Rabu, 10 Desember 2025

Ketimpangan Doktrin Orang Tua dan Anak

Relasi orang tua dan anak adalah hubungan yang timpang—tidak hanya usia, tapi juga doktrin. Sedari kecil, kita dididik untuk hormat dan berbakti pada orang tua, misalnya. Tapi kita belum pernah—atau setidaknya sangat jarang—mendengar ada orang tua diminta menghormati anak-anaknya.

Tentu saja, sebenarnya, orang tua juga dituntut untuk bersikap baik dan hormat pada anak-anaknya. Tapi entah kenapa, ajaran itu tidak pernah atau sangat jarang disampaikan. Akibatnya, hubungan anak dan orang tua tidak imbang.

Sedari kecil, kita dididik—lebih tepat didoktrin—untuk berbakti pada orang tua, dengan segala atributnya (baik, hormat, menyayangi, dll). Dulu, orang tua kita juga pasti didoktrin hal serupa, dan begitu seterusnya. Bisa melihat sesuatu di sini? Yang didoktrin terus menerus adalah si anak.

“Jangan pernah menyakiti hati orang tuamu.” Kita sepakat, ajaran itu bagus sekali. Yang masih perlu kita pertanyakan, kenapa orang tua tidak pernah diberi tahu, “Jangan pernah menyakiti hati anak-anakmu”? Padahal anak, sebagaimana orang tua, juga bisa sakit hati, marah, benci, dan terluka.

Ada banyak orang tua yang sepertinya lupa bahwa anak-anaknya adalah manusia, sama seperti dirinya. Yang sama-sama butuh didengarkan, butuh dimengerti, dan diperlakukan dengan baik. Tapi karena yang didoktrin terus menerus tentang “berbakti” hanya si anak, orang tua jadi terlena.

Di mana-mana, kita tentu sering mendengar orang tua berkata pada anak-anaknya, “Makanya, kalau dinasihati orang tua tuh didengerin!” Tapi pernahkah para orang tua memikirkan bahwa ada kalanya mereka juga perlu mendengarkan hal-hal yang [ingin] dikatakan anak-anaknya?

Di dunia yang gila ini, ada miliaran orang tua yang merasa dirinya benar dan pasti benar, khususnya ketika berhadapan dan berinteraksi dengan anak-anaknya. Mereka ingin didengarkan, ingin dipatuhi, ingin dihormati... sering kali tanpa menyadari apakah mereka layak menerimanya.

 
;