Jumat, 09 April 2010

Menulis: Dari Buku, Novel, sampai Blog (1)

Ada cukup banyak email dari pembaca buku saya yang menanyakan mengapa saya juga menulis novel. Pada awalnya, saya memang tidak merencanakan untuk menulis novel, dan hanya ingin menulis buku-buku nonfiksi—khususnya buku-buku psikologi dan pembelajaran. Tetapi, seiring proses kreatif—dalam menulis—yang saya jalani, saya pun sampai pada keputusan untuk juga menulis novel. 


Saya menulis novel, sesungguhnya, dengan tujuan untuk dapat mengeluarkan sesuatu yang tidak mungkin saya tuliskan dalam buku-buku nonfiksi. Melalui novel, saya seperti menemukan sarana yang hampir tak terbatas untuk mengeluarkan pikiran apa pun, menuliskan apa pun, bahkan seliar dan segila apa pun. 

Keleluasaan semacam itu tidak saya dapatkan ketika menulis buku-buku nonfiksi. Ketika menulis buku nonfiksi, kreativitas saya terbatas—atau setidaknya dibatasi oleh kaidah-kaidah penulisan buku nonfiksi. Saya tidak bebas berkreasi atau berimprovisasi. Sebaliknya, ketika menulis novel, saya justru harus mampu menulis sekreatif mungkin, dan novel selalu mampu memberikan ruang untuk improvisasi seluas bahkan seliar apa pun. 

Penerbit buku mungkin akan berpikir-pikir untuk menerbitkan buku nonfiksi yang ‘aneh’—tetapi mereka pasti akan bersuka cita jika menerima naskah novel yang ditulis dengan cara yang lain dari yang lain. Saya pernah punya ide—yang menurut saya ide brillian—dalam penulisan buku nonfiksi. Dalam ide saya waktu itu, saya ingin menulis sebuah buku psikologi yang ditulis dengan cara seperti novel; ada jalan cerita, ada tokoh, dialog, dan juga setting cerita. 

Saya membayangkan buku psikologi semacam itu akan menjadi buku yang unik sekaligus asyik dibaca dan dipelajari. Tetapi, ketika akan mulai menulisnya, saya terbentur pada pertanyaan besar—siapa yang akan mau menerbitkannya? Saya ragu akan ada penerbit yang cukup gila untuk menerbitkan buku yang didasari ide gila semacam itu—karena cara penulisan semacam itu pastinya akan dianggap kurang lazim dalam buku nonfiksi. Melalui novel, saya bukan hanya leluasa mengeksplorasi kreativitas dan berimprovisasi, tetapi juga dapat menyatakan sesuatu yang tidak mungkin saya tuliskan dalam buku-buku nonfiksi. 

Melalui tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel, saya bisa berbicara apa saja, menyuarakan apa saja, bahkan menyemburkan caci-maki—dan pembaca novel akan memaklumi bahkan menikmatinya. Keleluasaan semacam itu tentu tidak akan saya dapatkan ketika menulis buku nonfiksi. Yang lebih penting dari itu, melalui novel-lah saya dapat menuliskan tema-tema tertentu yang tidak mungkin saya tuliskan dalam buku nonfiksi. 

Jadi, alasan besar saya menulis novel adalah untuk mengeluarkan dan menyalurkan segala sesuatu dalam benak dan pikiran serta hati saya, yang tidak mungkin saya keluarkan melalui buku-buku nonfiksi. 

Menulis novel adalah sarana pelepasan ide yang tak tertampung dalam buku-buku nonfiksi. Nah, kemudian soal blog. Apakah menulis novel dan buku nonfiksi belum juga cukup bagi saya hingga harus menulis di media lain, termasuk blog? Sebenarnya, selain menulis novel dan buku nonfiksi, saya juga terkadang menulis artikel lepas di media massa. Tetapi ternyata semua itu masih belum cukup—hingga saya pun juga menulis di blog. 

Mengapa harus menulis di blog? 

Ada cukup banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Pertama, blog memberikan kebebasan yang nyaris tak terbatas kepada saya untuk menulis apa pun, dengan cara apa pun, dengan gaya apa pun. Di blog tidak ada editor, tidak ada dewan redaksi, tidak ada komisaris penerbitan. Blog adalah sarana penuh kemerdekaan dan kebebasan bagi para penulis untuk menyuarakan apa saja, untuk menulis apa saja, bahkan untuk meneriakkan apa saja. 

Melalui blog, saya bisa menulis sesuatu yang pasti akan diedit atau disensor jika mengirimkannya kepada penerbit atau media massa. Sebagai penulis, dan juga sebagai pembelajar, pemikiran-pemikiran saya terkadang berbenturan dengan pihak penerbit buku atau redaksi media massa. Ketika hal semacam itu terjadi, maka blog adalah jalan keluar terbaik untuk menuliskan pemikiran itu. 

Di blog, saya memang tidak mendapatkan royalti atau menerima honorarium penulisan, tetapi di sini saya memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir yang nilainya tak dapat diukur dengan uang. Karenanya, maklumi sajalah kalau kau mendapati tulisan saya di blog ini terkesan ‘naik-turun’—kadang lembut dan menyentuh, tapi terkadang juga meledak-ledak dan emosional. Itu adalah bagian dari kesenangan saya menulis di blog. Nah, alasan kedua…. 

Ehm, posting ini sepertinya sudah cukup panjang. Jadi saya akan lanjutkan catatan ini di posting berikutnya saja. Lanjut ke sini.

 
;