Minggu, 11 Juli 2010

Jika Saya Ariel Peterpan

Rekaman video Ariel yang beredar di internet masih terus diperbincangkan, dan orang-orang—anehnya—belum juga bosan. Beberapa situs luar negeri bahkan ikut memberitakan kasus itu, dan sekarang saya juga “dipaksa” untuk ikut menuliskannya di blog ini.

Sejak awal kasus ini muncul dan kemudian menjadi buah bibir masyarakat, saya sama sekali tidak berminat untuk menuliskannya secara khusus. Mengapa? Karena masalah ini konyol. Baik kasusnya, ataupun reaksi yang timbul. Lebih dari itu, sudah tak terhitung banyaknya blog yang telah mengulas kasus itu dengan berbagai macam bentuk, model dan gayanya masing-masing. Karenanya, saya pun memilih untuk tidak ikut-ikutan menuliskan persoalan itu di blog ini.

Tetapi, para pembaca blog ini yang rupanya jadi “gatal”. Ada banyak sekali email yang saya terima, yang isinya cuma menanyakan, “Kenapa nggak ada post soal Ariel di blogmu?” Pertanyaan itu sama banyaknya dengan pertanyaan menyangkut Piala Dunia, “Kenapa kamu nggak menulis soal Piala Dunia?”

Karena “diprovokasi” terus-menerus, akhirnya saya jadi gatal juga. Jadi baiklah, sekarang saya akan menulis soal Ariel—atau, lebih tepatnya lagi, soal kasus Ariel. Dan agar catatan ini tidak terkesan cuma ikut-ikutan, sekarang izinkan saya untuk mengambil sudut pandang yang berbeda dari kasus ini—izinkan saya menempati posisi Ariel saat ini.

Jika saya Ariel Peterpan yang sedang menghadapi kasus video yang terus menjadi bahan pembicaraan masyarakat itu, maka langkah pertama yang akan saya lakukan adalah mengadakan konferensi pers secara resmi. Saya akan mengundang para wartawan, dan menjelaskan semua hal menyangkut kasus itu secara jujur dan apa adanya. Kira-kira, saya akan berbicara seperti ini….

“Rekan-rekan wartawan, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran kalian semua di sini. Tujuan saya mengadakan konferensi pers ini adalah untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya telah terjadi menyangkut beredarnya rekaman video yang isinya disebut-sebut mirip saya. Saya berharap pertemuan ini dapat menjernihkan persoalan tersebut, sekaligus agar kasus ini tidak berlarut-larut.

“Pertama yang harus saya sampaikan kepada kalian semua, adalah kenyataan bahwa sayalah yang memang ada di dalam rekaman video tersebut. Jadi kalian atau masyarakat luas tak perlu lagi kasak-kusuk menyebut rekaman video itu sebagai “mirip” saya atau “mirip” yang lainnya. Benar, saya mengakui, bahwa sayalah yang ada dalam rekaman itu.

“Abraham Lincoln yang bijak menyatakan, ‘Kalau saya memang benar, kebenaran itu tak akan terpatahkan meski sembilan bidadari bersumpah bahwa saya salah’. Sekarang, dengan segala kerendahan hati, saya mengakui bahwa saya salah, dan saya pun memahami bahwa kesalahan saya tak akan menjadi benar, meski sembilan bidadari turun dari langit untuk bersumpah bahwa saya benar.

“Karena saya sudah mengakui kesalahan saya, dan karena saya telah mengakui bahwa sayalah yang ada dalam rekaman video tersebut, maka tugas kita sekarang bukan lagi bertanya-tanya dan menghabiskan waktu untuk mengetahui apakah orang dalam rekaman itu memang saya ataukah bukan, tetapi mencari tahu mengapa rekaman itu bisa keluar dan beredar di masyarakat.

