Barang kenangan memiliki daya untuk membangkitkan rasa sentimental. Karenanya, banyak orang yang sampai membuang atau membakar barang-barang kenangan terkait pacarnya, ketika putus dengan si pacar. Tujuannya agar bisa move on, melanjutkan hidup tanpa terus dibayang-bayangi si mantan. Namun, kadang-kadang, ada barang kenangan yang terselip entah di mana, lalu tanpa sengaja kita menemukannya, dan teringat kembali pada si mantan.
Setidaknya, itulah yang saya alami tempo hari.
Tempo hari, saya bersih-bersih rumah. Sebenarnya, niat semula bukan mau bersih-bersih rumah, tapi ingin menggerakkan badan, agar otot-otot tubuh tidak kaku dan dapat berfungsi optimal kembali, setelah lama hanya berbaring karena sakit.
Seminggu di rumah sakit, saya hanya berbaring-baring. Karena ada jarum infus di tangan, saya tidak bisa bebas bergerak. Pulang dari rumah sakit, saya tinggal di rumah ortu sampai seminggu, dan saya kembali hanya berbaring-baring, karena badan lemas usai operasi. Setelah itu pulang ke rumah saya sendiri, dan masih tetap berbaring-baring, karena badan masih lemas. Waktu itu, saya hanya kuat berjalan keluar rumah untuk beli bakso yang biasa lewat. Kekuatan fisik saya seperti hilang, karena otot-otot kaku, akibat tidak ada aktivitas fisik hampir sebulan.
Karena itulah saya terpikir untuk menggerakkan badan, melatih otot untuk bergerak kembali, meski dengan aktivitas ringan, agar tubuh kembali normal.
Karena badan masih lemas, aktivitas “gerak badan” yang bisa saya lakukan waktu itu baru sebatas merapikan pakaian di lemari. Baju-baju yang tadinya tidak rapi, saya tata kembali. Isi lemari yang tadinya semrawut akhirnya bisa kembali rapi, dan pakaian yang tadinya tidak pernah terpakai kini bisa saya pakai lagi.
Meski aktivitas itu sangat ringan—hanya merapikan baju-baju di lemari—tapi setidaknya badan saya mulai bergerak, otot-otot mulai bekerja, meski setelah itu saya harus kembali istirahat, berbaring-baring kembali, karena kelelahan.
Setelah urusan pakaian beres dan isi lemari telah rapi, saya menantang diri sendiri untuk melakukan aktivitas yang lebih berat, yaitu menata dan merapikan buku-buku di rumah. Itu bukan aktivitas ringan!
Saya memiliki koleksi ribuan buku, sebagian ada di rak, sebagian lagi ada dalam tumpukan kardus—karena kehabisan tempat di rak—sebagian lain lagi “pating slebar” di mana-mana. Saya mulai membereskan buku-buku itu, membersihkannya dari debu, menatanya kembali di rak. Kardus-kardus berisi buku, yang tadinya bertumpuk tidak karuan, saya pindahkan ke ruangan lain yang lebih baik. Sementara buku-buku yang “pating slebar” saya kumpulkan kembali di tempatnya.
Butuh waktu seminggu lebih mengurusi buku-buku itu, sampai akhirnya benar-benar rapi. Capek? Sangat! Tapi saya puas, karena barang kesayangan saya—yaitu buku-buku di rumah—akhirnya dapat tertata kembali dengan rapi. Seiring dengan itu, otot-otot saya mulai lentur, badan perlahan-lahan kembali kuat (tidak mudah lelah), dan kondisi kesehatan saya terus membaik. Di titik itu, saya tidak hanya bisa melangkah keluar rumah untuk beli bakso yang lewat, tapi juga bisa pergi ke warung makan yang relatif jauh!
Setelah isi lemari dan buku-buku sudah beres, saya berkata pada diri sendiri, “Coba sekarang bersihkan rumah, dari depan sampai belakang.”
