dia tuh cuma—apa istilah yang tepat, ya?—“terlalu lempeng”. Maksudnya, gak ada mbeling-mbelingnya sama sekali, jadi mungkin kelihatan “aneh” (cupu) di mata kebanyakan anak Twitter yang gahul-gahul. Padahal ya dia gak salah apa-apa, cuma “terlalu lempeng” aja.

Biasanya anak-anak pintar emang gitu—kelihatan aneh, padahal ya gak salah apa-apa. Makanya di sekolah biasanya jadi sasaran bullying teman-temannya. Mestinya budaya semacam itu gak usah diterus-terusin, lah. Dia mungkin beda dengan kebanyakan kita, atau terlalu lugu, ya biar aja.

Apakah Greschinov sadar kalau dia “terlalu lempeng”? Kemungkinan sih nggak. Buktinya dia nyari jodoh yang mau “dibimbing”—cuma orang lempeng yang punya kepercayaan diri setinggi itu. (Aku malah ingin “dibimbing” sama mbakyuku. Apeu.)

Kayaknya kita perlu belajar untuk menerima kenyataan bahwa “berbeda dengan kita bukan berarti kesalahan”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12-13 Mei 2022.

Mengingatkan

"Tugas kami hanya mengingatkan." | Mengingatkan kok maksa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Januari 2019.

Kamar Pria dan Kamar Wanita

Mengapa kamar wanita biasa rapi, sementara kamar pria cenderung berantakan? Karena wanita membutuhkan ruang agar bisa nyaman, sementara pria bisa membuat dirinya nyaman dengan ruang yang ada (meski berantakan).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Maret 2019.

Kelaparan Jam Segini!

Yang paling menjengkelkan, perut kelaparan jam segini!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Seumur Hidup

Beberapa orang mengira ada orang yang memiliki kesabaran seluas samudra. Dan mereka mengujinya. Lalu menyesal seumur hidup.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2012.

Api Dalam Sekam

Api dalam sekam sering kali berbahaya, karena nyalanya kadang sepanas neraka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Februari 2012.

Berdesir di Hati

Selalu ada yang berdesir di hati setiap kali mendengar ada orang pergi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Ngajak Kangen

Howone ngajak kangen. Apeu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2019.

 
;