“Sebagai manusia waras, saya tentunya tidak akan sengaja mengedarkan apalagi menyebarkan rekaman video itu. Tempatkan diri kalian pada posisi saya—dan bayangkan apakah mungkin saya akan melakukan hal segila itu? Saya punya karir yang harus dijaga, saya punya orang tua dan keluarga yang harus dipertahankan kehormatannya, saya pun memiliki nama baik yang tak ingin tercemar. Karenanya, sungguh gila kalau sampai ada yang berpikir sayalah yang sengaja menyebarkan rekaman video itu.

“Ketika membuat rekaman itu, tujuan saya hanyalah untuk dokumentasi pribadi, yang tentunya tidak akan diperlihatkan apalagi dikonsumsikan kepada orang lain. Kalau sekarang rekaman itu bisa muncul di tengah orang banyak, itu benar-benar kecelakaan yang sangat saya sayangkan. Jika kalian yang tidak memiliki sangkut-paut dengan isi rekaman itu saja merasa terpukul, apalagi saya yang jelas-jelas terlibat langsung di dalam rekaman keparat itu…??? Oh, maaf, saya tidak bermaksud bicara kasar. Maafkan istilah keparat tadi.

“Ehmm, jadi sekarang dua hal telah menjadi jelas. Pertama, fakta bahwa sayalah yang memang ada di dalam rekaman itu, dan kedua adalah kenyataan bahwa beredarnya rekaman video itu bukan karena kehendak saya. Siapa pelaku yang telah menyebarkan rekaman itu, saya tidak tahu. Jika kita memang merasa perlu menemukan orang yang telah menyebarkan rekaman itu, maka pihak berwenanglah yang bertugas mencari tahu.

“Tetapi justru saya yang sekarang ditahan oleh pihak yang berwenang. Saya tidak perlu pengacara untuk dapat bertanya, ‘Apa dasar penahanan saya?’. Jika berhubungan intim dengan pacar dianggap sebagai kesalahan yang perlu mendapatkan hukuman, maka negara ini sepertinya perlu menahan separuh dari orang-orang yang saat ini pacaran. Jika merekam adegan percintaan dengan pacar dianggap sebagai kesalahan yang patut mendapatkan hukuman, maka tentunya ada seribu laki-laki selain saya yang juga perlu diberi hukuman.

“Oke, saya tidak sedang berapologi. Jangan lupa tadi saya sudah mengaku salah. Saya sedang berupaya untuk mendudukkan persoalan ini pada proporsinya yang adil, dan mengajak kita semua untuk berpikir secara lebih jernih dan objektif.

“Jika pada akhirnya saya harus diadili dan kemudian dihukum karena perbuatan yang saya lakukan menyangkut rekaman video itu, sekarang saya ingin mengajak kita semua untuk bertanya pada akal sehat dan hati nurani kita sendiri. Apakah peradilan dan hukuman itu dijatuhkan kepada saya karena perbuatan saya… ataukah karena saya seorang artis atau orang terkenal…?

“Jika saya dihukum karena melakukan sesuatu yang dianggap salah secara moral, apakah hukuman itu dijatuhkan sebagai bentuk keadilan hukum… ataukah hanya untuk menutupi rasa malu kita semua…? Jika saya dituduh telah melakukan kesalahan… apakah tuduhan itu berasal dari kesadaran dan ketulusan, ataukah karena sekadar beban kewajiban? Jika saya dihakimi secara massal oleh masyarakat karena perbuatan saya, apakah penghakiman itu cermin dari kebaikan dan kebersihan moral… ataukah bukti kemunafikan massal…?

“Saya tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu—kalianlah yang harus mencari dan mendapatkan jawabannya. Sebagai manusia, tugas saya adalah menjalankan kewajiban manusia, dan sekarang kewajiban itu telah saya tunaikan. Saya bersalah, dan sekarang saya telah mengaku bersalah, dan menyadarinya. Kini tinggal kalian yang perlu menjalankan kewajiban… yakni sama-sama menunaikan tugas kemanusiaan kalian….”

 
;