Dengan kondisi badan yang belum sehat sepenuhnya, itu benar-benar tugas berat! Karena “membersihkan rumah” artinya membereskan semua hal, dari ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, tempat kerja, dapur, kamar mandi, dan lain-lain, sampai membersihkan rumput di halaman!
Tapi karena keinginan menggerakkan tubuh, saya mulai melakukan hal itu, meski perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hari demi hari, sesuai kondisi badan. Saya mulai membersihkan dan merapikan tempat tidur, lalu ruang belakang, merapikan dapur, membereskan ruang tengah, ruang tamu, dan sesekali membersihkan rumput di halaman depan serta samping rumah. Meski sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan. Kalau capek, saya istirahat. Meski capeknya tidak sesering sebelumnya.
Selama membersihkan dan menata kembali isi rumah, dari depan sampai belakang, saya juga memilah mana barang-barang yang harus dibuang, mana yang bisa diloakkan, dan mana yang perlu disimpan. Dalam aktivitas itulah, tanpa sengaja saya menemukan dua amplop terselip di antara barang-barang lain. Ketika saya buka dua amplop itu, isinya surat dari pacar saya dulu.
Tubuh saya tiba-tiba membeku.
Dua surat dari pacar itu menandai dua moment penting dalam hubungan kami, bertahun lalu. Saya membuka amplop surat itu, membaca isinya, dan seketika memori saya memutar rekaman peristiwa dari masa lalu. Peristiwa-peristiwa yang indah, saat memiliki seseorang yang saya cintai dan mencintai saya... ketika saya merasa begitu berharga karena dicintai setulus hati.
Saat “melihat” rekaman peristiwa demi peristiwa dari masa lalu, yang tergambar begitu jelas dalam ingatan, saya menyadari bahwa dia kekasih terbaik yang pernah saya miliki. Dia tahu saya apa adanya, menerima saya apa adanya, mencintai saya apa adanya. Fakta bahwa kami kemudian putus, itu kesalahan saya, karena lebih mementingkan visi pribadi daripada memastikan hubungan kami. Dan setiap kali menyadari hal itu... saya kadang terpikir ingin memutar waktu.
Tahun-tahun panjang telah berlalu, dan dia kini telah memiliki kehidupan sendiri, sementara saya kadang bertanya-tanya, “Apakah aku sudah move on sepenuhnya?”
Sebenarnya, saya sudah move on, dan telah melupakan semua yang di belakang, karena sangat fokus pada masa sekarang. Tapi setiap kali “tersandung kenangan”—seperti menemukan dua surat tadi—saya seperti tersedot ke masa lalu, karena memori saya merekam setiap peristiwa dengan begitu jelas bahkan detail, apalagi terkait seseorang yang menempati ruang istimewa dalam ingatan. Dan saya tidak punya kemampuan menghapus ingatan itu, hingga masih bisa mengingat wajahnya, suara tawanya, cara bicaranya, ekspresi marah dan cemburunya.
Ketika teringat semua itu, saya kadang tertawa sendiri, kadang pula ingin mengulanginya kembali.
Saya membaca dua surat itu sambil ditikam kenangan demi kenangan... lalu memasukkan kembali dua surat itu ke dalam amplopnya, meski tidak yakin apakah harus tetap menyimpan atau membuangnya. Mungkin saya terlalu sentimentil, hingga sering merasa berat untuk membuang barang-barang terkait orang yang pernah dicintai.
Mungkin sekarang saya akan tetap menyimpannya, sebagai pengingat bahwa saya punya hati. Dan mungkin, suatu hari kelak, saya bisa melepaskan barang-barang kenangan itu, ketika seseorang—entah siapa dan entah dimana—membuat saya jatuh cinta, sekali lagi.
....
....
Well, rumah saya yang tadinya berantakan kini lebih rapi. Rumput-rumput di sekitar rumah juga telah hilang. Lampu-lampu yang tadinya padam karena kabelnya digerogoti tikus, kini kembali menyala terang. Di atas semuanya, saya merasakan badan kembali sehat, dan itu yang terpenting.
